Share

Mendadak Kaya Usai Bercerai
Mendadak Kaya Usai Bercerai
Penulis: Galuh Arum

Satu

“Nisa! Kamu pikir hidup di rumah ini serba gratis?” Ibu Atik berteriak kencang saat sang menantu tak kunjung datang.

Wanita dengan rambut memutih itu lalu mengambil keranjang berisi baju kotor miliknya. Ia tak tahan melihat keranjang itu masih berisi dan Anisa malah santai-santai.

“Bu, ada apa berteriak. Aku sedang merapikan bekas masak, sebentar lagi Mas Wisnu pulang,” bantah Anisa.

“Kamu kerja aja lelet, masak dari tadi belum kelar juga, bagaimana sih kamu? Cepat masukan ini ke mesin cuci, sudah bagus anak saya mau menikah dengan gadis kampung seperti kamu,” cerca Bu Atik.

Anisa hanya bisa beristighfar di hati. Demi kebaikan bersama pun akhirnya ia hanya diam dan tak melawan apa yang di katakan sang mertua.

Dengan kasar Bu Atik menendang keranjang baju itu hingga berantakan. Anisa pun menunduk memungut baju yang kini berserakan di lantai. Ia tak tahu bagaimana bisa ibu mertuanya begitu membencinya.

Bu Atik kembali ke ruang TV, ia duduk sembari minum teh dengan cemilan kue brownis yang baru saja di belinya di toko kue. Sesekali ia meneteskan air mata karena drama rumah tangga itu sangat sedih.

Sementara, Anisa berkutat di dapur dengan cucian segunungnya. Sesekali ia menyeka keringat yang menetes di kening.

“Di rumah Bapak pun aku tak di perlakukan seperti ini, kenapa di rumah yang harusnya nyaman aku harus seperti ini?” Anisa bergumam sendiri.

***

Baru saja menyelesaikan cucian, sang suami pun sudah pulang. Ia gegas ke kamar mandi dan membersihkan diri. Ia takut saat sang suami melihatnya masih dalam keadaan tak enak di pandang.

Untung saja sang suami, masih berbincang dengan ibunya hingga bisa membuat Anisa gegas merapikan diri. Setelah itu ia menghampiri sang suami yang masih menemani ibunya.

“Mas,” sapa Anisa.

Sang suami menarik napas panjang, lalu memberikan tasnya untuk di simpan.

“Nu, bilang sama istri kamu itu, jangan lelet. Harus gesit, masa masak saja berjam-jam mencucinya. Bilangin juga kalau bayar air mahal,” oceh sang ibu.

Anisa merasa kesal karena mendengar hal itu. Lagi pula ada dirinya di tempat itu, tapi terabaikan.

“Aku lapar, makan temani aku makan, Nis,” ajak sang suami. Wisnu tidak mau terjadi pertengkaran antara sang istri dan ibunya.

Anisa menurut, ia menemani sang suami makan. Sesekali Wisnu berbincang tentang pekerjaannya di kantor.

Namun, Anisa tak menceritakan bagaimana lelahnya dia di jadikan pembantu oleh ibu mertua. Ia ingin baik-baik saja, sama seperti yang Wisnu pikirkan.

“Apa Ibu membuat kamu lelah?” tanya Wisnu.

“Aku enggak mengerti, aku sudah melakukan apa pun yang ibu kamu katakan. Tapi, tetap saja aku di matanya selalu salah. Aku ini menantu, Mas, bukan pembantunya.” Anisa menahan bening bulir di pipi. Ia merasa lega sudah menceritakan semua pada sang suami.

“Kamu sabar saja, nanti juga ibu berubah.” Wisnu mencoba menangkannya.

“Sampai kapan, Mas? Aku lelah seperti itu,” ujar Anisa.

 Wisnu hanya bergeming, sampai kapan pun ia paham jika sang ibu tidak akan berbaik hati selama Anisa belum memiliki anak. Apalagi sang ibu sangat menginginkan keturunan. Wisnu tak melanjutkan pembicaraan dan kembali makan.

***

“Cuh, kamu mau bikin darah tinggi mama semakin tinggi, masak kok asin,” oceh Bu Atik.

Wanita itu semakin kesal dengan Anisa, sedangkan Anisa masih menunduk walau hatinya sudah gondok bercampur kesal. Bu Atik tak hentinya mengomeli Anisa yang sama sekali tak bersalah. Bahkan perabotan rumah pun turut di komplen.

