Bu Atik geram dengan sikap Anisa, tapi mencair saate terdengar ketukan dari pintu arah depan. Ibu Wisnu yang penasaran langsung saja membukakannya dan yang datang ternyata adalah anak perempuannya.
Dengan antusias, ibu Wisnu menyambut kedatangan anak perempuan yang sudah menikah dan jarang sekali berkunjung ke rumahnya. Namun, kini dia datang dengan anaknya pula. Dengan gemas ibu Wisnu mencium pipi cucunya. Ibu Wisnu segera mengajak anak perempuannya masuk dan duduk di sofa.
"Nisa! Tolong buatkan minum! Cucu dan anak Ibu kemari! Cepat!" teriak ibu Wisnu.
Anisa yang tidak ingin bertengkar pun segera membuatkan minuman yang diminta mertuanya. Setelahnya, Anisa keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman untuk iparnya serta anaknya.
Seulas senyum Anisa berikan pada iparnya itu. Namun, bukannya membalas dengan senyuman yang sama, iparnya itu justru tertawa mengejek. Anisa hanya diam, tak ingin terlalu menanggapi iparnya itu. Memang, sejak awal dirinya datang ke rumah ini, seluruh anggota keluarga Wisnu tidak menyukainya. Maka, Anisa tidak heran dengan tingkah iparnya yang terkuat semakin menjadi-jadi itu.
"Huh, dasar cewek kampungan. Pantas saja orang lain tidak berminat," ujar ipar Anisa yang membuat langkah Anisa terhenti.
Tanpa membalikkan badan, Anisa menyunggingkan senyuman miring. Sudah terlampau sering dirinya diperlakukan seperti ini, tapi masih saja rasa sakit itu datang menghampiri. Sudut hatinya kian bertambah sakit, kejadian kemarin-kemarin belum bisa dirinya poles agar tidak terasa sakit tapi hari ini luka itu harus bertambah lagi yang kemungkinan akan bertambah besar dan lebar.
"Lihat saja, Bu. Pakaiannya, sungguh kampungan. Tidak mengenal fashion. Mana bisa mata suaminya terjaga jika seperti itu?" Lagi, iparnya itu berkata.
"Iya juga. Tapi, sudahlah bukan urusan kita pula," timpal ibu mertuanya.
Anisa memperhatikan penampilannya dari atas hingga ke bawah. Tidak ada yang aneh. Dirinya memakai kaus lengan pendek dan rok plisket dan itu cukup sopan menurut Anisa.
Dirinya pikir, jika di rumah untuk apa memakai pakaian yang bagus, padahal akan mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk. Namun, Anisa bisa menjamin di saat dirinya sudah berdua bersama suaminya, dia akan berpenampilan menarik dan Anisa bisa menjamin jika semua orang akan terpikat dengan pesonanya.
Namun, memang dasar laki-laki buaya. Suaminya justru memilih wanita yang jauh dari kata cantik jika dibanding dirinya. Huh! Anisa menjadi ingat akan kejadian malam tadi. Di mana dirinya memergoki chat mesra suaminya bersama wanita lain dan itu membuat emosinya kembali naik.
Anisa menghela napasnya panjang, lalu segera melangkah meninggalkan ibu mertua serta anak perempuannya itu. Tanpa ingin mendengar sesuatu yang nantinya akan semakin membuatnya sakit hati. Sesampainya di belakang, Anisa menyibukkan dirinya dengan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya. Dirinya tidak ingin emosi yang menderanya keluar dan berakibat fatal. Maka dari itu dirinya memfokuskan diri pada pekerjaannya. Tak ingin memikirkan hal yang tidak penting untuk dirinya.
"Ayo, kita sarapan dulu," ajak ibu Wisnu pada anak perempuannya yang langsung diangguki oleh anaknya itu.
Wisnu turun dari kamar dan segera bergabung dengan kedua orang tuanya dan juga kakaknya. Namun, dirinya tidak melihat Anisa di sana. Wisnu mengedarkan pandangannya, mencari-cari di mana Anisa berada.
"Anisa ke mana, Bu?" tanya Wisnu.
"Entah, mungkin di belakang," jawab ibu Wisnu tak acuh.
Mendengar jawaban ibunya, wisnu segera melangkah ke arah belakang rumah, untuk mencari istrinya. Sedari tadi pagi, Wisnu merasa ada hal yang berbeda dengan istrinya. Jika biasanya Anisa begitu antusias untuk menyiapkan keperluannya, tapi pagi ini tidak ada lagi wajah bersemangat Anisa.
Bahkan Anisa meminta dirinya untuk menyiapkan keperluannya sendiri. Sangat berbeda sekali dengan kebiasaan istrinya itu. Tadi pagi dirinya juga menemukan Anisa tidur di sofa bukan di sampingnya. Itu sangat tidak masuk akal menurut Wisnu.
