Share

Bab 4

"Nenek bilang jangan, ya jangan. Bandel banget, sih gak bisa dibilangin!"

Aku yang tengah mencuci piring di dapur, segera meninggalkan pekerjaanku saat mendengar suara tangis Saffa dengan diiringi bentakan ibu. 

'Entah apa yang diperbuat Saffa hingga membuat neneknya itu marah. Ah, paling juga nyenggol barang, atau mungkin Saffa lari-lari yang kemudian tidak sengaja menginjak kaki ibu," pikirku. 

Namanya juga anak-anak, pasti ada saja kelakuan dia yang membuat orang dewasa harus memakluminya. Tapi, tidak untuk ibu mertuaku itu. Sekecil apa pun kesalahan Saffa, selalu dipandang dengan serius. Dibesar-besarkan hingga tidak jarang anakku dicubit sampai menangis. 

"Ih ... disuruh diem, juga. Diem, jangan nangis terus!" bentak ibu lagi seraya menggiring Saffa dengan kasar hingga anakku tersungkur ke lantai. 

"Ya Allah, Ibu. Kenapa Saffa didorong gitu, sih?" 

Segera aku mengambil putriku dan mengusap kedua pipinya yang basah oleh air mata. 

"Didorong gimana? Orang anakmu jatuh sendiri, juga. Jangan nuduh, deh!"

"Aku enggak nuduh. Aku lihat sendiri, kok kalau barusan Ibu dorong Saffa. Emangnya Saffa salah apa, sih, Bu?" tanyaku seraya mengusap-usap pucuk kepala putriku.

"Tuh, mau nyamperin tukang eskrim di depan rumah. Gegayaan anak kecil mau makan gituan," ujar ibu dengan nada ketusnya.

Aku menggelengkan kepala menyayangkan sikap ibu yang selalu berlebihan. 

"Ya Allah, cuma gara-gara eskrim doang. Kenapa tidak dibeliin, Bu?" ujarku kemudian menggendong Saffa. 

"Ih, ngapain beliin dia eskrim? Boros! Jangan dibiasakan anak jajan makanan mahal, tapi dapetnya dikit. Buang-buang uang saja," cetus ibu seraya berlalu pergi seraya menentang keresek hitam.

Aku hanya bisa mengelus dada seraya mengembuskan napas kasar. Pantaslah Saffa menangis menginginkan eskrim, karena dia sangatlah jarang menikmati makanan dingin itu. Setiap hari, aku pergi bekerja meninggalkan Saffa yang aku asuhkan ke tetangga. 

Tidak tega dengan dia yang terus merengek meminta ice cream, aku pun membelikan satu corong kecil dengan harga dua ribu rupiah. Meski hanya sedikit, itu sudah membuat tangis Saffa berubah menjadi senyum manis. 

Semurah itu untuk membuat putriku tersenyum bahagia. 

***

"Ukhuk ukhuk!"

Aku mengerjapkan mata, bangun dari lamunan masa lalu yang menyesakkan. 

"Pelan-pelan makannya, Sayang. Enak es krimnya?" tanyaku seraya mengusap sudut bibirnya.

"Enak, Mah. Cuka, deh ada di cini, Cafa jadi makan ayam banyak. Ada eckim juga di kukas."

Aku tersenyum, mengusap pucuk kepala putriku yang tengah menikmati makanan penutup yang diberikan Mama. Bukan lagi dalam wadah corong kecil, melainkan mangkuk ukuran besar yang tidak akan mungkin bisa dihabiskan Saffa. 

"Tapi, udah dulu makan es krimnya, ya. Sudah batuk, loh tadi. Nanti kapan-kapan dimakan lagi." Aku mengambil mangkuk yang ada di depan Saffa, memasang tutupnya kembali sebelum aku simpan ke dalam kulkas. 

Wajah Saffa merengut. Sepertinya dia sangat keberatan. Namun, aku menjelaskan untuk tidak mengkonsumsi terlalu banyak ice cream. 

Saffa cerdas, dia menurut dengan apa yang aku katakan. Mengikhlaskan makanan itu untuk aku simpan di lemari pendingin. 

"Mama, kapan kita pulang?" tanya Saffa polos.

Diam adalah caraku untuk memikirkan jawaban yang bisa membuat dia paham, tapi tidak melukai perasaannya. Aku tahu, meskipun ayahnya selalu bersikap tidak ramah padanya, tapi rasa kasih dari diri Saffa ada buat Mas Haikal. 

