Share

Dua

“Kamu pikir proses bayi tabung itu mudah? Sudah mahal, belum tentu berhasil. Kamu mau buat suami kamu bangkrut, hah?” Suara melengking Bu Atik membuat Anisa menunduk.

Tidak menyangka ibu mertuanya mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Anisa tak berani menatap Bi Atik yang sudah bertolak pinggang di ambang pintu. 

Dalam sebuah pernikahan belum terasa sempurna jika belum adanya kehadiran sang buah hati. Apalagi ketika sudah memasuki tahun keenam Anisa dan Wisnu belum juga mendapatkan momongan anak. Belum lagi permintaan sang ibu untuk segera memiliki cucu dalam waktu dekat ini pun membuat Anisa dan Wisnu kerap membahas masalah itu.

Anisa menggigit bibir bawah saat Bu Atik dengan lantang menolak usaha terakhir mereka untuk memiliki anak. Apalagi sang suami adalah anak laki-laki yang sangat di harapkan memiliki keturunan.

“Ma, kita coba dulu,” ujar Wisnu.

“Enggak, bagi mama tidak ada kata mencoba. Ibu beri pilihan, menceraikan Anisa atau menikah dengan wanita lain.”

Jantung Anisa terasa berdetak sangat kencang saat mendengar ucapan ibu mertuanya. Sebuah pilihan yang tak akan menguntungkan dirinya. Apalagi, harus menerima madu di antara rumah tangganya.

“Ma, jangan seperti itu,” tolak Wisnu.

“Kalau kamu menikah dengan wanita lain, kamu masih bisa bersama dengan Anisa. Lagi pula, Anisa itu bibit enggak bagus, orang kampung. Sementara, jika kamu mencari wanita lain, carilah perempuan dari keluarga terhormat. Sayangnya, kenapa dulu Mama malah mengizinkan kamu menikah dengan wanita yang kamu bawa dari kampung ini!”

“Cukup, Ma. Jangan hina aku seperti itu, apa Mama enggak sadar sudah menyakiti hati aku?” Anisa yang sejak tadi diam kini berani bicara.

Wisnu meminta sang istri untuk tidak menentang sang ibu, tapi Anisa sudah tak sanggup lagi. Apalagi keinginan sang mertua untuk Wisnu menikah dengan wanita lain. Bagaimana bisa ia berdiam diri seperti itu.

“Lihat, istrimu berani bicara lantang pada mama, sudah mama duga, suatu saat kejelekannya terbongkar bukan. Lihat saja,” ujar sang Ibu.

Anisa beranjak dari tempat duduk dan melangkah masuk kamar. Wisnu serba salah, ia mengejar sang istri dan berbicara di kamar agar tak terdengar sang ibu.

***

“Kita enggak ada pilihan lain, kamu tahu sikap Mama, kan?” Wisnu kembali meyakinkan sang istri.

“Mas, jadi kamu lebih memilih mengorbankan perasan aku dari pada Mama kamu?” Anisa bertanya lirih. Hatinya belum juga sembuh dengan perkataan menyakitkan dari ibu mertuanya. Ini lagi harus menerima jika sang suami akan menikah lagi.

“Aku hanya enggak mau menjadi durhaka, Nis. Apa yang dikatakan Mama mungkin ada benarnya, lagi pula jika aku menikahi wanita lain pun masih bisa bersama kamu.” Wisnu mencoba membujuk sang istri.

Anisa benar-benar tidak mengerti jalan pikiran sang suami. Bagaimana bisa ia setuju dengan pemikiran sang ibu, jika memang Wisnu mencintainya pun tak akan menerima atau menikah lagi dengan wanita lain hanya demi anak yang diinginkan sang ibu.

“Durhaka apa sih, Mas? Kamu hanya menolak menikah karena kamu sudah mempunyai istri, apa yang salah,” ungkap Anisa geram.

Anisa menatap lirih sang suami, gurat wajahnya begitu tak tenang jika sang ibu sudah marah. Ia tak mau semua berlarut panjang.

“Memang enggak ada yang salah. Aku juga ingin memiliki keturunan, Mama menolak proses bayi tabung, pasti Papa juga sama seperti Mama.”

