Aku harus kembali masuk ke rumah sakit. Tapi bagaimana caranya? "Ayo, Al! Kenapa diam begitu?" Bang Rizal menyentuh pundak. Membuatku sedikit terkejut. "Aduh ... Du ... Duh." Kupegangi perut. "Kamu kenapa, Al?" Bang Rizal mengelus perut, pundak, bahkan sekujur tubuhku ia pegang. Bahkan ia tampak begitu mengkhawatirkan diriku. Maaf, ya, Bang. Aku terpaksa melakukan ini. Aku harus menemukan Sayasya terlebih dahulu. Setelah itu tak akan ada kebohongan di antara kita. "Kita ke dokter, ya, Al."Gawat, bisa ketahuan jika aku hanya berpura-pura. "Aku pegen buang air besar, Bang." Lagi kubergaya seperti orang yang menahan hasrat ke belakang. "Ya sudah, ayo!" Bang Rizal menuntunku. Namun segera kutepis tangan kekar itu. "Kenapa?" Dia menatapku heran"Bau, Bang. Abang tunggu di dalam mobil aja. Nanti aku nyusul." Kuberikan vitamin dan tas. "Tolong bawakan, Bang.""Yakin?"Aku mengangguk lalu melangkah meninggalkannya. Setelan kurasa awan, tangan yang sedari tadi memegangi perut kulepa
"Abang bicara dengan siapa?""A-Alia.""Abang bicara dengan siapa?" tanyaku lagi. "Bicara dengan rekan kerja. Kamu terbangun, Al?" tanyanya sedikit gugup. "Buang air kecil, tapi Abang gak ada di kamar. Jadi aku mencari ke sini." "Ayo tidur lagi." Bang Rizal menuntunku ke kamar. Rasa kantuk membuatku menurut tanpa bertanya lebih jauh lagi. Meski dalam hati berkecamuk rasa penasaran dengan siapa ia berbicara.Seperti anak kecil aku meringkuk di pelukan Bang Rizal. Bahkan tangannya kujadikan bantalan. Inilah posisi ternyamanku. ***Aku sudah siap, tak lupa kubawa kunci mobil yang tergeletak di atas nakas. Berjalan perlahan menuju depan. Kali ini tak ada drama, karena mama dan Pak Supri sudah mengetahui semuanya. Mobil melaju menuju rumah sakit. Rasa penasaranku masih tinggi. Apa benar Syasya berada di sana? Hanya Syasya satu-satunya kunci kejahatan Bisma dan Kartika. Mas Alvan yang kuharapkan justru tak memberi kabar. Percuma aku membantunya bebas. Hem. Jalanan lancar di jam s
Perasaanku tak enak, bayangan kehancuran perusahaan berada di depan mata. Pasti mereka menginginkan harta kami. Sama seperti pengkhianat pada umumnya. "Hati-hati, Mbak," ucap Syasya saat kulajukan kendaraan mobil sedikit cepat. Mobil kuparkirkan sembarangan. Dengan cepat kami melangkah menuju ruang meeting yang ada di lantai atas. "Pelan, Mbak! Mbak sedang hamil, lho!"Aku mengabaikannya. Langkahku justru kian cepat. Tak sabar kubongkar kebusukan Bisma dan Kartika. Pintu kudorong dari luar. Tiga orang menatap heran ke arah kami. "Stop! Jangan tanda tangani surat itu!"Kartika dan Bisma saling pandang, raut tegang tergambar jelas di sana. Mereka seperti kucing yang terpergok mencuri ikan asin. "Kamu kenapa, Al?" tanya Bang Rizal bingung. Tanpa menjawab kurebut dua kertas di atas meja. Aku baca kata demi kata yang tertulis di sana. Benar dugaanku, mereka ingin mengambil showroom mobil dan menilap uang perusahaan dalam jumlah besar. "Baca ini, Bang! Jangan asal tanda tangan kalau
Kartika dan Bisma diseret oleh polisi keluar dari ruangan ini. Aku mematung, masih bingung dengan kejutan yang Bang Rizal berikan. Bukankah dia begitu percaya dengan mereka. Tapi kenapa tiba-tiba.... "Kenapa, kamu bingung?" Bang Rizal menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Perlahan ia mengajakku duduk di sofa. Aku lirik Syasya yang berdiri dengan kebingungan tergambar di wajahnya. "Duduk, Sya! Cepek berdiri terus!" Syasya mengangguk kemudian menjatuhkan bobotnya tepat di sampingku. "Kenapa polisi bisa ke sini, Bang?""Alvan memberitahu semuanya. Dia menunjukkan bukti jika Kartika dan Bisma bersekongkol untuk menghancurkan keluarga kita.""Mas Alvan? Bukankah ia bersekongkol dengan mereka? Dia juga berniat menghancurkan keluarga kita, kan?"Aku tak percaya dengan perkataan Bang Rizal barusan. Benarkah Mas Alvan melakukan itu? "Semua demi Aira karena Aira berada di tangan Kartika."Ya, aku baru ingat jika putri Mas Alvan berada di rumah itu. Kenapa aku tak berpikiran sejauh itu? Asta
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera