Kutatap lekat sang rembulan melalui jendela kamar. Meskipun masih terlihat seperti biasanya, tapi bias sinar temaramnya tak lagi mampu tenangkan hati yang kecewa. Terluka karena sebuah pengkhianatan yang disengaja. Perlahan, langkahku bergeser menuju meja rias yang ada di sudut ruangan. Lalu duduk menatap cermin yang tengah memantulkan bayanganku. Dari sana kuamati wajah yang tampak lesu. Kalau diperhatikan, wajahku masih tetap cantik seperti biasanya. Hanya saja, tak terlihat make-up tebal menghiasinya. Bentuk tubuhku juga masih seksi. Dengan berat 50 kg dan tinggi 168 sentimeter, menurutku cukup ideal. Tapi mengapa Suamiku masih saja mendua? Dari pantulan cermin, kulihat Mas Arga mendekat padaku. Tangannya langsung memelukku dari arah belakang. Sebuah ciuman ia daratkan di tengkukku hingga bulu romaku merinding. Aroma parfum yang ia gunakan seolah mampu membius saraf. Jantungku berdegup hebat. Hampir saja aku terbuai oleh perlakuan darinya.“Kamu cantik sayang...” puji Mas Arga,
“Cepat katakan, Mas!” Aku kembali mencecar suamiku karena dia tak kunjung memberi jawaban.“Tadi aku traktir teman-teman, Dek,” jawabnya kemudian. “Teman siapa?” tanyaku lagi. Aku merasa janggal dengan jawaban yang diberikan oleh Mas Arga. Setahuku, dia belum pernah mentraktir temannya. Kok tiba-tiba sekarang dia melakukan itu. Angin apa yang sudah mengubah kebiasaannya.“Ya temanlah!” sahut mas Arga sewot. Ia tampak tak suka aku terus menanyainya. “Aku kan sudah bilang, uangnya buat belanja besok.. kenapa masih saja dihabiskan!” Dengan sedikit menahan emosi, aku mengingatkan suamiku. “Kan bisa pakai uang kamu dulu.” Jawab suamiku. “Uang dari mana, Mas? Kamu aja ngasihnya enggak genap satu juta!” protesku. “Sudahlah, Dek. Aku males berdebat terus.” Ucap Mas Arga. Ia kemudian menenggelamkan wajahnya pada bantal. Melihat kelakuan suamiku, rasanya sudah enggak sabar ingin meminta pisah. Tapi aku harus bertahan sebentar lagi untuk memastikan kebanggaan mas Arga tak lagi berfungsi.
Dengan semangat empat lima aku pergi meninggalkan rumah ini. Dalam hatiku aku berniat mengunjungi sahabatku. Siapa lagi kalau bukan Devi. Dia selalu menjadi tujuanku di setiap waktu luang.Sesampainya di rumah Devi, aku disambut dengan peluk cium sahabatku. Ia tampak heran karena enggak biasanya aku datang tanpa mengabari dulu. “Kamu rapi banget, Din! Kaya mau travelling aja,” puji Devi sambil memperhatikan penampilanku. “Biasa aja kali...” sahutku, “Hari ini kamu ada acara enggak, Dev?”“Enggak kok, emangnya kenapa kamu tanya begitu?” “Temenin aku yuk, stres di rumah terus!” ungkapku. “Ke mana?” tanya Devi lagi. “Terserah kamu saja!” jawabku sambil mengangkat kedua bahu. “Oke, tunggu sebentar. Aku ganti pakaian dulu,” sanggupnya. Ia pun lalu beranjak meninggalkan aku yang kini duduk di teras sendirian. Beberapa saat kemudian, Devi keluar dengan pakaian yang sudah berganti. Wajahnya terlihat cantik dengan make-up tipis menghiasinya. “Sudah siap?” tanyaku. Ia menunjukkan jempo
Belum sempat pergi jauh dari mereka, telingaku menangkap bunyi ketukan pintu beberapa kali. “Coba kamu lihat ke depan, Din! Kayaknya ada tamu, “ titah mertuaku. Dengan terpaksa aku menuruti perintah Ibu. Padahal sebenarnya aku sudah ingin beristirahat. Akhirnya kuayunkan langkah malas menuju sumber suara yang tadi terdengar. Seorang pria dengan perawakan lumayan tinggi, berdiri tepat di hadapku sesaat setelah aku membuka daun pintu. Wajahnya putih bersih dengan kumis tipis menghiasi. “Kirana...” Pria itu menggumam lirih sembari menatap lekat padaku. “Anda siapa?” tanyaku dengan menautkan kedua alis. Sejenak kuperhatikan wajah pria di hadapanku sambil menajamkan ingatan. Memang benar nama lengkapku Dinda Kirana, tapi yang bikin heran, dari mana pria ini bisa tahu nama belakangku. Apakah dia mengenalku? Tanpa disengaja, netra kami saling beradu pandang hingga akhirnya sama-sama membuang muka. Hatiku masih terus bertanya-tanya siapa sebenarnya orang ini.“Benar ini rumah Arga?” B
Lima hari sejak kejadian petang itu, aku masih mendiamkan mas Arga. Semua pekerjaan rumah kuabaikan kecuali mencuci pakaian, itu pun hanya pakaianku sendiri. Biasanya aku mencuci pakaian semua penghuni rumah. Meski Ibu mertuaku sering marah gara-gara enggak masak, aku tak lagi memedulikan ocehannya. Biar saja dia makan di luar. Toh, ibu juga masih pegang uang hasil pinjam kemarin.Seperti biasanya, sejak pagi aku pura-pura berangkat kerja. Padahal aslinya cuma jalan-jalan enggak jelas bareng Devi. Pergi ke salon, nongkrong di cafe , pokoknya ke mana saja yang bisa bikin hati senang.Setelah lelah seharian bareng Devi, aku memutuskan pulang meskipun waktu baru menunjukkan pukul tiga sore. Biasanya sih sekitar jam lima aku baru balik.Saat tiba di rumah, kulihat ibu sedang mengobrol dengan seorang perempuan seusiaku di teras. Hanya sesaat aku memperhatikan perempuan dengan pakaian kurang bahan itu, lalu berniat masuk tanpa memedulikan mereka berdua. “Oh... jadi ini yang namanya Dinda.
