Share

Bab 8

Permainan hari ini sepertinya sudah cukup. Aku mengambil ponsel, menelepon supir mobil derek yang membawa mobil Mas Haikal. 

"Pak, berhenti, Pak. Ternyata itu bukan mobil suami saya. Mobil suami saya sudah diambil sama karyawan bengkel."

"Lah, si Ibu gimana, sih? Katanya bener itu mobilnya. Terus ini yang saya bawa mobil siapa?" tanyanya panik. 

"Punya orang. Itu pemiliknya sampai ngejar-ngejar di belakang."

"Aduuuh, si Ibu bikin masalah saja, kalau orangnya minta ganti rugi gimana, Bu?" 

"Tentang, Pak. Saya yang tangguh jawab. Biaya angkut mobil itu juga akan saya bayar dua kali lipat. Bapak gak usah khawatir."

Sambungan telepon terputus. Mobil derek itu berhenti dan si supir keluar dari mobilnya. Perdebatan antara Mas Haikal dengan supir mobil derek pun terjadi. Tapi, untungnya si supir tidak mengatakan diriku sebagai dalang dari masalah ini. Aku sudah mewanti-wanti dia dan akan aku beri imbalan yang setimpal untuk kerja sama yang menyenangkan ini. 

Pak Yadi—supir Papa sudah datang. Mama pindah ke belakang, dan kami segera pulang ke rumah meninggalkan Mas Haikal yang marah-marah. Sedangkan istrinya terduduk lemas dengan keringat yang meluluhlantakkan bedak di wajahnya. 

Kasihan? 

Sedikit. Karena mereka pun tidak memiliki belas kasih padaku. 

Saat sampai, aku melihat ada mobil lain yang terparkir di halaman. Mungkinkah Papa kedatangan tamu? Mungkin saja, tapi ... sepertinya bukan tamu. 

"Abang," lirihku ketika melihat seorang pria tampan keluar dari dalam rumah. 

Buru-buru aku turun dari mobil dengan menggendong Saffa yang sudah bangun beberapa saat sebelum kita sampai. 

"Bang Aldi," kataku seraya menghampiri kakakku itu. 

"Dasar anak nakal, kepala batu. Sudah berani pulang sekarang, hah?" ujarnya mengacak rambutku, lalu mencium pucuk kepala ini. 

Dia marah saat aku memutuskan menikah tanpa restu Papa. Namun, hatinya tidak sekeras Papa yang sama sekali enggan datang di pernikahanku. 

Bang Aldi, tetap menemaniku dan bahkan dialah yang menjadi wali nikahku di saat Papa menolaknya. Sebagai gantinya, Papa membuatkan surat ikrar Taukil Wali agar aku bisa menikah dengan Bang Aldi sebagai walinya. 

"Kapan tiba, Al?" tanya Mama pada abangku itu. 

"Lima belas menit yang lalu, Mah. Hey, ini ponakanku?" ujar Bang Aldi menyentuh pipi chubby Saffa. 

Saffa merengut. Enggan untuk disentuh oleh pamannya itu. Dia yang baru bangun tidur, ditambah lagi tidak mengenali Bang Aldi, membuat Saffa ketakutan dan menolak saat Bang Aldi ingin menggendongnya. 

"Bangun tidur dia, Bang."

"Emm ... pantas manyun gitu. Ini Om, Sayang. Om tampan dan mapan," tuturnya masih menggoda putriku. 

Aku memutar bola malas mendengar Bang Aldi yang memuji dirinya sendiri. Lalu kami semua masuk ke dalam rumah yang ternyata ada Kak Rindu juga. Istri Bang Aldi yang ... ah, entahlah aku belum terlalu mengenal wanita itu. 

Sedikit senyum, jarang bicara dan ... kami tidak terlalu dekat sebelumnya. Karena saat aku memutuskan keluar dari rumah Papa, waktu itu Kak Rindu dan Bang Aldi belum lama menikah. Aku belum terlalu tahu mengenai sifat aslinya. 

Mudah-mudahan baik dan kami bisa menjadi teman. 

"Hay, Dek. Apa kabar?" sapa Kak Rindu dengan seulas senyum tipis. 

"Alhamdulillah baik, Kak. Kakak sendiri? Oh, ya mana anak kalian?" tanyaku karena tak kulihat anak kecil di sekitar sini. 

"Kami belum dipercaya untuk itu, Al. Doakan, ya secepatnya aku dan Rindu bisa membawa malaikat kecil ke rumah ini."

Aku mengangguk lemah dengan senyum tipis. Melihat ke arah wajah Kak Rindu yang menunduk lesu. 

"Maaf, Kak aku—"

"Gak apa-apa, Al. Santai saja, kita pun santai, kok. Iya, 'kan Sayang," ujar Bang Aldi memeluk bahu istrinya. 

