Share

Enam

Anisa tak sengaja menjatuhkan piring ke lantai. Suara keras itu membuat ibu mertuanya datang dan langsung mengomel seperti biasanya.

“Aduh, ada saja yang kamu lakukan. Habisin saja semua piring dan barang di rumah ini. Perempuan tak berguna!” Bu Atik terus saja memaki Anisa.

Belum selesai mendengar ocehan ibu mertuanya, adik iparnya pun datang menghampiri. Gadis berusia 23 tahun itu ikut memanasi ibunya.

“Mas Wisnu dapat perempuan model kaya gini di mana sih, Bu. Bawa piring saja susah. Ih, amit-amit, enggak guna buat apa di pelihara di rumah,” cecar Windy.

Sejak tadi Anisa jengkel, semakin iparnya bicara, ia semakin emosi. Tangan itu tak sabar dan menampar wajah Windy. Anak kecil yang bisa melawannya, harusnya Windy bersikap sopan padanya bukan mengejeknya sepeti itu. sungguh kurang didikan dari orang tua pikir Anisa.

Bu Atik terkesiap melihat apa yang di lakukan menantunya. Ia ingin membalas dan ingin menampar balik menantunya. Tapi, Anisa sigap menangkis tangan ibu mertuanya. Tatapan itu begitu sinis keluar dari matanya. Anisa tak mau tertindas, ia bangkit dan melawan.

Sudah lama ia diam dan mendapat penghinaan seperti itu. Mereka sudah keterlaluan. Apalagi ini adik ipar yang masih kemarin sore pun ikut berkomentar.

“Heh, kurang aja kami, Nisa!” pekik ini mertuanya.

“Aku hanya membela diri, sudah lama aku diam, tapi kalian semakin semena-mena memperlakukan aku. Hanya karena piring pecah saja kalian menyalahkan aku, nanti aku juga yang merapikan, bukan kalian,” ujar Anisa. Tangannya mulai mengepal, ingin rasanya ia meluapkan kekesalan pada semua orang.

Tiba-tiba saja perasaannya pun tak tenang, tubuhnya terasa lemas hingga piring yang ia pegang terjatuh. Ia berpikir ada firasat apa, tapi malah ibu mertuanya datang dan menghina terus.

“Kamu mau saya adukan pada Wisnu,” ancam Bu Atik.

“Adukan saja, Bu Biar dia di ceraikan Mas Wisnu. Biar tahu rasa dia,” Windy ikut memanasi situasi.

“Silakan, ajukan saja. Aku tidak takut jika memang harus berpisah.” Anisa menjawab lantang apa yang di katakan Ibu Atik.

“Heh, kamu itu tak berterima kasih. Selama ini hidup enak dengan kami, menikah dengan suami kaya seperti Wisnu. Sombong, otw janda aja,” tutur Bu Atik.

Anisa kembali geram, hatinya begitu perih mendengar apa yang di katakan ibu mertua dan iparnya. Kesabarannya kini sudah habis, ia menarik napas dalam sebelum ia memulai berontak. Untuk apa dia bertahan jika suaminya saja sudah bermain api dengan wanita lain.

“Cukup, Bu, Wid. Di sini aku bukan makan gratis, aku melakukan semua ini juga tidak di bayar. Mencuci, masak, gosok menyapu, kalian pun memperlakukan aku seperti pembantu, tapi aku tak pernah meminta bayaran malah kalian terus saja menghina aku.”

Bu Atik dan Widya pun bergeming saat Anisa langsung membalikkan badan untuk merapikan piring pecah itu. Ia mengambil sapu dan pengki dan langsung merapikannya.

***

Sementara, itu Wahyu kini sedang merasa bahagia. Hari di mana dirinya sudah menikahi Sinta, selingkuhannya.

“Sayang, terima kasih. Ehm, apa kamu akan membawa aku tinggal bersama dengan keluarga kamu atau bagaimana?” tanya Sinta.

“Ya, nanti perlahan aku pikirkan. Sudah sampai tahap ini pun aku merasa bahagia. Bisa menyentuh indah tubuhmu ini,” ujar Wahyu genit.