“Kalau Ibu enggak mau makan, ya sudah. Tapi jangan terus menerus memarahi aku. Aku punya batas kesabaran!”

“E—eh kamu pintar bantah Ibu, ya. Mau Ibu usir kamu dari rumah ini?” Bu Atik kembali mengoceh, ia sangat kesal dengan Anisa.

“Sudah, Bu. Sudah, Nis. Aku pusing melihat kalian bertengkar,” ujar Wisnu.

Anisa memilih meninggalkan dapur dan mengurung diri di kamarnya. Tidak lama Wisnu datang dan membuatnya tenang. Namun, rasa sakit di dada pun masih sangat kental, apalagi dengan jelas sang ibu sudah menyentil dirinya.

“Kamu mengerti sikap Ibu?”

“Mas, sebelum Ibu tinggal bersama kita, semuanya baik-baik saja. Bukannya aku durhaka tak mau di tumpangi, tapi sikap ibu bikin aku sakit hati, Mas.” Anisa kembali menegaskan kalau dirinya begitu sakit hati.

Wisnu serba salah mengambil keputusan, apalagi ia tak bisa mengusir ibunya saat ini karena tak ada yang mau mengurusnya lagi. Tidak mungkin ibu ikut dengan adiknya karena sudah pasti akan menolak ibu.

Wisnu tak membahasa masalah ibunya lagi. Ia pun melangkah ke luar dengan wajah kusut karena dilema dengan permasalahan di rumahnya. Pertengkaran ibu dan istrinya. Belum lagi pertanyaan tentang anak yang selalu ibunya bahas.

Sementara, Anisa terduduk di pinggir tempat tidur. Ia merasa tak kuat menghadapi ibu mertuanya yang bersikap seperti itu. Hatinya menangis, hanya karena dia miskin dan ibu mertuanya mempermalukan dirinya. Entah, ia akan bertahan sampai kapan.

“Nisa!”

Nisa mengelap sisa air mata, ia gegas menghampiri suara yang bergema kencang itu. Bu Atik sudah bertolak pinggang, Anisa kembali kesal. Kenapa hanya piring kotor saja dia tidak mau membersihkan. Kenapa harus berteriak memanggilnya terus.

“Bersihkan piring itu, kamu pikir saya pembantu harus mengerjakan semuanya? Dasar menantu miskin tak tahu diri. Sudah bisa tinggal enak, malah mau sok jadi nyonya.” Mulut pedas ibu mertuanya kembali menorehkan luka.

Anisa mencengkeram ujung baju, ia merasa sudah tak kuat lagi. Apalagi selalu menyakiti hatinya.

“Ibu bersihkan sendiri, aku lelah. Kalau ibu enggak bisa, panggil saja pembantu untuk bekerja di sini. Apa susahnya,” ujar Anisa.

“Heh, kamu pikir bayar orang enggak mahal?”

“Lalu, ibu pikir tenaga aku gratis? Ak ih juga capek, Bu. Belum kelar satu, ibu sudah berteriak. Anisa, Anisa, Anisa. Bisa enggak sih, enggak narik urat terus. Hati-hati darah tinggi naik dan cepat mati,” ujar Anisa. Ia berlalu dari hadapan ibu mertuanya.

“Heh, Anisa! Kamu doain ibu cepat mati? Dasar menantu enggak tahu sopan santun!” Bu Atik menahan amarah.

Anisa tak sanggup lagi, ia memilih berontak dari sikap ibunya. Sementara, Wisnu pun menghampiri Anisa lagi. Ia mencoba menenangkan sang istri lagi.

“Apalagi, Mas?”

“Ibu itu sebenarnya baik, kamu saja yang nggak bisa mengambil hatinya. Lalu, harusnya kamu mencari tahu keinginan dia. Coba kalau kamu bisa hamil, ibu pasti senang dan sayang sama kamu. Apa kamu enggak kesepian?”

“Aku enggak pernah kesepian karena setiap hari aku sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Lagi pula aku sudah memeriksakan semua dan hasilnya bagus. Stop Mas, jangan bahas masalah anak lagi. Atau kita lakukan saja bayi tabung,” ujar Anisa.

“Stop!”

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yeni Sipayung
wah wah mertua kok seperti itu! kalau pingin mantu cepat hamil ya jangan disuruh suruh n dimarah marahin dong... ...‍♂️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status