Share

5. Amarah Mas Abi (Bagian B)

5. Amarah Mas Abi (Bagian B)

“Lalu aku pernah menyusahkan? Begitu maksud, Mbak?” sambarku dengan cepat.

Nafasku kembali menderu, emosi tadi yangs mepat reda kembali memuncak. Apa maksud kata-katanya? Kapan aku menyusahkan orang lain?

“Kamu menyusahkan Abi!” ujarnya menudingku. “Kamu juga menyusahkan Ibu, An!” katanya lagi.

“Hah?” Aku melongo, luar biasa bingung dengan kata-katanya. “Aku menyusahkan Mas Abi dan juga Ibu? Kapan, Mbak? Aku masih bisa pipis sendiri, masih bisa buang air sendiri, masih bisa makan sendiri, berjalan dan bahkan berlari aku juga masih bisa. Di bagian mana aku menyusahkan?” tanyaku mengejek.

Mas Abi tergelak kecil, dan menepuk puncak kepalaku dengan lembut. Raut tegang yang dari tadi menggelayuti wajah tampannya sudah menghilang, terganti dengan raut geli yang menularkan tawa padaku.

“Mbak, aku ini dari segi mana kalian anggap menyusahkan?” tanyaku mencoba bersikap terbuka.

“Kamu itu tidak bekerja! Hak itu membuat gaji Abi habis hanya untukmu, dan Ibu keberatan akan hal itu. Beliau mau mempunyai menantu yang bekerja, biar bisa bantu suami, dan memberi uang pada Ibu setiap bulannya!” Mbak Lisa menjelaskan dengan penuh semangat empat lima.

Ahhhhh, aku mengangguk mengerti. Ternyata ini tentang Ibu yang masih mendesakku agar bekerja, aku langsung menatap Mas Abi dengan tajam.

“Urus Mas, aku ini sudah habis akal menghadapi keluargamu!” ujarku dengan nada tinggi. 

“ANA!?” Mas Aji memekik marah.

Dia pasti tidak terima dengan kata kataku barusan, tetapi aku juga tidak takut dan menatap wajahnya menantang.

“Apa Mas? Biasa saja tidak usah berteriak-teriak, aku ini tidak tuli!” kataku dengan tegas.

“Mas, jangan berani membentak istriku!” ujar Mas Abi dengan nada marah. “Dia berada dibawah perlindunganku sebagai suaminya, dan kau sama sekali tidak ku izinkan menaikkan nada bicaramu pada istriku!” Lanjut lelaki yang berstatus sebagai istriku itu.

“Ana itu tidak menghabiskan uangku, dia istriku! Wajar jika aku memberikan seluruh uang padanya, dan membiarkan dia yang mengelolanya. Masalahnya apa?” tanya Mas Abi dengan nada heran. “Baik itu kalian, ataupun Ibu, tidak ada yang berhak menyuruh istriku untuk bekerja. Aku masih mampu memberi kehidupan yang layak untuknya!” Mas Abi menekankan ucapannya.

“Ya, kehidupan yang layak untuk istrimu. Tapi kau tidak mampu bersikap adil dan memberikan sebagian rezekimu untuk Ibu!” ujar Mbak Lisa menggurui. “Ingat, Bi. Surgamu masih berada pada Ibu!” Lanjutnya sambil menunjuk Mas Abi.

Aku menghela nafas, berbarengan dengan nafas panjang yang Mas Abi keluarkan. Aku yakin kalau suamiku itu pasti juga bingung menjelaskan pada saudaranya yang bebal ini.

"Aku juga tidak bisa masuk surga jika aku tidak memuliakan istriku, Mbak!" ujar mas Abi dengan gemas. "Lagipula, Ibu tidak kekurangan. Dia masih hidup dengan sangat layak dan bahkan berlebih!" Sambungnya emosi.

"Heh, Ibu dan Bapak hidup layak juga karena pemberian kami!" sahut Mas aji sinis.

"Kalau begitu suruh Ibu memberikan bagian tanahku, maka aku juga akan memberikan uang setiap bulannya sesuai dengan jumlah yang kau berikan, Mas!" ujar Mas Abi.

Tidak pernah aku lihat dia semarah ini, bahkan Mas Abi sama sekali tidak pernah mengungkit perkara bagiannya yang belum Bapak dan Ibu bagi, sementara untuk Mas Aji mereka sudah memberikan dari jauh-jauh hari.

"Aku bahkan tidak pernah mengungkit hal ini, aku selalu diam dengan perlakuan Bapak dan Ibu yang pilih kasih pada kita! Tapi tolong, jangan ganggu kehidupanku!" Mas Abi memekik di akhir kalimat.

"Pilih kasih? Kau menuduh orang tua kita pilih kasih?" tanya Mas Aji marah. "Memang tidak punya otak kau ini, Bi!" Lanjutnya menunjuk Mas Abi.

"Kalau bukan pilih kasih apa namanya, Mas? Tidak adil? Iya?" Mas Aji menantang. "Kau beli motor, aku memakai motor bekas! Kau dibangunkan rumah, aku tidak! Kau diberi lahan sawit, aku harus menunggu mereka meninggal! Bahkan perlakuan tidak adil itu, mengikuti istriku, Mas! Mbak Lisa dibelikan seluruh  perabotan mahal di rumah baru kalian, sedangkan istriku hanya diberi sofa bekas rusak yang kita duduki ini. Istrimu dibelikan perhiasan, istriku malah dihina tidak bisa menabung dan hanya tau berfoya-foya! Lalu? Di bagian mana aku bisa menyebut adanya keadilan? Hm?" ujar Mas Abi sambil menahan bulir bening yang hampir tumpah.

Aku langsung mengelus lengannya, meredakan amarahnya yang masih terasa. Nafasnya memburu dengan cepat, dan juga tidak beraturan.

Mas Aji dan Mbak Lisa diam, namun di wajah mereka sama sekali tidak terlihat adanya raut bersalah. Mereka sepertinya hanya takut dengan emosi Mas Abi yang memuncak, karena suamiku itu memang tidak pernah marah sama sekali.

"Aku bahkan tidak yakin kalau anakku nanti juga akan mendapatkan keadilan yang aku impikan, aku bahkan takut jika anakku nanti akan mengalami hal yang sama denganku. Selalu dibedakan dan dibandingkan dengan anak-anakmu!" Mas Abi berujar lirih.

Ya Allah! Kenapa sakit sekali?

~Aksara Ocean~

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Iqbal Firdaus
mertua laknat......su.pah emosi gw
goodnovel comment avatar
IsOne Wan
yees bgs sekali
goodnovel comment avatar
Furotul Uliyah
emosi aQ baca cerita ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status