Biasanya, sedang marah seperti apa pun, Anisa akan tetap tidur di kamarnya, tetap menyiapkan keperluannya dan akan tetap peduli padanya. Namun, kali ini, Semua itu tidak dilakukan Anisa. Entah apa yang membuat Anisa berubah seperti itu. Padahal Wisnu sendiri tidak merasa sudah melakukan hal yang menyakiti hati istrinya.
Wisnu akhirnya menemukan istrinya sedang duduk di aturan yang ada di belakang rumah. Sepertinya istrinya itu tengah melamun. Dengan segera Wisnu menghampiri Anisa dan menepuk bahunya.
"Kamu kenapa ada di sini? Tidak ikut sarapan?" tanya Wisnu pelan.
Anisa menoleh lalu menjawab, "Untuk apa?" tanyanya.
Wisnu mengerutkan keningnya bingung dengan jawaban yang Anisa berikan. Itu terdengar ambigu, dan Wisnu tidak mengerti itu.
"Tentu saja untuk melayani suamimu ini, dan juga sarapan bersama. Mengisi perutmu, yang juga butuh asupan makanan," kata Wisnu.
Anisa berdiri dari duduknya dan berbalik menatap Wisnu dalam.
"Kamu kenapa sih? Aneh banget tahu gak? Kamu beda dari biasanya." Wisnu benar-benar tidak nyaman saat ditatap seperti itu oleh Anisa.
Anisa berdeham, lalu mengembuskan napasnya sejenak, sebelum berkata, "Kamu tanya aku kenapa? Kenapa gak kamu tanyakan itu pada diri kamu sendiri, Mas?"
"Maksud kamu apa sih, Nis? Aku sama sekali gak ngerti!" balas Wisnu.
"Oh, begitu, ya. Bisa berbuat tapi tidak mengerti apa yang tengah diperbuat? Ck. Hebat sekali suamiku ini .... Kamu masih tidak mau mengaku, Mas?" tanya Anisa.
"Kamu kenapa melantur seperti ini, sih, Nis? Apa yang sebenarnya kamu maksud?" tanya Wisnu frustrasi.
"Oke, sekarang aku tanya. Apa pantas seseorang yang sudah beristri memanggil mesra seorang wanita yang bahkan tidak memiliki hubungan dengannya? Seseorang yang jika dibandingkan dengan aku bahkan jauh berada di bawahku. Jawab, Mas! Jangan diam saja!"
Deg!
Wisnu terkejut mendengar perkataan Anisa. Wisnu tidak dapat menyembunyikan raut wajah terkejutnya, lalu akhirnya dirinya tersadar.
"Apa yang kamu tahu, Nis?"
"Aku tahu semuanya, Mas. Tentang perselingkuhanmu itu! Apa yang kurang dariku, Mas? Sampai kamu tega melakukan itu padaku?! Apa, Mas?!"
Suasana rumah makan terasa mencekam setelah Wisnu kembali dari belakang. Wisnu tidak menyangka jika istrinya tahu apa yang dilakukannya. Wisnu menyugar rambutnya, dirinya bingung dengan apa yang harus dilakukannya.
Tak ingin terlalu memikirkan hal itu, Wisnu akhirnya pergi ke kantor tanpa berpamitan pada Anisa. Di dalam mobil Wisnu masih saja bingung dengan keputusan yang nantinya akan dirinya pilih.
Bagaimana bisa Anisa tahu padahal ia menutup rapat dan akan menikahi kekasihnya sesuai arahan sang ibu. Belum juga terjadi, Anisa sudah tahu semuanya.
"Arhg, sial!"
Wisnu memukul setir mobil, ia berulang kali merutuk dirinya. Ia pun tak mau kehilangan Anisa untuk saat ini karena perempuan itu sangat rajin hingga dia tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk memperkejakan pembantu, toh ada sang istri yang setia merapikan rumahnya.
