Share

Delapan

“Jangan di kejar, Mas,” cegah Sinta.

“Benar, jangan di kejar. Nanti, dia pikir kamu masih cinta sama dia, Nu,” timpal sang ibu.

Wisnu hanya bisa bergeming di tempat, ia pun memikirkan akan pergi ke mana Anisa saat ini. Ia tak punya sanak saudara di Jakarta. Akan tetapi, hanya kedua orang tua yang berada di kampung. Lagi pula, Wisnu tak bisa begitu saja membiarkan Nisa pergi, tapi sejak tadi tangan Sinta tak lepas memeganginya.

Sinta menggandeng Wisnu duduk di ruang tamu. Bu Atik menyambut kedatangan menantu barunya. Begitu juga Windy, yang harusnya sudah pulang, tapi ia malah asyik melihat drama rumah tangga sang kakak. Padahal, ia tak tahu jika apa yang ia tabur akan menuai hasilnya.

“Jadi, kalian kapan menikah?” tanya Bu Atik.

“Kemarin, Tante,” ujar Sinta.

“Pantas kamu di hubungi tak bisa, kamu non aktifkan, ya Nu?” tanya sang ibu.

Wisnu hanya mengangguk, pikirannya masih kacau memikirkan Anisa. Ia tak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Wisnu hanya berpikir jika Anisa akan marah dan besok pun sudah tak akan marah dan menerima Sinta menjadi madunya.

Namun, apa yang ia pikirkan salah besar. Anisa nekat pergi dan kini entah ia pergi ke mana dan akan ke mana.

“Kamu jangan lupa, pokonya cepat hamil, ya. Soalnya Tante mau punya cucu, duh pasti anaknya cantik seperti kamu.”

Sinta tersenyum lebar, ia pun tak mempermasalahkan hanya mengiyakan panjang diinginkan ibu mertuanya untuk saat ini. Terpenting, ia menjadi istri Wisnu Dulu.

Wisnu pamit ke kamar mandi, di sana ia mencoba menghubungi Anisa, tapi sang istri tak menjawabnya. Malah mematikan ponselnya. Wisnu pun semakin cemas, tapi ia tak bisa mencari Anisa karena ada Sinta.

Sepetinya setelah mengantar Sinta, ia akan mencari Anisa dan membawanya kembali. Ia tak bisa begitu saja menceraikannya karena masih sangat mencintai Anisa, tapi ia pun ingin memiliki anak.

***

Anisa berhenti di sebuah rumah makan. Sejak tadi ia menunggu bis belum ada yang datang, apalagi udara di luar sana pun sangat panas, belum lagi hati dan pikirannya masih sangat kacau. Keputusan pergi dari rumah bukan hal mudah, tapi itu sangat menyulitkan karena ia pun harus ke luar dan berpisah dari sang suami.

“Kamu tega, Mas padaku.”

Tidak lama bus yang ia tunggu datang dan ia pun langsung menaikinya. Bayangan kedua orang tuanya sudah memenuhi pikiran. Mungkin mereka akan banyak bertanya, kenapa dirinya kembali ke kampung tanpa sang suami. Tanpa terasa air mata itu kembali menetes saat ia mengingat perlakuan Wisnu.

“Permisi, Mbak menangis?”

Anisa mengelap air matanya saat ada seseorang yang menegurnya. Ia menoleh pada pria dengan postur tubuh besar dan kekar. Dengan lesung pipi, pria itu tersenyum saat Anisa menoleh ke arahnya.

Anisa bahkan tidak sadar ada pria yang duduk di sebelahnya. Pria itu sejak tadi memperhatikan dirinya yang menggerutu sampai menangis.

“Maaf, Mbak. Lanjutkan saja, saya enggak masalah kok. Apa mau berbagi, sharing gitu siapa tahu saya bisa bantu,” ujar pria itu.

Anisa memalingkan wajah kembali, ia tak menyangka akan bersebelahan dengan pria aneh, apalagi yang suka ingin tahu masalah orang lain.

Namanya Abas, pria itu kembali tersenyum saat Anisa memalingkan wajah. Ia tahu masalahnya pasti sangat besar karena bisa menangis di mana saja.

