“Jangan di kejar, Mas,” cegah Sinta.
“Benar, jangan di kejar. Nanti, dia pikir kamu masih cinta sama dia, Nu,” timpal sang ibu.
Wisnu hanya bisa bergeming di tempat, ia pun memikirkan akan pergi ke mana Anisa saat ini. Ia tak punya sanak saudara di Jakarta. Akan tetapi, hanya kedua orang tua yang berada di kampung. Lagi pula, Wisnu tak bisa begitu saja membiarkan Nisa pergi, tapi sejak tadi tangan Sinta tak lepas memeganginya.
Sinta menggandeng Wisnu duduk di ruang tamu. Bu Atik menyambut kedatangan menantu barunya. Begitu juga Windy, yang harusnya sudah pulang, tapi ia malah asyik melihat drama rumah tangga sang kakak. Padahal, ia tak tahu jika apa yang ia tabur akan menuai hasilnya.
“Jadi, kalian kapan menikah?” tanya Bu Atik.
“Kemarin, Tante,” ujar Sinta.
“Pantas kamu di hubungi tak bisa, kamu non aktifkan, ya Nu?” tanya sang ibu.
Wisnu hanya mengangguk, pikirannya masih kacau memikirkan Anisa. Ia tak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Wisnu hanya berpikir jika Anisa akan marah dan besok pun sudah tak akan marah dan menerima Sinta menjadi madunya.
Namun, apa yang ia pikirkan salah besar. Anisa nekat pergi dan kini entah ia pergi ke mana dan akan ke mana.
“Kamu jangan lupa, pokonya cepat hamil, ya. Soalnya Tante mau punya cucu, duh pasti anaknya cantik seperti kamu.”
Sinta tersenyum lebar, ia pun tak mempermasalahkan hanya mengiyakan panjang diinginkan ibu mertuanya untuk saat ini. Terpenting, ia menjadi istri Wisnu Dulu.
Wisnu pamit ke kamar mandi, di sana ia mencoba menghubungi Anisa, tapi sang istri tak menjawabnya. Malah mematikan ponselnya. Wisnu pun semakin cemas, tapi ia tak bisa mencari Anisa karena ada Sinta.
Sepetinya setelah mengantar Sinta, ia akan mencari Anisa dan membawanya kembali. Ia tak bisa begitu saja menceraikannya karena masih sangat mencintai Anisa, tapi ia pun ingin memiliki anak.
***
Anisa berhenti di sebuah rumah makan. Sejak tadi ia menunggu bis belum ada yang datang, apalagi udara di luar sana pun sangat panas, belum lagi hati dan pikirannya masih sangat kacau. Keputusan pergi dari rumah bukan hal mudah, tapi itu sangat menyulitkan karena ia pun harus ke luar dan berpisah dari sang suami.
“Kamu tega, Mas padaku.”
Tidak lama bus yang ia tunggu datang dan ia pun langsung menaikinya. Bayangan kedua orang tuanya sudah memenuhi pikiran. Mungkin mereka akan banyak bertanya, kenapa dirinya kembali ke kampung tanpa sang suami. Tanpa terasa air mata itu kembali menetes saat ia mengingat perlakuan Wisnu.
“Permisi, Mbak menangis?”
Anisa mengelap air matanya saat ada seseorang yang menegurnya. Ia menoleh pada pria dengan postur tubuh besar dan kekar. Dengan lesung pipi, pria itu tersenyum saat Anisa menoleh ke arahnya.
Anisa bahkan tidak sadar ada pria yang duduk di sebelahnya. Pria itu sejak tadi memperhatikan dirinya yang menggerutu sampai menangis.
“Maaf, Mbak. Lanjutkan saja, saya enggak masalah kok. Apa mau berbagi, sharing gitu siapa tahu saya bisa bantu,” ujar pria itu.
Anisa memalingkan wajah kembali, ia tak menyangka akan bersebelahan dengan pria aneh, apalagi yang suka ingin tahu masalah orang lain.
Namanya Abas, pria itu kembali tersenyum saat Anisa memalingkan wajah. Ia tahu masalahnya pasti sangat besar karena bisa menangis di mana saja.
Hampir 5 jam perjalanan karena macet akhirnya Anisa sampai di kota kelahirannya. Di mana ayah dan ibunya tinggal. Kota yang sejak lama ia tinggalkan karena
menikah dengan Wisnu, kota Cirebon.
Pria bernama Abas pun sama turun di terminal itu. Anisa merasa kesal karena pria itu mengikutinya sejak tadi.
“Kamu ngikutin saya, ya?” tanya Anisa langsung karena merasa risi.
