Share

IKRAR TALAK UNTUKKU ADALAH MAHAR YANG KAU PINTA DARI SUAMIKU
IKRAR TALAK UNTUKKU ADALAH MAHAR YANG KAU PINTA DARI SUAMIKU
Penulis: Aksara Ocean

1. KABAR PERNIKAHAN SUAMIKU

IKRAR TALAK UNTUKKU, ADALAH MAHAR YANG KAU PINTA DARI SUAMIKU

1. KABAR PERNIKAHAN SUAMIKU

Lagi dan lagi, aku kembali menempelkan ponsel ke telingaku yang tertutup pashmina berwarna pastel, mencoba menghubungi suamiku entah untuk yang keberapa kalinya.

Di salah satu kursi yang ada di bandara ini, aku duduk menunggunya. Kepulanganku yang tiba-tiba pasti membuat dia terkejut. Tapi sayang sedari tadi telpon dan pesan W******p yang aku kirimkan tidak dijawab olehnya, bahkan teleponnya tidak aktif saat ini.

Sudah satu jam setengah aku menunggu kedatangannya, namun sosoknya belum juga terlihat. Dalam waktu selama itu entah sudah berapa kali aku mengecek ponsel yang ada di genggamanku, namun sayang tidak ada tanda-tanda kalau pesanku di bacanya.

Maka aku mengambil kesimpulan kalau suamiku saat ini sedang sibuk, bisa saja dia sedang menghadiri meeting dan mematikan ponselnya. Salahku juga yang pulang tanpa memberinya kabar.

Dan dengan cepat aku segera menelpon Pak Kirman, dia adalah supir yang sudah dipekerjakan oleh suamiku selama beberapa tahun ini.

[Assalamualaikum, Bu!] Suara Pak Kirman terdengar lembut di seberang sana.

Pria paruh baya itu memang sangat menghormatiku, padahal usiaku jauh lebih muda darinya. Bahkan usiaku lebih muda sedikit dari usia anaknya sendiri, namun statusnya yang merupakan seorang supir membuat dia harus menunduk hormat padaku.

Karena suamiku adalah sosok yang sangat keras dan juga tegas, dia menganggap semua orang yang menjadi bawahannya harus menghormatinya dengan sangat. Tidak peduli mau tua ataupun muda, dia menyamaratakan semua orang.

Sangat berbeda seratus delapan puluh derajat denganku yang simple, aku begitu menjunjung tinggi sopan santun. Terutama kepada orang yang lebih tua, tidak peduli jabatan dan statusnya.

Orang tua wajib dihormati! Namun, sepertinya bawahan dan pekerja-pekerja di rumah kami lebih takut pada suamiku daripada aku. Mereka lebih suka memanggilku dengan sebutan ‘Ibu', dan bahkan 'Nyonya’, padahal aku sudah menyuruh mereka untuk memanggilku hanya dengan nama saja.

[Bu! Maaf, apa Ibu perlu sesuatu?] Di seberang sana suara Pak Kirman terdengar cemas.

Karena dari tadi aku tidak menyahuti salamnya, dan malah melamun jauh ke sana ke mari.

“Waalaikumsalam, Pak,” kataku merasa bersalah. “Em, apa suami saya ada di rumah?” tanyaku hati-hati.

[Tuan? Tidak ada, Bu. Mungkin Tuan sedang ada di kantor, apakah Ibu butuh sesuatu?] tanya Pak Kirman di seberang sana dengan nada penasaran yang sangat kentara.

Wajar saja, karena seharusnya saat ini aku sedang berada di Pekanbaru. Sejak satu minggu yang lalu aku sudah ada di Pekanbaru karena Nenekku meninggal dunia, dan suamiku tidak bisa ikut karena dia harus mengurus perusahaannya di sini.

Rencana awal aku akan tinggal di Pekanbaru selama dua minggu, tetapi  entah kenapa perasaanku sangat tidak enak di sana. Makanya aku memutuskan untuk segera pulang dan berharap dengan bertemu dan menatap suamiku, aku bisa menghapus keresahan ini.

Kehilangan Nenek yang membesarkan aku dari kecil sampai usia saat aku di pinang oleh suamiku dulu, membuat aku sangat sedih dan juga terpuruk.

Namun, bukan keresahan karena Nenek meninggal yang aku rasakan. Aku resah entah karena apa, karena aku bahkan tidak tahu sebabnya.

“Emm, begini ... apa Bapak bisa menjemput saya?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.

[Bisa! Bisa, Bu. Ibu saat ini ada di mana? Apa Ibu sudah pulang?] tanya Pak Kirman dengan sigap.

“Saya sedang ada di Bandara, Pak. Saya tunggu ya, Pak,” kataku sopan, tak enak rasanya karena sudah merepotkan Pak Kirman.

Apalagi bila mengingat kalau Pak Kirman juga memiliki tugas, untuk menjemput mertuaku yang hari ini pulang dari Singapura. Aku hafal jadwalnya karena memang aku yang memesankan tiketnya kemarin.

Mereka tidak akan mau repot-repot bertanya aku dalam keadaan yang seperti apa. Tahunya, ketika mereka butuh sesuatu maka aku yang akan mereka hubungi terlebih dahulu.

