Share

Jawaban

Uhuuk ... Uhuuk....

Mas Alvan batuk mendengar pertanyaan terakhir yang kukatakan.

Apa benar kamu selingkuh Mas? Kenapa kamu begitu gugup saat ku tanyakan hal itu?

Sakit jika itu benar terjadi. Meski aku sangat mencintaimu tapi jika kamu berkhianat aku tak akan segan-segan meninggalkanmu.

"Jawab Mas! Kenapa kamu diam saja!" Kunaikkan nada bicaraku. Kesal, suamiku hanya diam mematung.

"I-itu sayang, Mas ...." Mas Alvan terdiam. Dia seperti tengah merangkai sebuah kalimat. Aku yakin dia hanya mencari alasan saja.

"Sini Mas, jelaskan." Mas Alvan menepuk ranjang di sebelahnya. Ku geser tubuhku mendekatinya.

Mas Alvan menarik tubuhku hingga kepala menempel tepat di dada bidangnya. Tak ada jarak di antara kami membuat aku dapat mendengar detak jantung suamiku dengan jelas.

Dulu, ini adalah posisi ternyaman saat bersamanya. Aku bisa terlelap hanya dengan menempelkan tubuh di dada bidangnya. Namun hari ini terasa hambar karena sebuah paket baju bayi. Seakan ada tembok pembatas di antara kami.

"Kenapa mas membeli pakaian bayi? Mas tahu kan barang itu membuatku begitu sensitif," ucapku sedikit melunak.

Aku harus membicarakan masalah ini dengan kepala dingin. Aku tak mau, hanya karena paket baju bayi kami harus bertengkar.

"Kamu mau tahu apa alasanku membeli baju bayi ini?" Tangan Mas Alvan mengelus pelan rambutku. Seketika amarahku menguap begitu saja. Suamiku memang tahu bagaimana cara melunakkan hatiku.

Sepertinya kecurigaan ku terlalu berlebihan. Buktinya Mas Alvan masih begitu hangat denganku. Dia selalu memperlakukan ku dengan lembut. Kenapa juga aku bisa curiga seperti ini.

"Apa alasannya, Mas?" Ku ubah posisi dudukku. Kaki ku luruskan di atas ranjang dengan kepala berbantalkan paha suamiku. Dari sini dapat ku lihat berapa tampan suamiku.

Mas Alvan menghembuskan nafas perlahan. Kemudian matanya menatapku, begitu hangat. Sungguh aku selalu merindukan saat-saat seperti ini.

"Teman Mas pernah bilang, katanya jika seseorang ingin cepat diberi keturunan dia harus beli pakaian bayi."

Menaikkan alis, aku tak mengerti dengan maksud ucapan Mas Alvan. Apa hubungannya membeli pakaian bayi dengan bisa hamil? Aneh.

"Maksudnya Mas? Aku kok jadi bingung sendiri ya." Mas Alvan sedikit gugup dengan ucapanku. Tiba-tiba ada rasa ragu menelusup di hati. Benarkah ucapannya?

"Seperti saat mau memancing kan harus ada cacing untuk bisa mendapatkan ikan. Nah begitu juga dengan hamil. Harus beli pakaian bayi dulu baru bisa hamil. Seperti pancingan agar cepat hamil, sayang."

Setahuku bukan membeli pakaian bayi untuk bisa lekas hamil. Tapi mengadopsi anak agar bisa menjadi pancingan. Ini Mas Alvan yang salah atau aku yang tidak tahu? Tapi aneh juga ucapan Mas Alvan. Mencurigakan.

"Bukannya adopsi anak untuk pancingan agar cepat hamil ya Mas? Bukan justru beli pakaian bayi."

"Terserah lah kamu percaya atau tidak. Orang temanku bilangnya begitu. Makannya aku nurut. Ini semua agar kita cepat mendapatkan momongan." Mas Alvan mengganti pahanya dengan bantal lalu pergi meninggalkanku. Mas Alvan marah.

Ya Tuhan....

Apa aku sudah keterlaluan bersikap curiga pada suamiku sendiri. Padahal selama ini dia sangat menyayangiku. Tak pernah sedikit pun dia bersikap kasar padaku.

Mas Alvan memang mendambakan seorang anak. Namun dia tak pernah memintaku untuk lekas hamil. Karena dia yakin suatu saat pasti Allah memberikan bayi kecil di antara kami.

