Enam bulan yang lalu, melalui grup chat kantor. Kepala Sekolahku yaitu Bu Siti mengirimkan sebuah poster mengenai lomba membuat desain modul yang kreatif dan komunikatif. Jika desainnya bagus dan 3 peserta mendapatkan nilai tertinggi, maka akan mendapatkan hadiah berupa uang tunai sebesar tiga juta sampai sepuluh juta Rupiah dan juga mendapatkan kesempatan untuk terlibat langsung dalam proyek nasional Kementerian Pendidikan yaitu membuat Modul Nasional. Proyek tersebut dikhususkan untuk membuat modul pembelajaran yang akan digunakan secara merata di seluruh Indonesia. Maka, peserta lomba tersebut terdiri dari guru-guru se-Indonesia. Jadi, setiap tingkatan jenjang sekolah dasar sampai menengah atas dan per mata pelajarannya, hanya 102 peserta yang bisa lolos untuk bisa masuk ke proyek ini. Jika di total akan ada dua ribu orang yang terlibat dalam proyek ini. Fasilitas yang didapatkan adalah pelatihan gratis, jalan-jalan gratis serta sertifikat untuk bisa menambah jenjang karir karena ditandatangani langsung oleh Menteri Pendidikan, yang artinya sah untuk kenaikan jabatan.
Ketika duduk di Balairung Hastinapura, aku tercengang melihat seluruh pemandangan di sana. Ribuan orang akhirnya memenuhi gedung Hastinapura yang megah dan bertingkat itu layaknya memasuki istana kerajaaan. Semua peserta dibagi menjadi beberapa jenjang, ada yang barisan khusus kelas SD/MI, kelas SMP/MTs, kelas SMA dan terakhir SMK. Ia merasa tak percaya akan hasil kerja kerasnya yang berhasil membawanya bisa masuk ke dalam daftar 102 peserta guru matematika dari jenjang SMP se-Indonesia. Ia mulai flashback perjuangannya, bahwa ia membuat modul pembelajaran hanya mengandalkan smartphone miliknya. Itu dikarenakan untuk menghindari tagihan listrik rumah agar tidak membengkak karena lembur lewat netbook-nya. Saat itu, ia membuat modul berupa komik dengan tokoh bernama "Pekong" yang berisikan dialog-dialog receh, akan tetapi ada unsur nilai pengetahuan dan nilai sikap di dalamnya. Sampai akhirnya, menjadikannya ia lolos masuk rangking tiga besar di provinsinya.
"Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. Akhirnya, berkat Engkau saya bisa kesini. Walau masuk rangking tiga, uang hasil lomba bisa buat biaya servis motor Reza, adikku. Serta modal jualan baju Ibu." ucap syukur Eka.
"Permisi, pak bu... anu ada kursi kosong di pojokan gak ya?" tanya seorang wanita. Aku yang mendengarnya tampak tidak asing pernah mendengar suara tersebut. Rasa-rasanya, kenal seseorang dari logat Jawanya tersebut.
Aku berbalik, karena suaranya semakin jelas. Tak disangka, ternyata suara tersebut adalah Ulma. Ya, Kholifatul Ulma dahulu adalah teman satu kelompokku saat ospek di kampus, yang artinya kami adalah teman satu tim dan satu prodi di kampus yang sama yaitu Universitas Pendidikan Semarang.
"Ulma!" teriakku memanggil kawan lama sambil melambaikan tangan.
Ulma yang mendengar ada orang memanggil namanya menoleh dan mencari siapa yang memanggilnya sampai akhirnya ia menemukan.
"Loh, Eka... Ekaaaaaa!" teriak Ulma yang kegirangan bertemu denganku.
"Sini, duduk disebelahku. Kebetulan di sebelahku kosong, dan posisinya di pojokkan." sahutku yang sudah hafal dengan kebiasaan lama Ulma jika hadir di forum besar.
Tak lama ulma pun menuju ke barisanku dan duduk di sampingku. Kami pun bernostaligia sambil menunggu acara inti dimulai. Ulma adalah teman satu frekuensiku selama mengenyam pendidikan di Universitas yang sama. Dahulu, Ulma orang asli Semarang dan kuliah di sana juga karena jaraknya yang dekat dengan rumahnya. Dan juga paksaan dari ayahnya yang meminta ia untuk kuliah di jurusan Pendidikan.