“Jadi, kamu setuju menikah dengan wanita lain? Atau memang kamu sudah punya calon, iya?” Anisa menatap bengis sang suami. Kalau memang benar dugaannya, ia tak akan terima begitu saja.

Wisnu bergeming, ia kembali menggenang tangan sang istri. Lalu, ia pun memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ia rasakan. Keinginannya memiliki anak sangat besar untuk saat ini.

“Iya, Mas setuju menikah dengan wanita lain, demi mendapatkan keturunan.”

Jawaban Wisnu sungguh membuat hati Anisa tersayat. Harusnya pria itu menolak, bukan malah menyetujui, keputusan macam apa itu pikir Anisa. Ia kembali terasa sesak memenuhi rongga dada. Hidupnya kini seperti tak ada artinya lagi, sang suami malah ikut dalam permainan ibunya.

“Apa kamu yakin yang bermasalah aku, bisa jadi kamu yang mandul, Mas.”

Sebuah tamparan mengenai pipi Anisa, Wisnu tidak terima saat dirinya dikatakan tidak subur. Tangannya kembali menarik lengan sang istri, Wisnu mencengkeram dengan keras hingga Anisa merasa sakit.

“Lepas, Mas.” Anisa mencoba berontak dan meminta Wisnu tak kasar dengannya.

Wisnu melepaskan lengan Anisa, ia mengusap wajah kasar saat merasa lepas kendali. Ucapan Anisa benar-benar sudah membuatnya muak, apalagi dengan mengatakan dirinya tidak sempurna.

“Kamu pikir aku mandul? Ternyata benar kata Mama, harusnya aku membuang perempuan tak berguna seperti kamu ke jalan!”

Anisa kembali terbelalak, apalagi saat cercaan terlontar dari mulut sang suami. Darahnya berdesir, ia kembali merasa sangat sesak. Ia gegas merapikan baju ke tas dan berniat ke luar dari neraka itu. Namun, Wisnu menahannya kembali.

“Sayang, maaf.” Wisnu menahan tangan Anisa yang sibuk memasukkan baju ke kopernya. Pria itu tidak mau sang istri pergi. Ia berharap Anisa tak pergi dari rumah itu karena dirinya memang masih sangat mencintai istrinya.

“Mas, kami sudah main tangan. Biarkan aku pergi dari rumah ini. Lagi pula, perempuan miskin seperti aku enggak pantas untuk jadi istri kamu sama seperti yang ibu kamu katakan.”

Wisnu memeluk sang istri, Anisa pun mencoba berontak tapi sang suami memeluknya erat. Kecupan manis mendarat di pipi Anisa. Setiap pertengkaran, Wisnu selalu memperlakukan Anisa seperti itu. Terkadang emosinya membaut dirinya kalap dan setelah sadar ia memeluk dan menciumi sang istri. Lalu, Anisa pun kembali luluh dengan kata-kata manis dari sang suami.

“Iya, nanti kita coba untuk program. Tapi jangan sampai ibu tahu,” ujar Wisnu.

Anisa bergeming, ia masih tak terima dengan perlakuan suaminya. Kali ini memang sangat keterlaluan. Ia pun berpikir apa sebenarnya sang suami memang memiliki wanita lain hingga ia ingin berpoligami.

Sang suami lalu kembali menemui ibunya. Setelah ia menenangkan Anisa. Sementara, Anisa nyatanya masih tak bisa tenang dengan perbincangan tadi. Netranya terhenti saat melihat ponsel sang suami bergetar di nakas.

Tangannya ragu ingin membukanya. Tak lama terlihat nama wanita di benda pilih itu. Lama beredering, Anisa hanya menatapnya tanpa berniat menjawab. 

Ponsel itu terhenti sendiri. Lalu, pesan masuk pun seperti dari orang yang sama. Anisa menarik napas panjang, lalu perlahan memutuskan mengambil ponsel yang kebetulan tak ber kode password saat membukanya walau belum semuanya ia periksa.

Jantung Anisa seakan berhenti ketika membaca kata-kata manis romantis serta rayuan-rayuan suaminya pada wanita lain.

"Oh, jadi begini kelakuanmu di belakang Ki, Mas?" 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status