“Tunggu, Pak. Mama dan Papa kapan sampai? Kalau tidak sempat, saya akan naik taksi saja,” tanyaku lagi.

[Tuan dan Nyonya besar akan sampai nanti malam, Bu. Masih banyak waktu, Ibu tunggu saja di sana. Saya segera berangkat ini] Suara Pak Kirman terdengar sedikit bergemerisik.

Mungkin dia berbicara sambil bergerak, makanya suaranya agak bergemerisik. Maka aku pun menyetujui ucapannya, karena kedatangan Mama dan Papa masih lama.

Setelah mematikan telepon yang tadi tersambung, aku  segera berjalan keluar sambil menyeret koper kecil milikku yang aku bawa sembilan hari yang lalu ke Pekanbaru.

Sekali lagi aku menatap ponselku, namun tetap centang abu-abu yang menyapa penglihatanku. Ketika aku melakukan panggilan pun, hanya ada pemberitahuan kalau ponsel suamiku sedang tidak aktif.

Aku menghela nafas panjang, berusaha memaklumi karena bisa saja dia saat ini tengah memiliki urusan yang penting. Karena posisi suamiku yang merupakan sebagai seorang direktur di salah satu perusahaan internasional di kota ini, membuat dia menjadi sangat sibuk.

Di usia pernikahan kami yang hampir menginjak usia lima tahun, tidak pernah kami mengalami masalah yang berarti. Hanya sesekali ada kesalahpahaman kecil dan juga perbedaan pendapat, yang langsung bisa kami selesaikan saat itu juga.

Mertuaku juga bukan tipe mertua yang suka ikut campur dengan kehidupan anaknya, mereka lebih suka bepergian dan jalan-jalan keluar kota dan baru kali ini mereka mencoba untuk berpelesir ke luar negeri.

Mereka telah meninggalkan indonesia selama kurun waktu hampir tiga minggu dan tinggal di Singapura, tentu saja dengan sokongan dana dariku.

Tapi tak masalah, asal mereka baik padaku dan menganggapku sebagai anak. Maka aku akan menyayangi mereka juga seperti aku menyayangi orang tua kandungku, yang sudah lama meninggal.

Ting!

Suara ponselku terdengar, menandakan ada panggilan masuk. Aku mengecek ponselku, berharap suamikulah yang menelpon dan mengatakan jutaan maaf karena telah mengabaikanku.

Tapi perkiraanku salah, yang menelepon adalah Arca. Teman satu klub fotografi yang aku ikuti, dia adalah salah satu orang yang berhasil menjadi teman dekatku.

Dia adalah wanita yang baik dan juga cantik, di usianya yang hampir memasuki akhir dua puluh tahun, dia masih betah untuk melajang dan bahkan tidak memikirkan yang namanya pernikahan.

Dia mencintai pekerjaannya yang bebas, menjadi seorang fotografer freelancer dan pergi ke berbagai tempat yang belum pernah dia kunjungi.

Wanita yang sangat menarik, sehingga banyak laki-laki yang tertarik. Namun, Arca sepertinya masih membatasi diri dari para laki-laki yang mengejarnya. Karena dia trauma akan masa lalunya yang ditinggal nikah oleh tunangannya sendiri.

“Assalamualaikum, Ca ....” sapaku saat menempelkan benda pipih kepunyaanku di telinga.

[Waalaikumsalam, Aya. Gimana Pekanbaru?] tanyanya sambil terkekeh kecil.

“Nggak ada yang spesial, apalagi karena nenekku sudah meninggal,” jawabku jujur.

[Oh dear, sorry.] Suara Arca terdengar menyesal, dia memang wanita dengan perasaan yang sangat peka.

“It’s okay, sweety. By the way, ada apa? Tumben kamu nelpon,” tanyaku penasaran.

Arca terdengar menghela nafas dengan sangat dalam, dan hanya keheningan yang aku dengar hingga beberapa saat kemudian.

“Ca, kamu masih di sana?” tanyaku khawatir.

[Yeah, aku masih di sini.] katanya dari seberang sana.

“Ada apa?” tanyaku lagi.

Apakah ini berhubungan dengan Arga? Aku menebak-nebak di dalam hati, saat tiba-tiba memoriku mengingat nama seorang lelaki yang sangat gigih untuk mengejar cinta Arca.

Aku sering berseloroh, kalau mereka berjodoh. Karena Arga dan Arca, terdengar sangat mirip.

“Ca, are you okay?” tanyaku mulai khawatir. “Ada masalah?” tanyaku lagi.

[Kamu ... masih lama di Pekanbaru?] tanyanya ragu-ragu.

Aku lupa, Arca belum tahu kalau aku sudah sampai di sini.

“Aku ....”

[Jangan kembali ke sini, Aya.]

Suaraku mengambang di udara, karena aku dan Arca berucap secara bersamaan. Aku terpaku dan membeku saat mendengar ucapannya, apa maksudnya?

“Ma—maksud kamu apa?” tanyaku tergagap.

[Jangan kembali ke sini, tetaplah di sana. Suamimu akan menikah lagi, dia telah mengkhianatimu, Aya!] ujar Arca di seberang sana.

“A—apa?”

Runtuh sudah duniaku, bahkan panggilan dari Pak Kirman yang kini berjongkok dengan mimik panik di depanku tidak aku hiraukan.

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status