Share

Kemarahan Alvan

Aku masih di kamar mandi. Bersembunyi dari amukan ibu dan Sasya. Biarlah mereka membayar sendiri perawatan salon. Memang aku ATM mereka hingga setiap pengeluaran harus aku yang membayar. O, tidak bisa! Aku bukan lagi Alia yang mudah mengabulkan keinginan mereka.

Terimalah kejutan pertamaku. Masih ada kejutan-kejutan yang lain. Bersiaplah karena aku tak pernah main-main.

Aku mulai bosan menunggu di kamar mandi. Tak mungkin jika aku berada di sini. Bisa-bisa duo ular akan curiga kepadaku. Dengan mencoba tenang aku melangkah menuju kasir. Belum sampai saja jantungku sudah berdetak tak menentu. Aku yakin akan ada masalah baru setelah insiden ini. Tapi aku tak akan takut, toh akulah pemegang kendali karena semua harta adalah milikku.

Suara keributan sudah tak terdengar lagi. Apa duo ular itu sudah bisa menyelesaikan masalah tanpa mengandalkan diriku. Ah, aku jadi penasaran. Ku percepat langkah kakiku.

Ibu dan Sasya tengah duduk di depan kasir dengan wajah di tekut masam. Aku yakin mereka berdua tengah marah padaku. Di saat genting justru aku menghilang begitu saja.

"Mbak Alia dari mana saja sih!"

Nah kan benar, baru sampai saja sudah disuguhi dengan amukan. Untung saja aku sudah kenyang, jadi memiliki tenaga untuk melawan mereka yang aku yakin sudah kelaparan.

"Aku sakit perut Sya, jadi ke belakang. Tidak mungkin kan aku diam di sini terus. Bisa bab di celana. Malu lah Sya, memangnya aku anak kecil yang berak di tempat," jawabku santai tak merasa bersalah. Ya, karena aku memang tak salah. Dia yang ngajak ke salon. Giliran gak bisa bayar, marahnya ke aku.

"Harusnya kamu tanggung jawab Ak, bukan lagi gitu saja. Sudah ngajak ke salon kok tidak mau tanggung jawab." Omelin ibu mertua.

"Apa, bu? Aku yang ngajak ke salon. Apa aku tidak salah dengar. Justru Sasya kan yang mengajak ke salon. Harusnya orang yang mengajak yang membayar, bukannya aku!" ucapku keras hingga semua mata tertuju pada kami. Sontak Sasya menatapku tajam.

Aku mah cuek saja, toh memang itu kenyataannya.

"Lebih baik kamu diam Al, bicara hanya menambah masalah saja!"

Sementara ku turuti ucapan wanita yang bergelar mertua itu. Bukan aku tak sanggup melawan tapi malu jadi tontonan. Apa kata dunia jika Alia bertengkar di muka umum.

Aku duduk dengan jarak dua kursi dari Sasya. Malas harus duduk berdekatan dengan keluarga parasit itu. Sudah di beri kemudahan tapi justru menikam dari belakang. Mereka adalah salah satu contoh manusia yang tidak bisa berterima kasih. Kucing saja setia pada majikannya. Sementara mereka, Astagfirullah ....

Ku ambil benda pipih yang ada di dalam tas. Ku nyalakan tapi tidak bisa. Apa batrenya habis. Astaga, hampir saja aku lupa jika ponsel sengaja ku matikan agar tidak bisa membayar perawatan ibu dan Sasya. Untung tombol power tidak ku tekan lama. Bisa gawat kalau mereka tahu aku bohong.

"Ponsel mati saja dikeluarin!" sindir Sasya.

Aku memilih diam tanpa menjawab ucapannya. Tapi bagaimana cara mereka membayar perawatan wajah. Sedang mereka tak membawa uang sepeser pun? Dan kenapa mereka tak memintaku pulang untuk mengambil uang?

Aku menerka-nerka sendiri, tak mungkin aku bertanya. Bisa-bisa mereka memintaku untuk membayarnya. Oh, tidak! Aku tak mau mengeluarkan uang untuk mereka walau sepeser pun.

Sepuluh menit menunggu rasanya bagai sewindu. Sesekali ku ubah posisi duduk. Berat badan yang berlebih membuatku merasa tak nyaman saat duduk dengan posisi yang sama.

Ibu dan Sasya hanya diam. Entah apa yang mereka pikirkan. Dalam hatinya pasti mengumpat dengan perbuatanku hari ini. Tapi aku tak ambil pusing dengan itu semua karena memang semua perbuatanku.

Sejak duduk di sini, aku tak melihat Lita. Kemana dia? Apa mungkin anak itu sedang melayani pelanggan yang lain. Ya, sudahkah biar nanti ku transfer uang ke nomor rekeningnya.

Di jaman canggih seperti ini tak perlu susah ke ATM untuk mentransfer uang. Cukup melalui ponsel semua akan beres.

Ku pijit kepala yang terasa berdenyut. Akhir-akhir ini aku memang sering merasakan sakit kepala. Entah karena apa, aku pun tak tahu. Aku bahkan belum memeriksakannya ke dokter. Rasa malas membuatku enggan ke dokter.

"Ibu! Sasya!" Suara seseorang yang sangat ku kenal. Tapi kenapa dia bisa ada di sini?