Bukannya menjawab malah Abas terkekeh, pria itu tersenyum dan terlihat tampan dan tidak terlihat seperti orang jahat.
“Aduh maaf Mbak, mungkin jalur yang akan saya lewati sama, mungkin tujuan pun sama. Bukan karena saya mengikuti Mbak.”
Anisa tak peduli, yang jelas ia seperti mengikuti dirinya. Anisa langsung menggeret koper kembali dan melangkah mencari ojek untuk menuju ke rumah kedua orang tuanya.
Sementara, Abas tersenyum memperhatikan perempuan yang sedang galau itu.
***
“Bu, Pak.”
Anisa langsung memeluk kedua orang tuanya yang sedang berada di halaman rumahnya. Gubuk kecil itu terlihat sudah sangat rapuh, terlihat pula ayah Anisa yang semakin kurus dan pucat.
Ibunya memeluk sang anak yang sangat ia rindukan. Malam tadi dirinya pun sempat memimpikannya. Kini, Anisa sudah berada di hadapannya.
“Nak, kamu sama siapa?” tanya sang ayah. Pria tua itu melihat ke arah ambang pintu. Namun, ia tak menemukan Wisnu menantunya.
Pak Anjar pun bertanya-tanya tentang Wisnu. Bagaimana bisa sang anak pulang sendiri tanpa memberi kabar. Kalau seperti itu, ia bisa menjemput di terminal.
Bu Asih menyediakan minum untuk Anisa. Sang anak terlihat sangat lelah, apalagi kini wajah Anisa terlihat sangat lelah.
Anisa meminum teh hangat buatan sang ibu, ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahan dan kekecewaan pada sang suami. Ia pun bercerita pada kedua orang tuanya. Tangisnya kembali pecah saat menceritakan penderita yang ia alami saat di rumah mertuanya.
“Kamu kenapa enggak bilang, biar Bapak jemput kamu. Orang setengah kaya saja belagu. Heran Bapak.” Pak Anjar terus mengomel.
“Aku pikir tidak mau membuat Bapak dan Ibu cemas. Lagi pula, selama ini aku pikir Mas Wisnu baik, tapi nyatanya dia malah berselingkuh dan kini sudah menikah lagi.” Anisa tak bisa menahan perih, ia meremas ujung baju begitu kencang. Begitu dahsyat dan benci begitu dalam di hati.
Pak Anjar memegangi dada yang ikut terasa sesak saat mendengar ternyata anaknya di perlakukan sebagai pembantu. Bu Asih dan Anisa cemas melihat kondisi Pak Anjar. Anisa mendekati sang ayah, sedangkan sang istri mengambil obat untuk suaminya.
“Pak, tenang,” ujar Anisa.
“Mana bisa Bapak tenang mendengar selama ini anak Bapak di perlakukan tak baik. Andai kamu mengatakan sejak dulu, sudah Bapak jemput kamu. Kita miskin, tapi mereka tak bisa memperlakukan semuanya seperti itu.” Pak Anjar begitu sakit hati.
“Sudah, Pak. Jangan terlalu memikirkan hal itu.” Sang istri pun mengenakan suaminya.
Sementara, Anisa pamit untuk membeli minyak oles dan makanan ke luar. Pak Anjar bergeming sesaat, ia memikirkan tentang anaknya kini.
“Pa, apa yang Bapak pikirkan?” tanya istrinya.
“Bapak hanya berpikir jika dulu kita tidak ke luar dan di fitnah ibu tiri Bapak, mungkin Anisa tidak akan di perlakukan seperti itu,” ujar Pak Anjar.
“Pa, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Semua sudah di haruskan Tuhan, sekarang fokus pada kesembuhan Bapak, ya,” ujar sang istri.
“Bu, ini salah Bapak, ternyata harta itu sangat berguna. Mertua dan Suami Anisa harus tahu Anisa masih keturunan kaya raya.”
