Share

HADIAH UNTUK IBU MERTUA

Mentari pagi tampak cerah bersinar. Namun, cahayanya tak cukup hebat untuk menghangatkan hati yang terluka karena cinta. 

Semalam, setelah Mas Arga membuang bukti transfer, ia kembali ke kamar dengan wajah kusut. Entah apa lagi yang ia sembunyikan dariku. 

Hari ini dia tidak masuk kerja. Katanya sih alat vitalnya masih berasa enggak nyaman. Sampai begitu parahkah efek bubuk cabai yang kuberikan? Salah sendiri asal bercocok tanam!

Aku segera menghubungi Devi, sahabatku. Menurutku ini saat yang tepat untuk melancarkan misi selanjutnya. 

“Iya, Din.” Terdengar suara Devi saat panggilan kami terhubung. 

“Hari ini mas Arga di rumah, bisa datang sekarang?” tanyaku. 

“Oke... satu jam lagi kami sampai,” sahut Devi. 

“Aku tunggu ya...” Aku mengakhiri panggilan ini setelah memberi kabar pada Devi.

**** 

Saat aku, Mas Arga dan Ibu sedang berkumpul di ruang keluarga, samar terdengar suara ketukan pintu tiga kali disertai ucapan salam.

“Kayaknya ada tamu deh, Din. Coba kamu lihat ke depan,” perintah Ibu. 

Aku mengangguk mengiyakan perintah Ibu. Dengan senang hati aku beranjak menuju ruang depan. Saat pintu terbuka, kulihat Devi dan temannya dengan pakaian ala pegawai bank. Aku tersenyum melihat kedatangan mereka. Segera aku kembali menemui ibu, tanpa mempersilakan mereka masuk. 

“Ada tamu, Bu. Katanya ingin bertemu Ibu,” ucapku.

“Siapa sih pagi-pagi sudah bertamu. “ Ibu menggerutu sambil beranjak menemui tamunya. 

Aku memilih duduk bersama Mas Arga ketimbang mengikuti ibu ke depan. Biar saja Devi dan temannya yang beraksi. Aku tinggal mengikuti permainan mereka saja.

Beberapa saat setelah itu, terdengar pekikan ibu mertuaku memanggil Anak lelakinya. Merasa namanya dipanggil, Mas Arga segera menuju ruang tamu. Aku pun turut mengikutinya. 

“Ada apa sih, Bu? Kok teriaknya kenceng banget?” tanya suamiku Heran. Aku dan mas Arga duduk berhadapan dengan kedua tamu ibu.

“Ibu dapat hadiah dari bank, Ga!” jawab ibu girang. Wajahnya tampak semringah sekali.

“Maksudnya gimana sih, Bu?” tanya suamiku lagi. 

“Jadi begini pak, Ibu Anda mendapat hadiah senilai dua ratus juta rupiah dari bank tempat kami bekerja,” timpal Devi cepat. 

Mas Arga tampak terkejut mendengar penuturan Devi yang menyamar sebagai pegawai sebuah bank. Seketika ia tersenyum bahagia. 

“Ibu serius?” tanya mas Arga pada Devi. 

“Iya, selamat ya, Pak, Bu,” jawab Devi. 

“Jangan-jangan mereka penipu, Mas?” Aku yang sedari tadi diam, kini ikut bergabung dalam perbincangan mereka. 

“Enggak mungkin! Mereka saja enggak minta uang!” sambar ibu cepat. Ia menatap tak suka ke arahku. 

“ Iya, Bu, tidak ada biaya sepeser pun yang harus ibu Anda keluarkan. Jadi alasan apa yang bisa membuat ibu berpikir kami penipu?” jelas pria yang datang bersama Devi. 

“Maafkan menantu saya ya, Pak! Dia memang tidak punya sopan santun,” ucap ibu. 

“Jadi kapan ibu saya akan menerima uang itu?” sela Mas Arga. 

“Dua bulan lagi, uang sebesar dua ratus juta akan masuk pada rekening ibu Anda.” Jawab Devi. 

“Apa enggak bisa sekarang saja, Bu? Aku sudah tidak sabar jadi orang kaya,” ujar Ibu. 

Aku menahan tawa mendengar perkataan mertuaku. Kaya dari mananya sih, Bu! Wong ini cuma prank saja. Kalaupun benaran dapat dua ratus juta, itu tidak serta merta membuat ibu jadi orang kaya. Palingan juga dua bulan sudah habis sama ibu. Beliau kan suka hura-hura. 

“tidak bisa, Bu. Prosedurnya memang ibu harus menunggu dua bulan, setelah itu uangnya akan langsung masuk ke rekening ibu.” Pria yang datang bersama Devi itu menjelaskan dengan ramah. Nada bicaranya sangat meyakinkan. Wajar saja Ibu dan Mas Arga percaya. 

“Kalau enggak sabar, Ibu bisa cari pinjaman dulu, terus pas uangnya sudah masuk, nanti ibu ganti uang mereka.” Devi mulai masuk pada rencana yang kami susun. 

“Betul juga ya. Dengan begitu aku bisa secepatnya merenovasi rumah ini. Beli perhiasan sama pakaian mewah. Biar tetangga tahu kalau sekarang aku sudah kaya,”  ungkap ibu dengan mata berbinar.

“Tapi kalau ternyata mereka berbohong bagaimana, Bu?” Aku menyela perbincangan mereka. 

“Diam kamu!” hardik ibu sambil matanya memelototiku, “ kamu kok kayaknya enggak suka kalau ibu jadi punya uang banyak,” 

“Bukan begitu, Bu. Aku cuma waspada saja. Sekarang kan lagi banyak penipuan.” kilahku. 

“Dinda..!”  Mas Arga menyebut namaku dengan suara tertahan. Dari sorot matanya aku tahu dia ingin aku diam.

“Ya sudah kalau begitu kami permisi dulu ya, Bu,” pamit temannya Devi. 

“Sekali lagi kami mengucapkan selamat buat ibu,” lanjutnya. 

“Makasih ya, Pak,” jawab ibu. 

Kami semua saling berjabat tangan sebelum mereka pergi. Pas giliran aku menjabat tangan Devi, ia  tersenyum sambil membisikkan sesuatu di telingaku.

“Sukses!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status