Mas Alvan mendekat ke arah kami. Sasya dan ibu segera memeluknya. Wajah yang tadi merah padam berubah seketika menjadi berkaca-kaca. Bahkan dari sudut mata mereka sudah mengeluarkan air mata.

Aku tahu mereka pasti tengah bersandiwara agar aku menjadi tersangka.

"Buruan bayar, Mas! Aku malu!" rengek Sasya.

Suamiku segera ke kasir. Di rogohnya dompet yang ada di saku celana. Tangannya mengeluarkan kartu debit dari dompet hitam.

Ah, sial!

Ternyata dia memanggil abangnya. Itu sama saja uangku yang dipakai untuk membayar perawatan mereka. Bedanya pakai kartu debit Mas Alvan.

Lho, tapi kenapa Mas Alvan ada di sini. Katanya ada di luar kota. Nah, kan ketahuan bohongnya. Apa ingin dengar jawaban apa yang keluar dari mulutnya.

Melangkah mendekati suamiku. Kini aku tepat berdiri di belakangnya.

"Mas ...." Ku sentuh pundaknya.

"A-Alia!" ucapnya sambil melonjak kaget. Bahkan tubuhnya sampai menempel meja kasir. Wajahnya pun terlihat begitu tegang.

Apa dari tadi dia tak melihatku hingga saat bertatapan denganku ia begitu terkejut. Apa mungkin Sasya tak cerita jika ke salon bersamaku. Ya, mungkin begitu. Aku justru bersyukur, berkat kecerobohan mereka, aku menjadi semakin yakin jika suamiku tak pergi ke luar kota. Dia pasti pergi ke rumah istri mudanya. Dasar lelaki kur*ng aj*r!

"Kenapa terkejut, Mas?"

Mas Alvan diam, wajahnya menjadi semakin gugup.

"I-itu Al, kaget saja tiba-tiba kamu sudah ada di belakangku," jawabnya sambil menatap arah lagi.

Aku tahu kamu berbohong Mas! Kamu akan menatap arah lain jika sedang menyembunyikan sesuatu. Seperti saat ini.

"Harusnya aku yang terkejut dong, Mas. Tadi pagi kamu pamit ke luar kota tapi kenapa sekarang ada di sini, Mas!" Ku tatap tajam netrannya.

"Itu... Itu... Ka...." Mas Alvan menghentikan ucapannya.

"Kamu bohongi aku Mas?" Ku naikkan nada bicara hingga suara orang menatap kami dengan penuh tanda tanya.

Mas Alvan menarik tanganku, hingga kami berada di samping mobilnya. Lelaki yang telah menikahiku enam tahun lalu itu menatapku tajam. Ada amarah bom yang siap di ledakkan saat ini juga. Ku lepas genggaman tangannya yang mulai mengendor. Rasa sakit di tangan ini tak sebanding rasa sakit di hati.

"Kenapa kamu tidak mau membayar perawatan ibu dan Sasya?"

Mas Alvan mengalihkan pembicaraan. Dia berusaha menyudutkanku dengan pertanyaannya.

"Aku lupa membawa kartu debit dan kartu kredit, mugkin tertinggal di dompet lain. Sementara uang di dompet hanya cukup untuk membayar perawatanku saja."

"Alasan! Kenapa tidak transfer lewat ponsel saja!"

"Ponselku kehabisan daya. Lalu aku harus gimana dong!"

"Lalu kenapa harus mengajak mereka ke salon jika kartu debit tidak dibawa!"

"Hello! Bukan aku yang mengajak tapi Sasya!"

"Bohong Mas, mbak Alia kok yang mengajak kami ke salon. Dia pasti sengaja ingin mempermalukan kami." Sasya sudah berada di belakang kami. Soroti kemenangan tergambar jelas di matanya.

Rupanya ular kecil ini sudah terang-terangan menaikkan bendera perang. Oke, siapa takut!

"Kamu memang benar keterlaluan Al! Sudah tidak bisa ha ....!" Mas Alvan tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi aku tahu yang akan ia bicarakan.

"Apa! Aku tidak bisa hamil maksud kamu! Ingat ya Mas, kamu bisa seperti ini karena uang aku! Jangan jadi kacang lupa kulitnya! Dan kenapa kamu bisa disini! Pakaian sudah ganti, mana kopermu!"

Mas Alvan diam,raut tegang kembali tergambar di wajahnya.

"Atau tidak jadi ke luar kota Al," ucapnya melunak. Tangannya mulai memegang tanganku tapi segera ku tepis kuat-kuat.

Mas Alvan sedikit terkejut dengan tindakanku. Ya, karena baru kali ini aku begitu emosi.

Kulangkahkan kaki menuju mobil. Percuma meladeni orang gila. Toh kebaikanku selama ini hanya dianggap angin lalu.

"Sayang maafkan aku, bukan maksudku untuk membentak kamu. Atau hanya terbawa emosi. Aku kira kamu sengaja mempermalukan ibu dan Sasya." Mas Alvan mengejarku.

Aku masuk ke mobil dan segera menutup pintunya. Beberapa kali dia mengetuk jendela mobil. Hingga ku turunkan kacanya.

"Mulai besok aku akan ke kantor!" ucapku lalu menyalakan mesin mobil meninggalkan Mas Alvan. Ku lihat dari spion mobil Mas Alvan sedang mengacak rambutnya.

"Tunggu Mas, permainan baru di mulai!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Titik Handayani
bener 2 keluarga parasit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status