Santai, sih. Tapi melihat rona wajah Kak Rindu membuatku tidak enak hati. Merasa bersalah karena menanyakan anak pada pasangan yang tengah berjuang untuk mendapatkannya. 

Jauh dari mereka, membuatku tidak tahu bagaimana kehidupan saudara sendiri yang ternyata tidak seberuntung aku. Tapi, aku sangat yakin jika Bang Aldi bukan tipe lelaki seperti Mas Haikal yang karena istrinya melahirkan anak perempuan, lalu memutuskan untuk menikah lagi demi anak laki-laki. 

Ah, kenapa juga harus membandingkan kakakku dengan dia, sih. Ya, jelas akan sangat berbeda pastinya. 

*

"Papa sudah menceritakan semuanya, Al. Sedih, sih saat tahu kamu dicampakkan oleh si Haikal. Tapi ... ada senangnya juga, karena akhirnya kamu bisa kembali kepada kami. Terlebih pada Papa yang saat itu sangat terpuruk ketika kamu memilih pergi dengan laki-laki itu."

Aku menyesap teh manis yang tersaji di meja. melihat kolam renang yang dipenuhi mainan setelah tadi Saffa bermain di sana dengan Papa. 

"Aku durhaka, ya, Bang?" Ucapan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Karena memang begitu kenyataannya.

"Aku tidak tahu devinisi anak durhaka itu apa saja. Yang pernah aku dengar, jika orang tua sudah memaafkan dosa anaknya, maka Tuhan pun akan memaafkan," ujar Bang Aldi menoleh ke arahku. 

Aku menarik napas panjang, mengembuskannya dengan kasar seraya mengangguk-anggukkan kepala. 

"Sekarang waktunya kamu untuk berbakti. Mengikuti apa maunya Papa." 

"Memangnya apa maunya, Papa?" tanyaku membalas tatapan pria berjambang tipis itu. 

"Ya, nurut. Udah, itu aja. Kamu nurut sama mereka, tidak membangkang lagi."

Aku tidak menjawab. Memilih diam menikmati teh manis seraya memandang langit yang mulai menghitam. 

Aroma harum bunga melati tercium membuatku ingin memetik bunga putih yang berada di taman kecil di pinggir kolam renang. 

Aku bangkit dari kursi, berjalan memutari kolam, lalu memetik dua bunga melati yang bermekaran. Membawanya ke tempat semula, kemudian memasukkannya ke dalam cangkir keramik berisikan teh manis. Menyesapnya lagi, menikmati harum serta manis yang menenangkan jiwa. 

Lama aku tidak menikmati suasana ini. Rindu untuk kembali ke masa lalu pun menyerang kembali. Lari-lari nakal bersenandung riang menjelajahi taman kecil di sudut sana. Mengejar kupu-kupu cantik yang terbang dan hinggap pada setiap kelopak bunga yang bermekaran mengeluarkan aroma segar. 

Itu dulu. Saat aku masih kecil, jauh sebelum mengenal cinta. Cinta semu yang membutakan mata serta nurani. Hanya mengedepankan pikiran yang akhirnya menjerumuskan diri ini pada penyesalan. 

"Al!"

"Iya, Mah!"

"Iya, Mah!"

Kami menjawab bersamaan membuat Mama menutup mulut membulatkan mata. 

"Lupa, jika ada dua 'Al' di rumah ini," tuturnya mengahampiri kami. 

Mencium sebelah pipiku, lalu beralih ke pipi Bang Aldi. 

"Coba lihat ini. Mama butuh pendapat kalian mengenai pesta hari jadi AA Garment."

Mama menyimpan buku dengan gambar-gambar dekorasi pesta di gedung mewah. Aku menggaruk alis, tidak tahu harus memberikan pendapat apa. 

"Menurut kalian, mana yang bagus?" 

"Ini."

"Ini."

Aku dan Bang Aldi menunjuk gambar yang berbeda. 

Mama berdecak. "Kok, enggak kompak, sih? Asal banget jawabnya. Menurut Mama, ya bagusan ini, dong. Lihat, sangat cantik dan mewah. Cocok banget, nih buat pesta hari jadi perusahaan kita."

Aku dan Bang Aldi saling pandang dengan mengedikkan bahu. Ternyata Mama masih tidak berubah. Meminta pendapat kami hanya untuk mencari alasan agar bisa ngobrol dengan putra-putrinya. Yang dia ambil, tetap pendapat diri sendiri. 

Ah, dasar Mama. 

"Mah. Mamah sama Alina dipanggil Papa. Katanya ada tamu yang ingin bertemu Alina," ujar Kak Rindu beridiri di ambang pintu kaca. 

Tamu untukku? Siapa? 

Bersambung

Comments (214)
goodnovel comment avatar
Asgap Peni
hmmmmmmmmmmm
goodnovel comment avatar
Sri Niarti
yah......kelamaan dapat bonusnya ......
goodnovel comment avatar
Sri Niarti
buka dong.....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status