Share

KERJA

 “Cepat katakan, Mas!” Aku kembali mencecar suamiku karena dia tak kunjung memberi jawaban.

“Tadi aku traktir teman-teman, Dek,” jawabnya kemudian. 

“Teman siapa?” tanyaku lagi. 

Aku merasa janggal dengan jawaban yang diberikan oleh Mas Arga. Setahuku, dia belum pernah mentraktir temannya. Kok tiba-tiba sekarang dia melakukan itu. Angin apa yang sudah mengubah kebiasaannya.

“Ya temanlah!” sahut mas Arga sewot. Ia tampak tak suka aku terus menanyainya. 

“Aku kan sudah bilang, uangnya buat belanja besok.. kenapa masih saja dihabiskan!” Dengan sedikit menahan emosi, aku mengingatkan suamiku. 

“Kan bisa pakai uang kamu dulu.” Jawab suamiku. 

“Uang dari mana, Mas? Kamu aja ngasihnya enggak genap satu juta!” protesku. 

“Sudahlah, Dek. Aku males berdebat terus.” Ucap Mas Arga. Ia kemudian menenggelamkan wajahnya pada bantal. 

Melihat kelakuan suamiku, rasanya sudah enggak sabar ingin meminta pisah. Tapi aku harus bertahan sebentar lagi untuk memastikan kebanggaan mas Arga tak lagi berfungsi. 

Aku langsung mengambil ponsel milik suamiku di saat kudengar dengkuran halusnya. Segera kubuka benda pipih yang memang tak pernah dikunci ini untuk melihat aktivitasnya. Dari W*, f******k sampai I* telah kujelajahi, tapi tak ada satu pun hal yang mencurigakan. Apa jangan-jangan mas Arga sudah menghapus semuanya ya.

Kuhela nafas kasar saat tak kutemukan apa pun di sana. Lekas kuletakkan kembali benda ini pada tempatnya lalu beranjak ke tempat tidur. Setengah malas aku berbaring di samping mas Arga yang telah lebih dulu terbuai mimpi. 

Keesokan harinya, setelah bangun pagi aku menuju dapur lalu membuka lemari pendingin. Hanya kutemukan satu butir telur di dalamnya. Tak ada lagi sesuatu apa pun yang bisa untuk dimasak.

Sembari menunggu nasi matang, Aku merebus telur itu untuk dijadikan lauk. Biar saja Mas Arga makan dengan lauk satu butir telur rebus dibagi tiga. Salah sendiri uang belanja dihabiskan. Setelah semuanya selesai, kuhidangkan makanan ala kadarnya ini untuk mereka bertiga. Sedangkan aku akan makan di luar saja seusai mencuci nanti. 

“Dinda!” Teriakan mas Arga terdengar keras menyebut namaku. Kuabaikan saja panggilan suamiku itu, sudah pasti dia akan protes karena terkejut saat hendak makan. 

“Dinda!” Mas Arga kembali memanggilku. Namun kali ini terdengar jauh lebih keras. Aku pura-pura tergopoh mendekati sumber suara tersebut. Benar saja, Mereka bertiga tengah duduk mengitari meja makan dengan wajah di kecewa. 

“Ada apa, Mas?” tanyaku pura-pura tidak tahu. 

“Maksud kamu apa, Hah? Kenapa kamu masaknya cuma seperti ini!” hardik Mas Arga seraya tangannya menggebrak meja. 

Aku terkejut melihat Suamiku semarah itu. Biasanya kalau dia marah enggak pernah sampai menggebrak meja begitu. Anggi saja sampai pergi karena ketakutan.

“Adanya cuma itu!” jawabku setelah rasa kagetku hilang.

“Memangnya uang kamu beneran habis?” tanyanya kemudian. 

“Emang aku suka bohong, Mas?” protesku. 

“Jadi istri itu harusnya bisa ngatur keuangan. Jangan dibiasakan hidup boros. Biar bisa nabung untuk masa depan.”   Kali ini ibu ikut menimpali. Kalimatnya yang sok bijak, berbanding terbalik dengan kesehariannya. 

Apa? Boros? Apa aku enggak salah dengar. Bagaimana ibu bisa berpikir uang delapan ratus ribu cukup untuk satu bulan. Boro-boro ditabung, bukan makan saja kurang. 

“Aku juga sudah berhemat, Bu. Tapi semalem uangnya dihabiskan sama mas Arga,” jelasku.

“Makanya kamu kerja. Jangan cuma jadi beban suami. Toh, kamu juga enggak sibuk-sibuk amat ngurusi rumah!” ucap mertuaku lagi. 

Telingaku memanas mendengar ucapan Ibu.  Sejak kapan seorang istri jadi beban? Bukankah sudah kewajiban suami untuk mencari nafkah?

“Baik! Hari ini juga aku akan cari kerja!” sahutku dengan nafas memburu. Sakit rasanya dikatai beban suami. Percuma saja selama ini aku mengeluarkan uang tiap bulan kalau akhirnya cuma dianggap beban.

“Mau kerja apa  kamu?” ejek mas Arga. Ia terlihat menahan tawa saat mendengar aku akan bekerja.

“Gampang!” jawabku sembari berlalu meninggalkan mereka. 

Mungkin dia pikir aku enggak bisa cari uang, padahal selama ini aku juga sudah kerja. Ya, aku sudah menjalankan usaha dropshipp sejak sebelum menikah. Itulah mengapa aku selalu punya uang. Ditambah lagi uang jajan juga masih rutin dikirim orang tuaku. Enteng rasanya jika hanya menutup kekurangan uang belanja. Hanya saja mas Arga dan keluarganya tidak tahu soal itu. Jika mereka tahu, sudah pasti uang itu akan habis oleh mereka.

Setelah ganti pakaian dan sedikit berdandan, aku segera ke luar bersiap untuk pergi mencari kerja. Ah, bukan! Tepatnya aku bersiap refreshing tapi pura-pura cari kerja.

“mau ke mana kamu?” tanya mas Arga saat melihatku berpakaian rapi. 

“Cari kerjalah. Biar bisa makan!” sahutku. Aku terus berjalan tanpa memedulikannya. 

“Sekarang hari minggu, Dek!” ujarnya disertai gelak tawa.

“Suka-suka aku dong. Yang penting nanti aku dapet duit!” balasku tanpa menatapnya. 

Mungkin mas Arga pikir aku serius mau cari kerja di hari libur. Padahal aku hanya akan jalan-jalan. Sesekali membahagiakan diri sendiri boleh ‘kan?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu jangan mau lagi bantuin kerjaan rmh dn juga jangan kmu bantuin uang tuk belanja biar se ada nya uang dn kmu keluar tiap hr tuk refresing se akan2 kmu kerja ..
goodnovel comment avatar
Esti Muharini
seru tp sayang pakai koin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status