***
Bu Asih bergeming, sudah lama semuanya tertutup rapat. Bahkan keberadaan mereka di desa itu pun pihak keluarga tak ada yang tahu. Masa lalu tertutup rapat hingga kini dan mungkin tak akan ia ceritakan pada sang anak.Pak Anjar semakin pucat, penyakitnya yang menggerogoti dirinya pun sudah lama tak bisa di sembuhkan karena biaya. Keuangan mereka hancur kala terus menerus berobat. Beberapa simpanan emas pun ludes terjual.“Bu, kenapa enggak bilang sama aku kalau Bapak sakit sudah lama,” ujar Anisa.“Kami tidak mau membuat kamu cemas, lagi pula kami pikir kamu akan sibuk dengan suamimu. Bapak juga enggak mau bikin kamu cemas, Nis,” jawab sang ibu.“Kaya gini yang bikin aku cemas, Bapak kita rujuk saja ke Jakarta.”“Ibu sudah enggak ada uang lagi.”Anisa bergeming, ia pun tak memiliki biaya. Bahkan hanya membawa baju saja keluar dari rumah sang suami. Emas yang di berikan Wisnu pun tak ia bawa karena malas jika di tuduh membawa barang yang bukan miliknya walau itu sang suami memberikannya
Bu Asih dan Anisa menjerit histeris saat dokter menyatakan jika Pak Anjar sudah tak bernyawa lagi. Penyakitnya sudah kronis dan menjalar ke bagian tubuh lain hingga membuat komplikasi. Karena terbatasnya dana, Bu Asih tak membawa suaminya ke rumah sakit besar. Ia pun tak mengabari sang anak yang ada di Jakarta kala itu.Anisa memegangi tubuh sang ayah yang sudah kaku. Ia meratapi nasibnya yang malang. Kehancuran rumah tangannya dan juga kepergian sang ayah. Tangisnya tak henti, Bu Asih pun sama hatinya menjerit karena ia masih merasa membutuhkan sang suami.“Nis, sudah, kasihan Bapakmu kalau kau tangisi,” ujar sang ibu.“Bu, Nisa belum bisa membahagiakan Bapak, Bapak meninggal apa karena masalah yang Anisa bawa padanya?”“Bukan, ini memang kesalahan Ibu yang enggak bisa merawat Bapak, ibu tak punya uang untuk membawa Bapak ke rumah sakit besar. Ibu juga enggak mengabari kamu karena takut menggang6 rumah tangga kamu, Nis. Ini bukan salah kamu,” ujar sang ibu.Tetap saja Anisa masih mer
Bu Asih menjelaskan semuanya pada Anisa, bagaimana mereka bisa berada di kampung itu dan meninggalkan keluarga mereka di Jakarta. Hal itu bentuk protes sang ayah karena tak bisa menerima semua yang telah di putuskan oleh kakeknya Anisa.Jiwa pemberontak sang ayah begitu kuat, dia pun rela menjadi miskin demi harga diri. Kini, semua sudah berlalu dan Amara ingin mengajak keponakan dan Kakak iparnya kembali ke Jakarta dan menjalankan wasiat yang di berikan oleh sang ayah.“Apa aku enggak salah dengar? Ayah adalah anak salah satu konglomerat di Jakarta dulu?” tanya Anisa.“Iya, dulu memang kamu semua tak bisa melakukan apa pun untuk membuat kakek kamu sadar. Namun, ternyata sebenarnya kakek kamu sudah mengetahui rencana jahat istri barunya. Dia membiarkan ayahmu pergi bukan dengan senang hati. Tapi, sepanjang hidup kakek kamu sangat menyesal saat kehilangan anak laki-laki yang paling siap sayang,” ujar Amara.“Tante kenapa baru sekarang mencari kami?” Pertanyaan itu begitu saja terlontar
Anisa membanting ponsel ke kasurnya. Tidak menyangka akan seperti ini. Pesan masuk Wisnu membuatnya tak berselera melakukan apa pun. Bahkan memasukkan keperluan ke dalam koper saja malas.“Ada apa, Nis?” tanya sang ibu.“Itu, Mas Wisnu. Dia bilang aku masih istrinya dan enggak akan menceraikan aku. Siapa yang enggak kesal, mana mau aku bermadu seperti itu. Dia pikir hebat melakukan poligami?” Anisa terus saja menggerutu.“Bisa kita selesaikan, apalagi Tante kamu orang hebat. Nanti dia yang menyelesaikan. Jangan cemas.” Bu Asih menenangkan Anisa.Anisa pun tak membalas pesan masuk suaminya. Ia hanya melihat dan kembali merapikan beberapa barang yang akan di siapkan.Bu Asih memandang foto sang suami. Entah, apa suaminya bahagia dengan keputusan mereka kembali ke Jakarta. Namun, sesuai dengan apa yang di wasiatkan sang suami, memang almarhum menginginkan Anisa kembali ke Jakarta agar keluarga Wisnu tak semena-mena dan membuktikan kalau Anisa bukan kalangan biasa.“Nis, sampai Jakarta ki