***
Sesampainya di kantor, Wisnu dikejutkan dengan kedatangan Sinta, wanita yang selama ini menjadi selingkuhannya. Dengan segera Wisnu membawa Sinta masuk ke dalam ruangannya. Sinta yang ditarik oleh Wisnu pun dengan segera melepasnya, tetapi ditahan oleh Wisnu.Sampai di ruangan Wisnu, Sinta menghempaskan tangan Wisnu dan menatap Wisnu tajam."Kamu apa-apa sih, Mas?! Sakit tahu gak?!" marah Sinta.Sinta melihat sang kekasih terlihat aneh sejak datang dan cemas. Baru kali ini ia melihat Wisnu begitu tak tenang datang menemuinya."Ck. Gawat, Sin, istriku tahu kalau aku selingkuh dan dia marah." Wisnu berucap dengan nada memelas. Sekaligus frustrasi, berulang kali ia mengacak-acak rambutnya lalu mengusap wajah kasar."Beneran? Bagus dong!" ujar Sinta dengan mata berbinar. Ia sudah lama menunggu saat itu, di mana Anisa tahu dan ia akan menikah dengan Wisnu."Bagus? Kamu bilang bagus? Kamu sadar gak sih amaa yang kamu omongin, Sinta?" Wisnu emosi dengan apa yang di katakan oleh Sinta.Sinta
Anisa tak sengaja menjatuhkan piring ke lantai. Suara keras itu membuat ibu mertuanya datang dan langsung mengomel seperti biasanya. “Aduh, ada saja yang kamu lakukan. Habisin saja semua piring dan barang di rumah ini. Perempuan tak berguna!” Bu Atik terus saja memaki Anisa. Belum selesai mendengar ocehan ibu mertuanya, adik iparnya pun datang menghampiri. Gadis berusia 23 tahun itu ikut memanasi ibunya. “Mas Wisnu dapat perempuan model kaya gini di mana sih, Bu. Bawa piring saja susah. Ih, amit-amit, enggak guna buat apa di pelihara di rumah,” cecar Windy. Sejak tadi Anisa jengkel, semakin iparnya bicara, ia semakin emosi. Tangan itu tak sabar dan menampar wajah Windy. Anak kecil yang bisa melawannya, harusnya Windy bersikap sopan padanya bukan mengejeknya sepeti itu. sungguh kurang didikan dari orang tua pikir Anisa. Bu Atik terkesiap melihat apa yang di lakukan menantunya. Ia ingin membalas dan ingin menampar balik menantunya. Tapi, Anisa sigap menangkis tangan ibu mertuanya. T
Anisa sudah tak tahan dengan segala hinaan. Kini ia pun mencoba membela diri dengan membantah semua ucapan ibu mertua.“Ayo jawab, kalian bingung dengan apa yang saya lakukan. Saya muak, Bu dengan semua hinaan kalian. Terserah, kalian mau mengadakan aku pada Mas Wisnu atau tidak. Aku tidak peduli, mulai sekarang, lakukan apa yang kalian bisa. Kalau kalian lapar, masak sendiri. Kalau tidak pesan saja online. Mulai saat ini, jangan pernah berteriak lagi memanggil namaku!”“Awas saja kamu, kami pasti melaporkan kamu,” oceh Bu Atik.“ Terserah.”Anisa melenggang ke kamar dan meninggalkan Bu Atik dan Windy yang melongok melihat sikap berontak dari menantu yang selama ini mereka perlakukan sebagai pembantu.“Bu, si Nisa punya kekuatan dari mana bisa melawan ibu?” tanya Windy heran.“Ibu juga heran, sejak beberapa hari sih ibu perhatikan, kira-kira kenapa, ya? Coba kamu telepon kakak kamu, tanyakan dan sekalian laporin aja tingkah istrinya itu. Biar tahu rasa si Nisa itu.”Bu Atik menyunggin
“Jangan di kejar, Mas,” cegah Sinta.“Benar, jangan di kejar. Nanti, dia pikir kamu masih cinta sama dia, Nu,” timpal sang ibu.Wisnu hanya bisa bergeming di tempat, ia pun memikirkan akan pergi ke mana Anisa saat ini. Ia tak punya sanak saudara di Jakarta. Akan tetapi, hanya kedua orang tua yang berada di kampung. Lagi pula, Wisnu tak bisa begitu saja membiarkan Nisa pergi, tapi sejak tadi tangan Sinta tak lepas memeganginya.Sinta menggandeng Wisnu duduk di ruang tamu. Bu Atik menyambut kedatangan menantu barunya. Begitu juga Windy, yang harusnya sudah pulang, tapi ia malah asyik melihat drama rumah tangga sang kakak. Padahal, ia tak tahu jika apa yang ia tabur akan menuai hasilnya.“Jadi, kalian kapan menikah?” tanya Bu Atik.“Kemarin, Tante,” ujar Sinta.“Pantas kamu di hubungi tak bisa, kamu non aktifkan, ya Nu?” tanya sang ibu.Wisnu hanya mengangguk, pikirannya masih kacau memikirkan Anisa. Ia tak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Wisnu hanya berpikir jika Anisa akan mara