Sifat kami bisa dikatakan hampir sama dan pastinya relate. Mulai dari makanan favorit yang sama, membaca buku yang sama, berstatus sebagai anak perempuan pertama dikeluarganya dan punya satu adik laki-laki, saling bantu membantu jika salah satu tidak punya buku referensi. Jika kos ku kebanjiran, salah seorang yang menawarkan tempat pengungsian adalah Ulma. Saat itu terjadi, Ulma langsung dengan sigap merapikan kamar, mengecek akomodasi pangan dan persediaan air bersih untukku. Layaknya Ulma pemilik hotel dan Aku adalah tamu yang akan menginap. Namun, sayangnya setelah dia lulus dari kampus, ia harus pindah ke Surabaya karena ayahnya pindah tugas sekaligus sang adik yang ingin berkuliah di Surabaya. Walaupun begitu, karena 4 tahun menjalin persahabatan, kami sudah hafal logat dan kebiasaan masing-masing.
Dibalik panggung, Prabu di omeli habis-habisan oleh Denias yang kesal karena susah untuk dihubungi dan tidak tepat waktu. Karena mereka ditunjuk menjadi panitia sekaligus menjadi mentor peserta pelatihan. Denias khawatir jika nanti diomeli oleh Kaprodinya, Pak Abimana Nugraha yang terkenal walau tidak bisa main kasar jika anak buahnya berbuat salah. Namun, ia harus membantu pekerjaan administrasi kampus dan dikumpulkan dalam waktu 2 hari. Jika tidak selesai, akan ditambah lagi tugasnya menjadi dua kali lipatnya. Hukuman Pak Abimana adalah mimpi buruk dosen DKV Universitas Pandawa.
Prabu pun bersusah payah menjelaskan kejadian yang dialaminya tadi. Denias tak mempercayainya sampai akhirnya Prabu menyerah.
"Oke, sorry. Sebagai permintaan maaf dan rasa terima kasihku kepada sahabatku yang setia membantuku.. malam ini, i'll treat you all beer, tonight! di Hawai Bar. How is it? Sound good huh?" pinta Prabu sebagai penebus permohonan maaf kepada sahabatnya.
"Uh.. um..." Denias yang terlihat ragu. Mau marah, tapi tawaran Prabu lumayan.
"Yeah good, sound good, ok! permintaan maaf lo diterima. My bestie, you are so cool man, damnnnn." akhirnya Denias pun luluh.
Dari kejauhan, Alvaro berlari menghampiri sahabatnya itu.
"Hah.. hah.. hey guys, bentar lagi acara dimulai. Let's go! kita harus menyambut Pak Menteri Pendidikan dulu di depan." pesan Alvaro yang sambil terengah-engah.
Akhirnya mereka bertiga pergi bersama dosen yang lain.
Acara akhirnya dimulai, sambutan dari Gubernur, Rektor serta jajarannya, sampai tiba saatnya Menteri Pendidikan menunjukkan dirinya untuk menyampaikan petuahnya.
Ia menyampaikan tujuannya mengadakan proyek ini serta gambarannya nanti bagaimana anak-anak muda di masa depan. Selama acara berlangsung, semua hadirin pun terpukau dengan kemeriahan acara yang tersaji didalam kemewahan Balairung Hastinapura. Jam menunjukkan pukul 11.30 yang sebentar lagi akan masuk waktu isoma. Sebelum acara ditutup, ketua panitia meminta pukul 13.00 untuk melihat handphone masing-masing karena setiap 102 orang nanti akan dibagi menjadi beberapa tim. Setiap 1 tim terdiri dari 4-5 orang, dan 4 tim akan dibimbing oleh 1 orang dari dosen DKV dari beberapa Universitas sebagai mentor nantinya. Pesan tersebut nantinya berisikan nomor ruangan yang harus dimasuki serta share lokasi ruangan jika kesulitan menemukannya. Gila! Kampus sebesar ini, mencari ruangan pakai G****e Maps. Aku dan Ulma geleng-geleng. Acara kemudian ditutup.
Semua orang satu persatu keluar, Ulma kemudian menggandengku.
"Bestie, bareng ya. Soalnya yang aku kenal cuma kamu, sekalian sarapan bareng yuk!" permintaan Ulma yang ku sanggupi. Akhirnya mereka pergi ke Masjid di kampus Universitas Pandawa melaksanakan salat Dhuhur kemudian dilanjut dengan makan siang.
