Share

Bab 2

"Kita ke mana?" 

"Ke rumah lah, masa iya ke panti jompo," ucapku ketus. 

"Ke rumah Bapak? Emang masih akan diterima?" 

Aku diam seribu bahasa. 

Pertanyaan yang dilontarkan Adi membuatku memijit kepala yang sedikit cenat-cenut. 

Benar apa kata Adi. Apakah seorang Alina Martadinata masih diterima di rumah itu? 

Rumah orang tua yang sengaja ditinggalkan karena lebih memilih seorang pria yang dicintainya. 

Ah, otakku seperti tidak berfungsi. Apa yang akan Papa katakan ketika nanti aku pulang. Tertawa. Iya, mereka pasti akan menertawakan kemalanganku. 

"Jadi, kita akan ke mana, Non? Tetap ke rumah Bapak?" Adi mengulangi pertanyaan yang sama. 

"Tidak."

"Lalu?" 

"Kita ke ... ah, aku tidak tahu, Adi. Aku tidak punya tempat untuk tinggal sekarang ini. Jangankan rumah, baju pun aku tidak memilikinya. Yang aku punya hanya ... Saffa," ujarku seraya memeluk tubuh putriku. 

Adi mengembuskan napas kasar. Supir pribadi yang selalu setia mengabdi itu tidak lagi bertanya. Ia tetap menjalankan roda empat, tanpa berucap lagi. 

Lucu. Aku keluar dari rumah kedua orang tuaku, meninggalkan fasilitas mewah yang mereka sediakan demi hidup sederhana dengan seorang pria yang bekerja di perusahaan Papa. 

Namun, Mas Haikal tidak tahu. Yang dia dan keluarganya tahu ialah, Papa hanyalah seorang pengusaha konveksi kecil dengan penghasilan sedikit. Padahal, pabrik garmen tempatku dan Mas Haikal bekerja masih dalam lingkup kekuasaan Papa. 

Ada rasa kesal dan sesal pada diri ini. Coba saja jika dulu aku tidak keras kepala, mungkin jalan hidupku tidaklah sesakit ini. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang aku dapatkan sekarang adalah jalan yang aku pilih dahulu. 

"Mama, Cafa nakal, ya?" ujar putriku membuat mata ini seketika melihat ke arahnya. 

"Enggak. Kata siapa Saffa nakal?" Aku mengelus pipi chubby-nya dengan lembut. 

"Kalau Cafa enggak nakal, kok, ayah tadi malah-malah." 

Aku menarik tubuh mungil itu dan memeluknya dengan erat. Bukan Saffa yang nakal, tapi memang ayahnyalah yang jahat. 

Hanya karena aku melahirkan seorang putri, dia enggan untuk mengakui Saffa sebagai putrinya. Mas Haikal akan berbuat baik kepada Saffa, saat di depan orang saja. Dan itu sudah sejak Saffa lahir. 

Bodohnya aku, masih percaya akan ada keajaiban yang merubah sikap buruk suamiku kepada putrinya. Tapi, nyatanya enggak. Tiga tahun usia Saffa sekarang, hanya mendapatkan kasih sayang dari diriku saja. Ayahnya nol besar. 

"Kita sampai."

Aku mengangkat kepala melihat ke sekitar dan ... rumah Papa?

"Adi, kamu membawaku pulang?" ujarku kaget luar biasa. 

"Wanita yang diceraikan suaminya, lebih baik pulang ke rumah orang tuanya. Di sana Nona akan dijaga dengan baik."

"Bukankah tadi kamu bilang belum tentu aku akan diterima lagi di sini. Lalu kenapa kamu malah membawaku ke sini?" 

Kesal sekali aku pada supir itu. Dia membawaku ke rumah papa, di saat aku belum siap untuk bertemu dengan mereka. 

"Jangan memikirkan ego, Non. Lihatlah gadis kecil yang ada dalam dekapan Non Alina. Apa Non, akan tega membiarkan dia sendirian di saat ibunya harus bekerja mencari uang?" ujar Adi seraya melirik ke arah Saffa. 

Aku mengusap kepala putriku. Melihat wajah polosnya yang tidak mengerti dengan permasalahan orang tuanya ini. 

Benar. Dengan siapa Saffa tinggal jika aku harus bekerja? Tapi ... untuk kembali kepada Papa pun rasanya aku sangat malu. Kebodohan yang aku buat akan sangat memalukanku di depan Papa. 

"Mama, kita di mana?" tanya Saffa yang tidak aku jawab. 