“Ah, Sayang, masih banyak tamu. Nanti, saja.” Sinta pun kembali menemui para tamu kerabatnya.

Wahyu membuka pesan dan tak mendapati pesan Anisa seperti biasanya. Ia tahu Anisa marah, tapi ini sudah terjadi. Ia pun mengirim pesan kalau akan ada pekerjaan mendadak dan harus kuat kota, kalau bukan seperti itu, ia tak akan bisa malam pertama dengan istri barunya.

Wahyu pun kembali menyimpan ponsel di saku, lalu bergabung dengan para tamu. Menikah dengan Sinta pun ia berharap akan segera memiliki anak agar sang ibu senang dan juga bisa menerima Sinta.

Sinta terlihat sangat bahagia walau ia hanya menjadi istri kedua. Melihat kesuksesan Wisnu pun ia gelap mata. Ia tak mau susah, dan mencari jalan cepat dengan mencari suami kaya raya walau hanya berstatus suami kedua.

***

Sementara itu, Anisa menyimpan dengan kasar ponsel di nakas. Ia tak percaya jika suaminya pergi ke luar kota. Pikiran jelek pun membuat ia sangat gelisah, ia menarik napas dalam. Tidak lama ponselnya kembali berdering, sebuah nama di layar ponsel membuat dirinya sedikit lega.

Sudah seminggu ayahnya tak bisa di hubungi, akhirnya pria yang di rindukannya pun menghubunginya.

“Assalamualaikum, Pak,” ujar Anisa. Ia mencoba menahan sakit hatinya dan menutupi dari sang ayah dan ibu.

“Walaikumsalam.”

Mereka mengobrol banyak, ibunya pun sangat rindu dengan Anisa. Kedua orang tuanya bertanya kapan ia akan pulang, tapi Anisa belum memastikan kapan akan ke kampung. Akan tetapi, niat sudah ada karena ia sudah muak tinggal di rumah sang suami.

Setelah berbicara cukup lama, Anisa menutup teleponnya. Setelah itu ia kembali mengambil air untuk di minum. Tenggorokannya terasa kering karena sejak tadi belum minum.

Anisa kembali mencoba menghubungi sang suami, tapi tak ada jawaban darinya Bahkan ponsel suaminya itu tak aktif. Anisa semakin geram, ia pun kembali menaruh ponsel dengan kasar.

“Kamu ke mana, Mas. Aku tahu kamu enggak ke luar kota, tapi ada yang kamu tutupi dari aku, tega kamu, Mas,” ujar Anisa. Ia mengepalkan tangan dan memukul kasur kencang.

“Anisa!”

Terdengar suara melengking ibu mertuanya hingga membuat ia harus gegas ke luar. Sebelumnya, ia menyimpan rapi baju dulu, lalu melangkah ke luar.

Di luar ibu mertua dan adik iparnya sudah menunggu dengan wajah penuh amarah. Anisa mencoba menahan amarah karena mereka mulai berulah lagi.

“Sudah jam berapa ini, kamu masih di kamar saja, kamu pikir saya tidak lapar?” Bu Atik bertolak pinggang dengan wajah penuh amarah. Begitu pun Windy, dia pun ikutan membuat emosi sang ibu semakin membludak.

“Aku hari ini sedang tidak mood memasak, takut enggak enak nanti kalian mengoceh lagi. Lagi pula, bisa kan masak sendiri, aku sudah lelah dengan apa yang aku kerjakan, tapi kalian masih saja berteriak memaki dan menyalahkan aku. Apalagi seperti ini, kalau lapar, ya masak lah.” Anisa melipat kedua tangan di dada.

Bu Atik dan Windy saling pandang, mereka heran melihat Anisa yang tak pernah melawan kini berani mengatakan hal yang tak mereka duga. Mana pernah Anisa menolak perintah atau apa yang di katakan ibu mertuanya.

“Kenapa, heran melihat aku menolak kalian, sedangkan dulu aku selalu patuh dan mau saja diinjak-injak harga dirinya oleh kalian?”

“Kamu—“

“Kenapa dengan saya, hah?”

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ayyubi _
tolong dong penulisannya diperhatikan lagi, jd bingung bacanya kntl, nama pemerannya berubah"
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status