Share

5. BERITA DUKA

IKRAR TALAK UNTUKKU, ADALAH MAHAR YANG KAU PINTA DARI SUAMIKU

5. BERITA DUKA

~Aksara Ocean~

“Kapan pulang?” tanya Maura dengan pandangan heran.

Dia menghidangkan jus buah jambu dan juga kue brownies di atas meja, tangannya bersedekap dan matanya memandangku dengan tajam. 

Aku menghela nafas panjang, bingung mau mulai cerita dari mana. Pak Kirman sudah kembali kerumah, dengan catatan akan melaporkan apapun yang dia temukan.

Walau bingung, dia tetap mengangguki perkataanku. Pak Kirman benar-benar membuktikan ucapannya kalau dia akan selalu berdiri di sampingku, dengan tidak banyak bertanya.

Tidak bisa di pungkiri aku tengah memikirkan informasi yang diberikannya tadi, tentang kehamilan yang dibicarakan oleh mertuaku. Kehamilan siapa? Tasya? Tidak mungkin, Tasya masih gadis dan belum menikah.

Andaikata Tasya hamil di luar nikah pun, pasti mertuaku akan menyembunyikannya dan bukannya malah terlihat sangat senang. Ah, aku semakin pusing saja memikirkannya.

“Aya!” 

Aku tersentak kaget dengan pekikan yang Maura keluarkan, dia melotot menatapku. Aku tersenyum bersalah, dan menyesap jusku dengan khidmat.

“Kamu kenapa?” tanyanya lagi dengan nada yang lebih lembut. “Kenapa ke sini bawa-bawa koper? Kamu dari mana? Kapan pulang dari Pekanbaru?” tanyanya beruntun.

Mimik wajahnya benar-benar menunjukkan kekhawatiran yang besar, dia memang sangat perasa. Menikah di usia yang sangat muda, dan mengalami perceraian di usia yang masih labil-labilnya, membuat Maura kini menjadi pribadi yang sangat dewasa dan juga bijaksana.

Dia pernah mengalami kepahitan dan kegagalan di dalam hidupnya, dan dia tumbuh menjadi wanita yang hebat.

Maura dan Arca adalah dua orang wanita yang memiliki masa lalu kelam dengan seorang laki-laki, dan mereka berdua menghadapinya dengan sikap yang berbeda.

Arca dengan ketakutannya, menolak semua laki-laki yang mendekatinya. Satu alasan yang pernah di ungkapnya membuat kami semua bingung harus menanggapi apa. Dia masih mencintai mantan tunangannya, dan masih berharap menjalin ikatan cinta dengan lelaki brengsek yang sudah meninggalkannya dulu.

Bodoh? Tidak! Aku menyebutnya nekat. Dia nekat menggantungkan harapan yang sangat tinggi, untuk laki-laki pengecut itu.

Sedangkan Maura? Temanku yang ini lebih berani, kalem, dan juga selalu berpikir positif. Dia tidak menolak laki-laki yang ingin masuk ke dalam hidupnya, namun tetap memberikan jarak aman untuk hatinya.

Cinta? Dia pernah kembali memulainya, namun sayang di pernikahannya yang kedua, laki-laki baik itu meninggal dalam penyakit kanker yang dideritanya. 

Dua kegagalan dalam menjalani sebuah hubungan, membuat Maura lebih tahu dan lebih peka.

“Sayaka … kenapa?” tanyanya lagi.

Lebih lembut dan lebih lirih, dia pasti tau ada yang tidak beres dari sikapku saat ini. Ah, mendengar suara Maura yang sangat lirih membuat mataku kembali berkaca.

“Apa yang lebih sakit dari ditinggalkan?” tanyaku padanya.

Dia mengerutkan keningnya saat mendengar pertanyaanku yang ambigu itu, matanya kembali menatapku dengan amat tajam. Wajah cantiknya terlihat berpikir sejenak, sebelum menjawab pertanyaanku.

“Kebohongan!” katanya tegas.

Aku terperanjat saat mendengar ucapannya, bulu kudukku berdiri dan badanku tiba-tiba meremang.

“Kenapa?” tanyaku dengan gamang.

“Karena kebohongan, aku berujung di tinggalkan,” katanya lirih. “Rama membohongiku dengan cerita cintanya, aku yang masih muda pun terpana dan menggamit tangannya yang terulur. Di usia enam belas dia meninggalkanku karena belum siap menanggung biaya kehidupanku.” Maura tersenyum lembut.

“Mas Baim juga meninggalkanku karena kebohongan, jika saja dia jujur akan kanker yang dideritanya, mungkin saja saat ini kami masih bersama karena pasti aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari cara untuk menyembuhkannya,” kata Maura sambil tersenyum kecil. 