Senja tiba tepikan lara, menghibur hati yang seakan mati.Terluka karena cinta, terbuang oleh pengkhianatan. Setelah puas menatapi langit-langit kamar, aku segera membersihkan diri lalu berganti pakaian. Kupaksakan langkahku menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Meskipun masih sakit hati karena kejadian sore tadi, aku berusaha menahannya agar mas Arga tak banyak bertanya. Sebenarnya aku ingin membuka kebohongannya sekarang juga, tapi aku akan menguji keperkasaannya terlebih dahulu. Saat makan malam, tak ada obrolan yang berarti. Aku dan ibu masih sama-sama canggung karena insiden tadi sore. Syukurlah mas Arga belum tahu tentang hal itu, jadi aku bisa melancarkan aksiku malam ini juga. Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sudah sejak selesai makan malam aku telah menunggu mas Arga yang masih betah menonton TV. Jantungku berdegup sangat kencang. Resah dan gelisah terus menghantui pikiranku, bahkan ini lebih mirip malam pertama.Beberapa saat kemudian, ter
Aku terjaga saat fajar subuh tiba. Dengan hati seringan awan, kusambut pagi yang datang menjelang. Hari baru untuk harapan yang sama baru. Kulirik mas Arga yang masih terlelap di sampingku. Dari raut mukanya, jelas sekali ia tak nyenyak. Tertekan oleh beban mental yang tengah dipikulnya. Langkah kaki membawaku keluar dari ruang peristirahatan ini. Dengan sedikit tergesa, kudatangi kamar adik iparku yang letaknya bersebelahan dengan ruang tamu. “Bangun Nggi!” teriakku kencang sembari menggedor pintu berkali-kali, tapi tak juga ada sahutan dari dalam sana. Kembali aku membangunkan Anggi, adik iparku dengan suara yang lebih keras. “Ada apa sih, Mbak! Masih pagi kok sudah berisik?” dengkusnya setelah pintu terbuka. Terlihat ada kemarahan dari muka kusutnya. “Udah siang! Cepat kamu cuci baju, sekalian punyaku!” titahku. Sepasang mata Anggi yang semula setengah terpejam, seketika terbelalak saat mendengar ucapanku. “Enak saja! itu kan tugas Mbak Dinda!” protesnya. “Itu dulu, tapi mu
POV ARGAPada umumnya, setiap lelaki akan merasa bangga saat mendapat pujian dari pasangannya. Bahkan, sebagian dari mereka rela melakukan apa saja hanya untuk sebuah pujian. Sama seperti mereka, aku juga merindukan hal itu. Dinda, istriku memang sosok yang nyaris sempurna. Selain wajahnya yang cantik alami, dia juga penyabar. Tak pernah aku mendengar keluh kesahnya meskipun jatah bulanan kurang dari satu juta. Pun urusan ranjang, dia selalu tersenyum walau aku jarang sekali bisa memuaskannya. Satu hal yang tak kudapat dari istriku hanya pujian. Dia jarang sekali, atau bisa dikategorikan tak pernah menyanjungku. Berbeda jauh dengan Dini, wanita yang kukenal tiga bulan yang lalu. Dia selalu memujiku. Dikatakan aku baiklah, gantenglah, rajinlah, dan masih segudang sanjungan lainnya.Itulah hal yang membuat aku semakin dekat dengan Dini. Saking dekatnya, sampai-sampai kami melakukan hubungan suami istri. Uniknya, dia masih bisa memuji meskipun aku “ejakulasi dini”. Bangga bukan jika di