Hampir 5 jam perjalanan karena macet akhirnya Anisa sampai di kota kelahirannya. Di mana ayah dan ibunya tinggal. Kota yang sejak lama ia tinggalkan karena

 menikah dengan Wisnu, kota Cirebon.

Pria bernama Abas pun sama turun di terminal itu. Anisa merasa kesal karena pria itu mengikutinya sejak tadi.

“Kamu ngikutin saya, ya?” tanya Anisa langsung karena merasa risi.

Bukannya menjawab malah Abas terkekeh, pria itu tersenyum dan terlihat tampan dan tidak terlihat seperti orang jahat.

“Aduh maaf Mbak, mungkin jalur yang akan saya lewati sama, mungkin tujuan pun sama. Bukan karena saya mengikuti Mbak.”

Anisa tak peduli, yang jelas ia seperti mengikuti dirinya. Anisa langsung menggeret koper kembali dan melangkah mencari ojek untuk menuju ke rumah kedua orang tuanya.

Sementara, Abas tersenyum memperhatikan perempuan yang sedang galau itu.

***

“Bu, Pak.”

Anisa langsung memeluk kedua orang tuanya yang sedang berada di halaman rumahnya. Gubuk kecil itu terlihat sudah sangat rapuh, terlihat pula ayah Anisa yang semakin kurus dan pucat.

Ibunya memeluk sang anak yang sangat ia rindukan. Malam tadi dirinya pun sempat memimpikannya. Kini, Anisa sudah berada di hadapannya.

“Nak, kamu sama siapa?” tanya sang ayah. Pria tua itu melihat ke arah ambang pintu. Namun, ia tak menemukan Wisnu menantunya.

Pak Anjar pun bertanya-tanya tentang Wisnu. Bagaimana bisa sang anak pulang sendiri tanpa memberi kabar. Kalau seperti itu, ia bisa menjemput di terminal.

Bu Asih menyediakan minum untuk Anisa. Sang anak terlihat sangat lelah, apalagi kini wajah Anisa terlihat sangat lelah.

Anisa meminum teh hangat buatan sang ibu, ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahan dan kekecewaan pada sang suami. Ia pun bercerita pada kedua orang tuanya. Tangisnya kembali pecah saat menceritakan penderita yang ia alami saat di rumah mertuanya.

“Kamu kenapa enggak bilang, biar Bapak jemput kamu. Orang setengah kaya saja belagu. Heran Bapak.” Pak Anjar terus mengomel.

“Aku pikir tidak mau membuat Bapak dan Ibu cemas. Lagi pula, selama ini aku pikir Mas Wisnu baik, tapi nyatanya dia malah berselingkuh dan kini sudah menikah lagi.” Anisa tak bisa menahan perih, ia meremas ujung baju begitu kencang. Begitu dahsyat dan benci begitu dalam di hati.

Pak Anjar memegangi dada yang ikut terasa sesak saat mendengar ternyata anaknya di perlakukan sebagai pembantu. Bu Asih dan Anisa cemas melihat kondisi Pak Anjar. Anisa mendekati sang ayah, sedangkan sang istri mengambil obat untuk suaminya.

“Pak, tenang,” ujar Anisa.

“Mana bisa Bapak tenang mendengar selama ini anak Bapak di perlakukan tak baik. Andai kamu mengatakan sejak dulu, sudah Bapak jemput kamu. Kita miskin, tapi mereka tak bisa memperlakukan semuanya seperti itu.” Pak Anjar begitu sakit hati.

“Sudah, Pak. Jangan terlalu memikirkan hal itu.” Sang istri pun mengenakan suaminya.

Sementara, Anisa pamit untuk membeli minyak oles dan makanan ke luar. Pak Anjar bergeming sesaat, ia memikirkan tentang anaknya kini.

“Pa, apa yang Bapak pikirkan?” tanya istrinya.

“Bapak hanya berpikir jika dulu kita tidak ke luar dan di fitnah ibu tiri Bapak, mungkin Anisa tidak akan di perlakukan seperti itu,” ujar Pak Anjar.

“Pa, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Semua sudah di haruskan Tuhan, sekarang fokus pada kesembuhan Bapak, ya,” ujar sang istri.

“Bu, ini salah Bapak, ternyata harta itu sangat berguna. Mertua dan Suami Anisa harus tahu Anisa masih keturunan kaya raya.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status