Mungkin perasaan inginnya terlalu besar hingga ide konyol teman pun dia lakukan. Aku jadi merasa sangat bersalah. Kenapa bisa aku berpikir yang tidak-tidak padanya.

Maaf, maafkan aku Mas!

Segera aku bangun. Berjalan sambil mengikat rambut sekenanya. Aku harus mencari Mas Alvan dan meminta maaf kepadanya.

Berjalan perlahan menuruni anak tangga. Mata awas mencari sosok lelaki yang menemaniku selama enam tahun ini. Di dapur kosong, ruang keluarga juga tak ada. Apa mungkin Mas Alvan ada di teras depan?

"Mas, Mas Alvan. Kamu di mana?" panggil ku sambil berjalan ke teras depan. Nihil, tak ku temukan suamiku. Mobil pun masih terparkir di halaman. Lalu di mana suamiku?

Bulir bening nan hangat mengalir dari sudut netra. Tak pernah Mas Alvan pergi tanpa pamit apalagi saat marah begini. Maafkan aku Mas, maaf.

Aku terisak di ruang keluarga. Sesekali mulut ini memanggil nama Mas Alvan. Namun tak pernah ada jawaban.

"Maaf, Mas... Mmm ...," ucapku sambil terisak.

"Kamu kenapa nangis, sayang?" Suara yang sangat kukenal. Mas Alvan.

Segera aku bardiri lalu berlari ke arah suamiku. Kupeluk erat tubuhnya sambil terus terisak.

"Maaf Mas, maafkan aku!"

"Kenapa harus minta maaf, kamu tidak salah. Sudah jangan menangis!" Tangan kekarnya menghapus bulir bening yang membasahi pipi.

"Maaf telah menuduhmu yang bukan-bukan. Aku takut kamu selingkuh karena aku belum bisa memberikanmu keturunan." Mas Alvan justru tersenyum mendengar ucapanku. Di bawa tubuhku dalam pelukannya.

"Mas tak akan pernah selingkuh hanya karena belum dikaruniai keturunan. Mas sangat mencintai kamu Al." Ku eratkan pelukanku. Hangat pelukan memenuhi tubuhku.

"Ayo makan, Mas sudah lapar. Kalau kamu peluk kapan dong makannya Al?" Mas Alvan mencubit pelan hidung mungilku.

Kami berjalan sambil bergandengan tangan. Sudah seperti anak abg saja. Ya, mungkin ini yang dinamakan budak cinta alias bucin.

***

Kami duduk di ruang keluarga sambil menyaksikan pertandingan sepak bola kesukaan Mas Alvan. Sebenarnya aku tak terlalu suka menonton pertandingan bola. Aku lebih suka menonton pertandingan bulu tangkis.

Tangan mengambil kacang telur di atas toples. Makan cemilan adalah rutinitas wajib saat menonton televisi. Bagaimana tubuhku tidak mengembang jika aku makan di malam hari.

Pernah suatu hari aku mengeluh berat badanku yang selalu geser ke kanan. Namun Mas Alvan justru bilang jika aku seksi jadi tak usah menurunkan berat badan. Katanya gemuk tanda bahagia. Ya, memang benar aku sangat bahagia hidup bersamanya.

"Yang," panggilnya sambil menatapku.

"Iya Mas, ada apa?"

"Besok Mas harus keluar kota. Kamu tolong siapkan keperluan Mas, ya."

"Urusan bisnis ya Mas? Aku boleh ikut?" Mas Alvan terlihat tegang.

Apa dia malu jika aku ikut dengannya. Apa karena badanku yang bengkak hingga ia tak pernah mengajakku pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Padahal kita bisa sekalian honeymoon.

"Bukannya tak boleh sayang. Mas takut kamu bosan kalau menunggun di hotel sendirian." Mas Alvan mengelus rambutku perlahan.

"Mas malu ya?" Kutekut wajahku.

Mas Alvan menatap mataku lekat. Seakan menyelami isi pikiranku.

"Mas tidak mau kamu kecapekan. Kata dokter tidak boleh capek agar cepat diberi momongan."

Jawaban yang selalu tak bisa ku bantah. Entah itu benar atau alasan saja. Karena aku tak bisa membedakan kejujuran atau dusta dari mulut suamiku. Aku seperti seekor kerbau yang dicocok hidungnya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Bodohnya kamu
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Bego bgt percaya gitu aj dah jelas ngomong aj gugup2 gitu malah percaya. W mah ndak ngerti ms org nangis mmm. Ada jg hiks hiks msh mending
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status