Semua peserta berhamburan di kampus Pandawa. Mereka memanfaatkan momen untuk berfoto bersama, ada yang selfie bahkan bersantai sambil menikmati pemandangan di kampus tersebut. Tak terasa, jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Semua handphone peserta berbunyi secara sahut menyaut yang menandakan bahwa mereka harus memasuki nomor ruangan yang di instruksikan. Mereka pun akhirnya satu per satu berpisah. Termasuk Ulma dan Aku. Tapi, kami hanya bersebelahan kelas saja."Eka, aku di gedung Sadewa lantai 3F. Kamu dapat dimana?" tanya Ulma."Aku dapat di gedung Sadewa lantai 3E." jawabku.Kami berdua kegirangan karena mereka bisa bersama walau hanya berpisah beberapa jam di ruang terpisah. Ulma sempat menyayangkan tidak bisa satu kelas denganku karena tidak bisa ngobrol lebih lama. Aku menenangkan Ulma agar menerima keputusaan yang sudah ditetapkan.Sesampainya di gedung Sadewa lantai 3, kami berdua berpisah. Ulma masuk ke kelas F, dan Aku memasuki kelas E yang dimana terdapat 4 barisan meja panjan
Jam dinding Hawai Bar menunjukkan waktu delapan malam. Prabu tiba di sana lebih dulu. Sekitar sepuluh menit ia duduk, lantas segera menghubungi temannya kembali menanyakan keberadaan mereka. Tak lama menunggu sekitar tujuh menit, Alvaro dan Denias turun dari taxi. Mereka berdua memasuki Bar tersebut dan Prabu yang melihat segera melambaikan tangan kepada dua sahabatnya itu untuk memberikan tanda tempat nongkrongnya. Mereka berdua kemudian menuju ke tempat Prabu duduk. “Lo berdua lagi balas dendam sama gue ya!” sindir Prabu kepada kedua sahabatnya yang telat datang. Sama halnya saat Prabu telat datang di perhelatan tadi pagi. “Makanya, lain kali jangan mulai dulu. Tumbenan lo kalau urusan alkohol nomor satu lo!” jawab Denias yang balik menyindir. Alvaro melerai perdebatan kecil mereka dan meminta Prabu segera menyiapkan pesanan. “Hei, you two! kalian ini dosen tapi sekali ribut kaya anak SD. Oke Prab, sebelum kita mendengar permintaan maaf dari lo, beernya siapkan dahulu dong.” pint
Weekend terakhir sudah terlewati, hari pelatihan pertama pun tiba. Semua rombongan yang saat hari sabtu kemarin kembali menapaki halaman Universitas Pandawa, bedanya mereka tidak ke Balairung lagi. Jika dilihat, nampak sekilas seperti anak kampus yang berangkat kuliah di gedung. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, beberapa orang mulai memasuki ruangan masing-masing termasuk Aku. Di dalam gedung Sadewa ruangan 3E, Aku berdo’a agar selama pelatihan nanti berjalan lancar, tidak terjadi masalah dan tidak membuat kesalahan kepada Pak Prabu. Tak lama, tim desain yang satu kelompok denganku datang. Kami akhirnya berkenalan. Pertama, yang menjadi ketua kelompok tiga bernama Pak Emil dari Bandung, berikutnya yang umurnya tak jauh dari Pak Emil adalah Bu Zeva yang berasal dari Palangkaraya, dan yang terakhir ia guru yang paling muda di kelompok bernama Bu Nafis yang berasal dari Makasar. Mereka pun sempat berbincang dan bercanda, walau di lubuk hatiku di hantui rasa was-was akan pelatihan hari pe
Setelah introspeksi tiga kesalahannya di waktu lalu, ditambah masih ada 25 hari aku masih bertempur di kampus tersebut dan tahu bahwa perjalanan ini bakal lebih berat. Dengan mengucapkan basmalah, aku merapikan jilbab, kemudian melangkahkan kaki keluar dari pagar kos untuk siap mengahadapi sisa waktu di Universitas Pandawa. Pelatihan hari keempat dimulai. Seperti biasa, kampus penuh dengan para peserta pelatihan proyek. Ulma yang berada di parkiran motor menungguku di atas joknya. Tak lama ada suara memanggilnya dari kejauhan. “Ulma!” teriakku. Ulma berbalik dan menghampiri. “Eka, are you ready today?” tanya Ulma yang penuh semangat, karena temannya itu sedang berusaha bangkit agar tidak insecure lagi. Hal itu ku jawab dengan teriakan “iya” secara lantang sembari mengepalkan kedua tangan. Akhirnya, kami berdua menuju ke lantai 3 gedung Sadewa, tempat pelatihan kami. Kebersamaan tersebut akhirnya berhenti saat di ruangan 3E, dimana tempat tersebut merupakan ruangan pelatihanku. Kami
