Share

2. KEANEHAN DEMI KEANEHAN

IKRAR TALAK UNTUKKU, ADALAH MAHAR YANG KAU PINTA DARI SUAMIKU

2. KEANEHAN DEMI KEANEHAN

~Aksara Ocean~

Allah! Allah! Astaghfirullah!

Berkali-kali aku mengusap keringat yang mengalir di dahiku dengan ujung jilbab pashmina yang aku pakai, tak terpikirkan lagi olehku kegunaan tisu yang bertengger manis di atas meja sana.

Karena yang aku pikirkan saat ini hanyalah ucapan yang tadi Arca katakan padaku, suamiku ingin menikah lagi! Suamiku mengkhianati pernikahan kami! Dia ingkar pada janji suci yang telah kami ucapkan lima tahun silam.

Pak Kirman menatapku dengan pandangan khawatir, wajah tuanya nampak menelisik raut wajahku. mungkin dia berusaha menemukan sebab aku menjadi gamang seperti ini.

“Bu, ada apa? Kenapa Ibu terjatuh tadi? Ibu sakit?” tanyanya pelan.

Saat ini kami tengah berada di salah satu cafe yang ada di dekat bandara, aku perlu memikirkan semuanya dan menenangkan diriku terlebih dahulu.

“Pak! Selain Bapak, siapa lagi yang tahu kepulangan saya?” tanyaku tak sabar.

Jemariku memainkan sedotan dengan gugup, tak pernah aku menyangka akan menghadapi situasi yang seperti ini. Situasi dimana seolah ragaku tak lagi menapak tanah, dan jiwaku seolah lolos dari tempatnya.

“Tidak ada, Bu. Saya tadi kebetulan memang sedang di mobil, bersih-bersih. Surti memang tahu kepergian saya, tapi mungkin dia mengira saya hanya mencari angin,” jelas Pak Kirman panjang lebar. “Kenapa, Bu? Ibu mau saya telepon Surti? agar menyiapkan makanan kesukaan Ibu?” tanyanya lagi, kali ini dia sudah siap dengan ponsel yang ada di tangannya.

“No, no, no! Jangan, Pak!” Aku segera mencegahnya dengan sigap.

Dia menatapku semakin kebingungan, namun tangannya kembali mengantongi ponsel jadul miliknya kedalam saku baju seragam yang dipakainya saat ini.

Aku menggigit bibir bawahku dengan cemas, memikirkan yang dikatakan Arca dengan lebih tenang dan dengan kepala dingin. 

Bisa saja ini cuma prank, kan? Bisa saja semua yang dikatakan Arca hanya lelucon yang dia siapkan bersama suamiku untuk mengerjai aku.

Tapi tunggu dulu, suamiku bahkan tak mengenal Arca. Dia terlalu sibuk untuk mengetahui siapa-siapa saja yang menjadi teman-temanku, dia bahkan tak punya waktu untuk menyapa mereka jika teman-temanku sedang berkunjung ke rumah.

Namun, Arca dan teman-temanku yang lain jelas mengetahui sosok suamiku. Tentu saja dari poto-poto pernikahan kami yang terpampang nyata di seluruh penjuru rumah.

Lalu? Apakah mungkin ini adalah prank ? Tidak! Toh, suamiku tak mengenal Arca, dan Arca pun hanya sekedar tahu dengan suamiku. Lalu, darimana Arca tahu kalau suamiku berkhianat?

Aku bergegas mencari ponselku yang kali ini tak kutemukan dimanapun, baik di tas maupun di saku tunik yang aku pakai. Namun mataku langsung membulat saat Pak Kirman mengulurkan ponsel yang cukup mewah itu ke hadapanku, dia tersenyum sungkan.

"Maaf, saya lancang, Bu. Saya takut ponsel Ibu tercecer, jadi saya pegang," katanya dengan raut bersalah yang sangat kentara.

Mata tuanya menatapku dengan takut-takut, dia pasti merasa bersalah dan takut dikatakan sebagai orang yang lancang dan juga kurang ajar.

Karena di rumah, suamiku memang tidak mau barang pribadi kepunyaan kami di pegang oleh para pekerja di sana. Makanya kamar kami adalah daerah yang harus selalu aku tangani, tidak boleh orang lain.

"Tidak apa-apa, Pak. Malah saya berterimakasih sekali," kataku berusaha menenangkannya.

Dan binar di wajahnya terlihat sekali kalau dia tengah merasakan kelegaan saat ini, aku langsung melihat ponselku yang ternyata dalam keadaan mati. 

Aku ingat, memang ponselku tadi sudah lowbat. Dan sepertinya sudah mencapai batasnya saat Arca menelpon tadi, aku segera mengambil charge dan beruntungnya ada colokan di dekat meja yang aku duduki.

Saat mengaktifkan ponselku, puluhan panggilan tak terjawab dari Arca memasuki ponselku. Pesan w******p juga masuk banyak sekali, namun sekali lagi aku harus kecewa.

Tak ada satupun panggilan dan pesan yang dikirimkan dari nomor suamiku di sana, entah kenapa mataku tiba-tiba berembun dan juga memanas.

"Pak, Bapak duluan saja, tunggu saya di mobil. Dan tolong, jangan beritahu siapapun kalau saya sudah pulang saat ini," kataku dengan suara serak.

