Share

Hari Sial

Tak mungkin Dia, bukan?

Leyna menolehkan kepalanya dan kembali melihat sepasang kekasih itu. Bukan karena mesum, ia hanya ingin memastikan sesuatu. Pakaian compang-camping pria itu tampak familiar, rambut pirang perempuan itu yang terlihat begitu acak-acakan, dan saat sang wanita menghadapkan wajahnya di depan jendela, disusul wajah pria yang tampak serius melakoni tugasnya di belakang tubuh wanitia itu, semuanya terlihat jelas

Tak salah lagi. Bagaikan dihantam bongkahan batu tak kasat mata, hatinya terasa nyeri. Jantungnya mulai berdegup kencang, nafasnya pendek-pendek tak beraturan, tubuhnya gemetar hebat setelah memastikan sosok keduanya.

Ia tak tahu harus apa, kakinya spontan bergerak dengan sangat cepat. Pikirannya tak karuan, kilas balik adegan tadi terus terputar di otaknya. Sialan, menjijikkan, segala umpatan ia keluarkan dalam hati. Tidak, ia tidak berlari ke kamar mereka. Ia berlari ke arah resepsionis untuk menanyakan sesuatu. lebih tepatnya memastikan suatu hal yang tak pernah ia bayangkan terjadi pada kehidupanya.

Di sepanjang perjalanan, Leyna menghirup udara rakus dan menghembuskannya dengan perlahan. Inhale, exhale. Berkali-kali sampai dirinya merasa tenang.

Saat ia tengah berada di meja resepsionis, entah kenapa meja yang tampak seperti biasanya itu membuat ia mejadi gugup tak karuan. Dengan menahan getaran suara yang sewaku-waktu muncul, ia bertanya, “Permisi, bisakah kau memberitahuku siapa yang menempati kamar lantai empat, kamar kedua dari lift?”

Resepsionis itu tampak bingung dan menekuk kedua alisnya.

“Mohon maaf, Nona. Kami dilarang mem-” Sebelum resepsionis itu melanjutkan kalimatnya, Leyna memberikan kartu identitas miliknya. Leyna Manston. Dan yap, berhasil. Resepsionis itu tampak terkejut sebelum akhirnya meminta maaf. Siapa yang akan melawan pemilik hotel, bukan?

“Maafkan saya, Nona. Baiklah saya periksa terlebih dahulu.” Jeda sejenak sebelum kata-kata yang terlontar selanjutnya berhasil membuat kakinya lemas tak berdaya. Untung ia masih bisa menahannya dengan berpegangan pada pinggir-pinggir meja.

“Olivia Manston.” ujar resepsionis itu sambil melirik Leyna ragu-ragu. Tentu semua tahu siapa saja anggota keluarga Manston. Mungkin resepsionis itu sedang bertanya-tanya, untuk apa seorang kakak menanyakan pemilik kamar yang ternyata adiknya sendiri? Di hari pernikahannya pula.

Tak menghiraukan tatapan itu, Leyna pergi ke luar hotel dengan langkah gontai. Tujuannya saat ini hanya untuk menghirup udara kota di pinggir jalanan yang mulai terlihat sepi. Bagaimana ini? Ia baru saja menikah, tetapi malah seperti ini. Kenapa ia tak sadar sikap aneh keduanya? Batinnya bergejolak.

Hatinya perih, dadanya sesak, air mata bahkan sudah mulai menggenang di pelupuknya. Ia melihat ke arah handphone-nya, berharap jika keajaiban datang dan semua ini hanya mimpi semata.

Inhale, exhale.

Leyna memutuskan untuk memanggil Edric lewat benda pipihnya. Perlu menunggu waktu selama lima menit hingga akhirnya panggilannya itu terjawab.

“Halo, Ed. Kau di mana?” tanya Leyna berusaha untuk menjaga kestabilan suaranya.

“Ley, sudah kukatan aku ada urusan, kenapa kau menelponku?!” jawabnya dengan nada yang agak tinggi.

Jeda dua detik sebelum ia dapat kembali berucap, “Okay, aku hanya khawatir padamu, maaf mengganggu waktumu. Baiklah aku tutup.” Leyna tak bodoh. Ia sensitif terhadap suara. Walaupun Edric berusaha menutupinya, ia tetap mendengar desisan dan juga suara tertahan Olivia.

Tak kuat menahan, isak tangis pun lolos darinya. Setelah tadi ia dengan sekuat tenaga menahannya, pada akhirnya tangis pilu itu keluar. Hatinya sakit. Jika tahu begini, ia tak akan mau menikah, ia tak akan mau dijodohkan, ia tak akan mau dan akan berusaha mengubur rasa sukanya kepada Edric. Jika di awal saja seperti ini, bagaimana nantinya? Tidak, ia tak mau terus seperti ini.

Leyna bangkit, berdiri di pinggir jalan untuk mencegat taksi yang kemungkinan besarnya sudah tidak beroperasi. Namun siapa sangka, tiba-tiba saja dua mobil lamborgini dengan suara khasnya saling berkejaran. Hingga suara ledakan ban itu terdengar dari mobil paling depan. Tak ada waktu untuk menyadari apa yang terjadi saat mesin beroda empat yang paling depan itu membanting setir ke pinggir jalan. Tepat di mana Leyna berada.

BRAKK

CIIT

Di sela-sela kesadarannya, Leyna dapat merasakan bagian belakang kepalanya perih. Tak lupa ia juga merasakan aliran darah yang keluar dan merambat hingga ia bisa melihat cairan itu di sebelah wajahnya. Kepalanya berdenyut-denyut. Bahkan, tubuhnya tak bisa digerakkan sama sekali. Ia merutuki pengendara ini juga kesialan pernikahannya. Ia tak mau membiarkan Edric dan adiknya bahagia. Ia ingin membalas rasa sakit ini, untuk itu ia berdo’a, berharap untuk diberi kesempatan kedua.

***

Sedangkan di tempat lain, dua orang yang sibuk menuntaskan gairahnya itu tampak mulai berhenti. Keduanya saling memandang penuh arti, lantas tersenyum ceria seperti menerima undian berhadiah.

“Rencana kita hampir berhasil. Kak, cepat ceraikan Leyna dan kembalilah bersamaku,” ucapnya seraya memeluk mesra pria di hadapannya.

“Tunggu saja, Oliv. Bersabarlah, hari itu akan tiba,” balas Edric yang mulai mencumbu Olivia kembali. Gairah mereka seakan tak ada habis-habisnya. Seakan-akan mereka melakukannya untuk sebuah perayaan. Mereka juga tak tahu, jika sosok yang diperbicarakan tadi sudah tiada. Jalan cepat dalam menuntaskan rencana mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status