Akhirnya, tugas sesungguhnya datang. Tugas tersebut adalah membuat desain modul berdasarkan bab yang sudah ditentukan bersama kelompoknya. Kelompok 3 yang terdiri dari aku, Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis mendapatkan materi "lingkaran". Kami berempat membuat grup chat lagi untuk pembahasan lebih mendetail. Sampai tak terasa, pelatihan hari itu berakhir pada jam dua sore. Kami semua diminta mengumpulkan hasil desain modulnya pada hari senin depan. Artinya, masih ada waktu tiga hari untuk mengerjakannya. Selama tiga hari, Aku dan kelompokku berkutat mendesain modul. Aku dan Pak Emil bagian desain. Sedangkan Nafis dan Bu Zeva bagian tipografi atau penulisannya. Sampailah tiba hari senin, kami semua berkumpul lagi di kelas. Di dalam sana, kami tengah sibuk mengecek persiapan yang akan ditampilkan saat presentasi nanti. Tak selang beberapa lama Prabu, Pak Nofal dan Nadeo memasuki ruangan. Semua tampak biasa saja di awal, terkecuali Prabu hari ini. Entah kenapa raut mukanya lebih seram dibandin
Esok harinya, pelatihan berjalan seperti biasa. Yang membedakan hanyalah Prabu yang absen dua hari karena mendapatkan sanksi dari kampus. Sehingga, yang mengisi materi hanyalah Pak Nofal saja. Sebelum pelatihan berakhir, Pak Nofal memberi tahu kepada peserta di ruangan 3E mengenai kehadiran Prabu yang direncanakan besok sudah bisa kembali mengajar. Semua peserta di ruangan tersebut langsung berkeluh kesah karena merasa tidak damai. Rasanya seperti akan maju ke medan tempur lagi setelah suasana damai. Salah satu peserta protes dan meminta untuk Pak Nofal saja yang mengajar karena selama absennya Prabu, pelatihan berjalan lancar. Namun, Pak Nofal tidak bisa menolak karena sudah termasuk SOP proyeknya. Update mengenai kehadiran Prabu akan dikabari nanti malam melalui chat grup. Akhirnya Nadeo dan Pak Nofal menutup kegiatan. “Aduh, besok Pak Prabu datang.” keluh Nafis “Harus beli minyak kayu putih lagi nih. Belum apa-apa malah sudah pusing lagi.” Bu Zeva kemudian mengeluarkan minyak puti
Memang benar apa kata orang. Jangan pernah sekalipun mengharapkan ekspektasi yang terlalu tinggi, karena ujung-ujungnya kalau tidak sesuai sakit juga, terlebih dengan manusia semacam Prabu Bagaskara. Inilah yang dirasakan kelompok tiga saat ini. Rasanya, harapan kami untuk acc masih panjang. Layaknya mahasiswa yang sudah capek-capek ngetik sampai bela-belain lembur dan begadang, harapan untuk acc masih belum direstui oleh semesta. Entah apa yang ada di kepala Prabu yang mengharuskan kami merevisi lagi. Setelah seharian kemarin tidak ada kabar bahkan membalas pesan dari Pak Emil pun tak digubris. Tiba-tiba esoknya grup chat kelompok tiga terdapat pesan dari Pak Emil. Ternyata saat malam hari, Prabu sempat membalas chat Pak Emil, namun beliau baru membukanya hari ini. Pak Emil Kelompok 3 Malam Pak Emil. Maaf, saya baru membalas. Silahkan besok kumpul di ruang kelas 3E pukul tujuh beserta print outnya. E-mail yang bapak kirim kemarin belum saya lihat. Terima kasih. (Balasan dari Pak Pr
Kelompok tiga dari kelas 3E kembali ke rutinitas semula, yaitu bimbingan. Tepat di depan ruangan Prabu kami berkumpul lagi. Kenapa? Revisi! Lelah? Pasti! Setiap pagi kami absen hadir terlebih dahulu dibandingkan penghuni yang lain, terkecuali Satpam dan office boy. Anggap saja, lagi nostaligia bimbingan skripsi. Tak lama, Prabu datang dan mempersilahkan kami masuk ke ruangan. Aku yang akan masuk, diberhentikan oleh Pak Emil. Aku dan yang lainnya menoleh satu sama lain. “Bu Eka, anda sakit?” tanya Pak Emil yang khawatir karena aku terlihat pucat. Aku menggelengkan kepala yang artinya baik-baik saja. “Haduh, pasti kamu lelah. Ayo kita semua temani Bu Eka. Cuzzz ….” perintah Pak Emil. Bu Zeva dan Nafis menyanggupi dan memasuki ruangan Prabu. Setelah Prabu menarik kursi duduknya, aku menyodorkan kertas yang sudah ia print lagi. Kertas yang disobek oleh Prabu malam kemarin, tidak ia tunjukkan. Prabu merasa tak enak hati padanya karena sudah sarkas kepadanya. Karena egonya yang terlalu