Aku diam dengan hanya menatap rumah besar di depan sana. Adi sudah keluar dari mobil. Ia masuk ke dalam rumah dan pastinya akan mengatakan keberadaanku kepada Papa. 

Aku harus apa? Aku tidak siap pulang dengan keadaan yang seperti ini. 

"Non, turun!" Adi membuka pintu mobil menyuruhku keluar. 

"Di ...."

Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat mata ini melihat siapa yang tengah berdiri di teras rumah. 

Papa. Ia melihat ke arahku dengan ekspresi datar. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celana membuatnya terlihat lebih berwibawa. 

"Alina!" 

Suara teriakan seorang perempuan membuat air mataku luruh seketika. Namun, langkahnya ditahan Papa yang dengan sengaja mencekal tangan Mama. 

'Semarah itukah Papa, hingga ia tidak mengijinkan Mama untuk menghampiriku?' 

Saffa yang tidak mengerti apa-apa hanya diam saja melihat aku yang tiba-tiba menangis. 

"Temuilah mereka, Non. Bukankah seharusnya seorang anak yang menghampiri orang tuanya, bukan orang tua yang menghampiri anaknya?" tutur Adi menyadarkanku. 

Iya, harusnya memang seperti itu. 

Di sini akulah yang salah. Akulah yang telah berdosa. Tanpa kata lagi, aku turun dari dalam mobil. Saffa sudah digendong Adi sesaat sebelum aku keluar. 

Aku berlari kecil ke arah kedua orang tuaku dan bersimpuh di kaki Mama. 

"Mah ...."

Tak mampu kata itu keluar dari bibirku. Yang aku bisa hanya menangis sesenggukan menyesali keputusan. 

"Bangunlah, Al. Mama sudah memaafkanmu," tutur Mama menarik kedua pundakku. 

Aku enggan untuk mengangkat kepala. Rasanya sangat malu meski hanya sekedar menatap wajah Mama. 

"Alina banyak salah sama Mama," ujarku terisak dengan memeluk kaki Mama.

"Tidak, Sayang. Kamu tetap anak baiknya Mama."

Mama terduduk, ia memeluk tubuhku yang bergetar karena menangis sesenggukan. Namun, reaksi biasa saja diperlihatkan papa padaku. Ia sama sekali tidak berucap sepatah kata pun melihat istri dan anaknya yang menangis tergugu di sampingnya. 

Puas meluapkan rasa sesal pada mama, kini tanganku beralih memeluk kaki papa. 

Abai. Papa seakan mati rasa. Ia sama sekali tidak tersentuh dengan rengekan kata maaf yang kuucapkan berulang kali.

"Pah, Papah tidak memaafkan Alina?" ujarku mendongak melihat wajah itu. 

Namun reaksinya tetap datar. Papa menatapku dengan biasa saja. 

"Adi, berikan anak itu padaku," ujar Papa meminta Saffa. 

Adi memberikan putriku pada Papa. Hatiku cemas, takut jika Papa akan berbuat kasar kepada Saffa. Namun, hal yang tidak terduga justru dilakukan Papa. Dengan gemas, Papa menciumi kedua pipi Saffa membuat putriku meringis geli dengan jenggot orang tuaku itu. 

"Dia membuangmu, heh?" ujar Papa dengan menatap wajah putriku. 

Kemudian sebelah tangannya mengambil ponsel dan langsung menghubungi seseorang. 

"Ya, halo. Cari tahu kinerja orang yang bernama Haikal di garmen cabang. Laporkan dengan detail, tanpa ada yang kurang. Aku tunggu malam ini," pungkasnya lalu masuk ke dalam rumah seraya membawa putriku. 

Bersambung

Komen (19)
goodnovel comment avatar
SunShine Kinanti
sikap dan karakter tokoh nya sangat masuk di pemikiran ku.. seperti ini pula dalam kehidupan nyata, ttg Ayah dan kasih sayangnya, seperti itulah sikapnya, tidak akan sama seperti Ibu yg suka meluapkan kasih sayangnya dg penuh emosi .. dan.. anak2 yg di anugerahi keduanya, bersyukur lah..
goodnovel comment avatar
Niefifa Niefifa
whatt? nikahin anaknya tp gatau orangtuanya??wkwkwk
goodnovel comment avatar
Norzafirah Abdghafar
supirnya ikut alina spanjang 5 tahun semasa die kahwin dgn haikal ? atau.. bila berpisah dgn haikal, alina ccall supir untuk amik die?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status