Pak Kirman mungkin memahami situasi yang aku hadapi, tanpa banyak bicara dia langsung beranjak dan berpamitan padaku . Walau raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran, namun aku segera menunjukkan senyum kecil, agar dia tenang.

Pas sekali, saat Pak Kirman keluar dari pintu cafe. Ponselku kembali menerima panggilan masuk, namun kali ini panggilan yang masuk tertera dari nomor suamiku. Alhamdulillah, nomor suamiku sudah aktif.

Segera aku menggeser tombol hijau dan menempelkan benda pipih kepunyaanku itu ke telinga, lalu aku bisa mendengar suara suamiku yang berat dan juga dalam.

[Hallo, sayang. Kamu di mana? Maaf ya, ponsel Mas tadi mati karena lowbat. Kamu sudah pulang? Mas jemput, ya.] Katanya di seberang sana, tanpa basa basi dia langsung bergegas ingin menjemputku.

"Tidak apa-apa, Mas. Aku masih di pekanbaru," kataku berusaha meredam suaraku yang mulai bergetar.

"Loh, masih di pekanbaru? Tapi kamu kok nanya Mas lagi dimana, Mas kira kamu udah di sini," katanya lagi.

Entah kenapa aku bisa mendengar kelegaan dari nada suaranya, dan aku semakin curiga entah karena apa.

"Aku cuma kangen, Mas," kataku lirih.

[Uluh uluh, sayangku kangen ternyata] katanya menggoda.

"Iya, aku kangen banget," kataku lagi.

[Sayang, kamu nangis?] Tanyanya dari seberang sana.

Aku yang tak lagi bisa membendung tangisanku pun terisak pelan, aku menggigit bibir bawahku demi meredam tangisanku yang mulai tak terkendali.

Ucapan Arca, dan suara suamiku yang aku rindukan, adalah perpaduan sempurna yang bisa membuat emosiku membuncah ruah.

[Sayang, kamu pulang aja ya. Kan, tujuh harian Nenek juga udah lewat. Mas bakalan meluk kamu seharian, bolos kerja, demi memuaskan rasa kangen kamu] Katanya lagi.

Allah! Allah! 

Ini lah suamiku, manis, perhatian, dan menyayangiku dengan amat sangat. Apa mungkin dia berkhianat? Tapi Arca juga tak mungkin membohongiku, apa untungnya coba? 

[Sayang, kamu masih di sana? Kangen banget? Mas susul ke sana, ya?] Tanyanya lagi.

Nada khawatir terdengar jelas dari nada suaranya, membuat tangisanku semakin keras. Untung saja cafe ini sedang sepi, dan sepertinya tidak ada satupun yang peduli dengan tangisanku. 

"Nggak usah, Mas. Kemungkinan aku bakalan pulang seminggu lagi, mau ngurus beberapa hal dulu di sini," kataku sambil menyedot ingusku.

Aku mengatur nafas dan juga mengusap wajahku dengan tisu, berusaha menyudahi tangisanku. Suara pintu terbuka terdengar di seberang sana, dan suara wanita lalu menyapa telingaku.

[Mas! Gimana Aya?]

Suaranya sangat jelas, namun tak lama kemudian panggilan dari suamiku berakhir. Menyisakan tanda tanya besar di benakku, siapa? Siapa wanita itu? 

Apakah Mbak Dian? Mbak Dian adalah sekretaris suamiku, namun wanita yang tiga tahun lebih tua dariku itu selalu memanggilku dengan sebutan 'Ibu', apalagi tadi wanita itu menyebut suamiku dengan panggilan ‘Mas’, tidak mungkin Mbak Dian berani memanggil atasannya dengan sebutan itu.

Sedangkan wanita itu jelas-jelas memanggilku hanya dengan nama, tapi siapa? Apa itu Tasya? Tapi tak mungkin, karena adik suamiku itu selalu memanggilku dengan sebutan 'Mbak'.

Lalu siapa wanita itu?

Aku kembali mencoba menghubungi suamiku, namun sebelum aku sempat melakukan panggilan ke seberang sana, ponselku kali ini mendapatkan pesan dari suamiku.

[Dek, nanti Mas hubungi lagi ya. Mas ada urusan sebentar.] Tulisnya di sana, dengan emot mencium tiga buah.

Dadaku bergemuruh, ada yang tidak beres di sini. Ya Allah, aku bimbang. Apakah mungkin suamiku memang berkhianat? Apa yang harus aku lakukan?

“Bu, maaf. Apa Ibu sudah selesai?” 

Suara Pak Kirman membuat membuat aku menoleh ke depan, di sana lelaki paruh baya itu sedang menatapku seolah menunggu jawaban.

“Memangnya kenapa, Pak?” kataku pelan.

“Nyonya dan Tuan besar minta di jemput sekarang,” katanya lagi.

“Ha? Bukannya nanti malam, Pak?” tanyaku lagi dengan heran.

“Saya juga heran, lagipula ….” Ucapan Pak Kirman terdengar menggantung dan ragu-ragu.

“Kenapa, Pak?” tanyaku penasaran.

“Saya hanya heran, Bu. Kenapa Nyonya dan Tuan besar minta di jemput di rumah yang ada di Setia Budi? Kok tidak di bandara ya, Bu?” tanya Pak Kiman bingung.

“Apa?” Aku kembali terkejut dengan penuturan Pak Kirman.

Apa lagi ini, Bukankah Mama dan Papa saat ini ada di Singapura?

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status