"Saffa tidak akan pulang. Sekarang, 'kan rumah Saffa di sini," celetuk Mama yang baru saja kembali dari ruang tamu. Menemui tamu papa yang tak lain adalah rekan bisnisnya. 

Tidak mengerti dengan ucapan Mama, tatapan Saffa kembali mengarah padaku mencari kebenaran. Dengan hati-hati, aku pun menjelaskan jika apa yang dikatakan oma-nya itu memang benar. 

Entahlah dia akan paham atau tidak, yang jelas aku sudah berusaha menjawab pertanyaan Saffa dengan tanpa merendahkan ayahnya. Bukan karena aku masih memiliki rasa pada Mas Haikal, tapi lebih tepatnya tidak ingin mencederai pikiran Saffa. Dengan seiring waktu dan bertambahnya usia dia, pasti Saffa pun akan mengerti kenapa sekarang kami tidak tinggal lagi bersama ayahnya. 

"Nanti, ayah yang akan datang ke cini, ya Mah?" ujar Saffa kemudian. Aku hanya tersenyum kecil.

Justru yang aku harapkan ialah, Mas Haikal tidak lagi datang dalam kehidupanku. Meskipun itu sekedar urusan Saffa. Seperti janjiku saat itu, aku tidak akan mengabarkan apa pun tentang Saffa kepada Mas Haikal. Hingga akhirnya, Saffa sendiri yang datang menemui ayahnya. Jika Saffa sudah dewasa dan akan menikah nanti. 

Egoiskah aku? 

Iya. Seperti dia yang juga hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri tanpa meraba perasaanku sedikit pun. Menyuruhku bertahan dan membiarkan dia melakukan poligami yang sangat tidak adil. 

Menyuguhkan madu untuk wanita itu, dan memberikan bubuk racun padaku. 

"Alina, Papa bisa bicara sebentar?" ujar Papa memanggilku. 

Aku menganggukkan kepala, mengikuti langkah kaki Papa. Sedangkan Saffa, dibawa Mama untuk melihat kamar yang sudah disediakan mereka untuk putriku. 

Ah, Adi. Aku kira dia sangat setia padaku. Tenyata tidak. Diam-diam dia selalu memberikan informasi mengenai diriku kepada Mama dan Papa. 

Memang, laki-laki itu tidak bisa dipercaya. Janjinya setia, malah mendua. Janjinya rahasia, tapi dibuka juga. 

Menyebalkan.

"Duduk, Al," suruh Papa. 

Ruangan ini masih sama. Ruangan kerja papa yang selalu menjadi tempatku bersembunyi jika Bi Narsih menyuruhku mandi waktu dulu.

Selain keluarga inti, tidak ada yang bisa masuk ke dalam sini karena pintunya yang memakai kode rahasia. Hanya keluarga yang tahu. 

"Papa, akan membuat pengumuman di seluruh garmen, mengatakan jika kamu adalah putri Papa. Papa juga akan memecat semua orang yang berhubungan langsung dengan mantan suamimu. Termasuk Baskoro, atasan mantan suamimu yang kini menjadi mertuanya."

"Jangan, Pah!" kataku cepat. 

"Jangan?" Papa menatapku dengan heran. "Kamu keberatan Papa memecat mantan suamimu?" tanyanya lagi dengan nada kesal. 

Aku menganggukkan kepala. "Alina, bukan keberatan Mas Haikal kehilangan pekerjaan. Namun, hukuman itu terlalu ringan untuk mereka, Pah. Setidaknya, biarkanlah aku bermain-main dahulu dengan mereka sebelum akhirnya dia tahu siapa wanita yang dia campakan ini," ujarku membuat Papa diam tanpa mengalihkan pandangan dariku. 

Kemudian pria yang selalu terlihat tampan di usianya yang tak lagi muda itu memajukan tubuh. Tangannya bertumpu pada meja yang jadi penghalang antara aku dan dirinya. 

"Lalu, apa yang ingin kamu lakukan pada mereka?" tanyanya kemudian. 

Aku hanya memberikan seulas senyuman seraya mengedipkan sebelah mata. "Tunggu saja. Nanti pun Papa akan tahu."

Bersambung

Komen (14)
goodnovel comment avatar
Mey Lao
Perbuatan Haikal hrs di ksh pelajaran
goodnovel comment avatar
Tri Harsono Haulussy
Hubungan keluarga yang sangat di idamkan
goodnovel comment avatar
Nur Bandiyah
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status