Bu Asih bergeming, sudah lama semuanya tertutup rapat. Bahkan keberadaan mereka di desa itu pun pihak keluarga tak ada yang tahu. Masa lalu tertutup rapat hingga kini dan mungkin tak akan ia ceritakan pada sang anak.Pak Anjar semakin pucat, penyakitnya yang menggerogoti dirinya pun sudah lama tak bisa di sembuhkan karena biaya. Keuangan mereka hancur kala terus menerus berobat. Beberapa simpanan emas pun ludes terjual.“Bu, kenapa enggak bilang sama aku kalau Bapak sakit sudah lama,” ujar Anisa.“Kami tidak mau membuat kamu cemas, lagi pula kami pikir kamu akan sibuk dengan suamimu. Bapak juga enggak mau bikin kamu cemas, Nis,” jawab sang ibu.“Kaya gini yang bikin aku cemas, Bapak kita rujuk saja ke Jakarta.”“Ibu sudah enggak ada uang lagi.”Anisa bergeming, ia pun tak memiliki biaya. Bahkan hanya membawa baju saja keluar dari rumah sang suami. Emas yang di berikan Wisnu pun tak ia bawa karena malas jika di tuduh membawa barang yang bukan miliknya walau itu sang suami memberikannya
Bu Asih dan Anisa menjerit histeris saat dokter menyatakan jika Pak Anjar sudah tak bernyawa lagi. Penyakitnya sudah kronis dan menjalar ke bagian tubuh lain hingga membuat komplikasi. Karena terbatasnya dana, Bu Asih tak membawa suaminya ke rumah sakit besar. Ia pun tak mengabari sang anak yang ada di Jakarta kala itu.Anisa memegangi tubuh sang ayah yang sudah kaku. Ia meratapi nasibnya yang malang. Kehancuran rumah tangannya dan juga kepergian sang ayah. Tangisnya tak henti, Bu Asih pun sama hatinya menjerit karena ia masih merasa membutuhkan sang suami.“Nis, sudah, kasihan Bapakmu kalau kau tangisi,” ujar sang ibu.“Bu, Nisa belum bisa membahagiakan Bapak, Bapak meninggal apa karena masalah yang Anisa bawa padanya?”“Bukan, ini memang kesalahan Ibu yang enggak bisa merawat Bapak, ibu tak punya uang untuk membawa Bapak ke rumah sakit besar. Ibu juga enggak mengabari kamu karena takut menggang6 rumah tangga kamu, Nis. Ini bukan salah kamu,” ujar sang ibu.Tetap saja Anisa masih mer
Bu Asih menjelaskan semuanya pada Anisa, bagaimana mereka bisa berada di kampung itu dan meninggalkan keluarga mereka di Jakarta. Hal itu bentuk protes sang ayah karena tak bisa menerima semua yang telah di putuskan oleh kakeknya Anisa.Jiwa pemberontak sang ayah begitu kuat, dia pun rela menjadi miskin demi harga diri. Kini, semua sudah berlalu dan Amara ingin mengajak keponakan dan Kakak iparnya kembali ke Jakarta dan menjalankan wasiat yang di berikan oleh sang ayah.“Apa aku enggak salah dengar? Ayah adalah anak salah satu konglomerat di Jakarta dulu?” tanya Anisa.“Iya, dulu memang kamu semua tak bisa melakukan apa pun untuk membuat kakek kamu sadar. Namun, ternyata sebenarnya kakek kamu sudah mengetahui rencana jahat istri barunya. Dia membiarkan ayahmu pergi bukan dengan senang hati. Tapi, sepanjang hidup kakek kamu sangat menyesal saat kehilangan anak laki-laki yang paling siap sayang,” ujar Amara.“Tante kenapa baru sekarang mencari kami?” Pertanyaan itu begitu saja terlontar
Anisa membanting ponsel ke kasurnya. Tidak menyangka akan seperti ini. Pesan masuk Wisnu membuatnya tak berselera melakukan apa pun. Bahkan memasukkan keperluan ke dalam koper saja malas.“Ada apa, Nis?” tanya sang ibu.“Itu, Mas Wisnu. Dia bilang aku masih istrinya dan enggak akan menceraikan aku. Siapa yang enggak kesal, mana mau aku bermadu seperti itu. Dia pikir hebat melakukan poligami?” Anisa terus saja menggerutu.“Bisa kita selesaikan, apalagi Tante kamu orang hebat. Nanti dia yang menyelesaikan. Jangan cemas.” Bu Asih menenangkan Anisa.Anisa pun tak membalas pesan masuk suaminya. Ia hanya melihat dan kembali merapikan beberapa barang yang akan di siapkan.Bu Asih memandang foto sang suami. Entah, apa suaminya bahagia dengan keputusan mereka kembali ke Jakarta. Namun, sesuai dengan apa yang di wasiatkan sang suami, memang almarhum menginginkan Anisa kembali ke Jakarta agar keluarga Wisnu tak semena-mena dan membuktikan kalau Anisa bukan kalangan biasa.“Nis, sampai Jakarta ki