“Tapi sayang, dia lebih memilih berbohong dan menahan kesakitan itu sendirian. Dia takut aku akan meninggalkannya, tapi dia tidak takut meninggalkanku! Aku membenci kebohongan, karena kebohongan lah yang membawa aku pada sakitnya kehilangan," ujar Maura sedih.

Allah! Allah! Allah!

Jemariku berusaha menghalau air mataku tak bisa berhenti mengalir, bulir bening itu tetap menuruni pipiku dengan deras.

Tak peduli dengan usahaku yang berusaha menghentikannya, air mataku malah semakin deras keluar. Maura memelukku dengan erat, bukankah seharusnya aku yang memeluk dia? Menenangkannya, mengatakan kalau aku akan selalu menjadi temannya? Selalu berada di sampingnya.

“Menangislah, puaskan,” titah Maura dengan tegas.

Ya Allh apa terlihat sekali? Apa memang segini kekuatanku? Kenapa aku tidak bisa menjadi wanita yang sering aku baca di cerbung? Wanita yang kuat, dan langsung bisa menyusun rencana brilian.

Kenapa aku hanya bisa terpuruk dan menangis? 

“Sebenarnya ada apa?” tanya Maura entah untuk yang keberapa kalinya.

Setelah aku tenang dan menenggak jusku hingga tandas, kami berdua kini di liputi keheningan yang mencekik. Kembali Maura berusaha mencari alasan aku bisa berada di rumahnya, alih-alih di rumahku sendiri.

“Bukankah seharusnya kau masih di Pekanbaru? Arca baru saja meneleponku sebelum kau datang, dia mengatakan kau masih di PekanBaru dan akan pulang satu minggu lagi,” kata Maura sambil memberikan selembar tisu padaku.

“Arca?” tanyaku tak percaya, mataku membelalak kaget.

“Iya, Arca. Kalian kenapa, sih?” tanyanya balik. “Ketika kau pergi ke Pekanbaru, Arca juga tiba-tiba tidak ada kabar,” katanya lagi.

“Serius?” tanyaku lagi.

“Iya lah, aku sampai mengira kalau dia ikut ke Pekanbaru,” balas Maura sewot.

“Tidak! Arca tidak ikut ke sana, tapi dia setiap waktu menelepon aku, kok!” kataku heran. 

“Wah, wah, sialan juga tu anak. Sama aku sombong banget, sama kamu kok nggak,” kata Maura dengan nada bercanda. “Apa karena dia tahu, kau di sana bagi warisan?” katanya menaik turunkan alisnya.

“Hush, sembarangan. Yang tahu cuma kamu, bahkan Mas Farhan aja nggak tahu,” kataku sambil tersenyum.

“Ow ow, aku tersanjung ….” katanya sambil memegang dadanya dengan dramatis.

Kami tertawa serempak, namun setelahnya wajah Maura kembali serius. “Katakan semuanya tanpa ada yang kau tutup-tutupi, Ya!” katanya memberi perintah.

Lalu mengalirlah cerita dari bibirku dengan lancarnya, dimulai dari kepulanganku, telepon dari Arca, suara wanita di ruangan Mas Farhan, status f******k Tasya yang di privasi dariku, dan kepulangan mertuaku yang tiba-tiba.

Maura diam dan dengan khidmat mendengarkan ceritaku, dia sesekali mengangguk dan menggeleng kecil. Namun tak sekalipun dia menyela ucapanku, seolah tak mau ketinggalan secuil informasi walau sedikitpun.

“Begitulah,” kataku akhirnya.

“Hemmm, besok kembalilah ke rumah kamu. Bersikaplah seperti biasa,” kata Maura serius. “Katakan padanya kalau kau kembali ke sini, sesaat setelah dia memutuskan teleponnya kemarin,” lanjut Maura lagi.

“Kau serius? Padahal aku berencana untuk sembunyi sampai waktu yang Arca katakan,” kataku dengan mimik terkejut.

“Aku serius! Bagaimana, jika seandainya pernikahan itu tidak terjadi dua minggu lagi? Bagaimana kalau terjadi besok atau lusa, atau tiga hari lagi,” kata Maura lagi.

“Tapi, Arca bilang ….” kata-kataku menggantung ragu.

“Tidak ada salahnya berjaga-jaga,” kata Maura dengan seringai misterius.

Ting! Ting! Ting!

Tiga pesan w******p masuk sekaligus ke ponselku, aku segera mengeceknya dan bisa melihat tiga pesan dari tiga orang yang berbeda.

Astaghfirullah, Innalillahi w* inna ilaihi rajiun ….

[Mbak, cepat pulang! Papa meninggal!] 

Pesan dari Tasya cukup membuat aku lemas tak bertenaga!

*******

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ida Siregar Tulle
baru baca ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status