Semua pelayan pun menunduk hormat, Anisa benar-benar merasa menjadi orang kaya mendadak. Biasanya ia di teriaki Bu Atik untuk mengerjakan sesuatu. Jika saat ini, ia yang bisa berteriak dan meminta di ambilkan sesuatu.Netranya memandang kagum setiap detail isi rumah megah itu. Beberapa foto dan ia kembali menatap sebuah foto keluarga. Di sana ada ayahnya yang masih terlihat sangat muda. Rasa sedih kembali muncul, saat ia mendapat kebahagiaan, tapi sang ayah pun tiada.“Biar Tante antar ke kamar kamu, Mbak Asih sekalian yuk,” ujar Amara.Tante Amara mengantar Anisa dan Bu Asih ke kamar mereka. Setelah itu saat di kamar Anisa, Amara pun duduk di tepi ranjang.“Apa kamu ingin sesuatu?” tanya sang tante.“Tidak, Tan. Tapi, sepetinya aku butuh bertemu dengan Mas Wisnu. Tapi, aku tidak mau memberitahu dulu kehidupanku yang sekarang, biarlah mereka menganggap aku masih gembel. Aku akan menyelesaikan semua.”“Kabari Tante jika kamu butuh sesuatu. Di sini kita hanya tinggal ber empat.”“Suami
Amara menarik napas saat ingin mengatakan hal sebenarnya pada Bu Asih. Ia takut sang kakak tak percaya dengan apa yang akan dikatakannya, terlebih tentang wasiat dari sang ayah tentang masa depan perusahaan mereka.“Ini, bisa Mbak baca.” Amira menyerahkan sebuah pernyataan dari kertas kecil. Asih pun membacanya, perlahan dan ia menatap tak percaya pada Amira.“Aku agak ragu untuk mengatakan hal ini karena takut Mbak Asih tak percaya,” ujar Amira.“Apa harus secepatnya?” tanya Asih.“Seharusnya lebih cepat, aku enggak tahu kalau Anisa itu punya suami. Makanya sejak lama kami mencari, agar lebih cepat menikahkan Abas dan Anisa. Apa Mbak percaya dengan apa yang aku katakan?” tanya Amira.“Mbak percaya karena sebelum meninggal, Mas Anjar pernah mengatakan hal ini. Tapi belum tahu dengan siapa Anisa akan menikah. Tapi, Mas Anjar bilang kalau Anisa seharusnya menikah dengan pilihan kakek agar harta kekayaan tak jatuh ke tangan orang yang salah. Apalagi jika kami tak memiliki keturunan laki-
Luapan emosi Anisa tak bisa tertahan karena kali ini ia harus mengeluarkan semua isi hatinya. Wisnu pun seperti merasa tak bersalah atas yang apa yang di lakukan sang ibu. Malah ia mengatakan hal itu memang tugas seorang istri.“Demi Allah, aku sakit hati atas perlakuan kalian, apalagi saat kamu mengatakan hal itu wajar. Mas, lepaskan aku, ceraikan aku.” Napas Anisa tersengal-sengal seperti sedang berlari.“Baik, kalau itu yang kamu mau. Silakan ajukan perceraian kita, satu hal yang harus kamu tahu, suatu saat kamu akan menyesal dan memohon untuk kembali. Ingat itu, Nisa.”“Enggak akan, Mas. Tunggu surat perceraian dariku dan sampai bertemu di persidangan. Permisi,” ujar Anisa.Anisa mengambil tas dan meninggalkan Wisnu yang masih bergeming melihat kepergiannya. Wisnu heran melihat Anisa yang lebih berani dari yang pernah ia tahu.Apalagi Anisa berani membentak dan begitu tegas ingin bercerai. Sebelumnya ia hanya menerima apa yang sudah diperintahkan oleh dirinya dan sang ibu.“Kenapa
Mendengar nama Abas di sebut oleh sang ibu, Anisa merasa kesal. Haruskah ia menikah dengan orang yang baru saja ia kenal, bahkan rasa trauma masih melekat di jiwa. Pernikahan pertama kandas, kini ia harus kembali di paksakan dalam sebuah drama rumah tangga baru.Tak pernah ia mengerti, untuk menjadi orang kaya apa perlu pengorbanan yang besar. Apalagi menikah dengan Abas agar harta kekayaan miliknya tak jatuh ke tangan pihak yang tak bertanggung jawab.“Jika aku tidak mau menikah dengan Abas, apa yang akan terjadi?” tanya Anisa.“Tidak masalah, tapi kami tidak menjamin kalau harta kamu tidak akan berpindah ke pihak lain. Harta akan jatuh ke tangan kamu jika menikah dengan pria pilihan kakek. Jika tidak, harta akan menjadi perebutan beberapa pihak. Satu hal lagi, kamu akan tatap menjadi miskin dan tidak akan bisa membalas mantan suami dan mertua kamu,” ujar Amira.Tangan Anisa mengepal keras, ia tak mengerti dengan situasi seperti ini. Ia ingin membalas semua perlakuan mantan suaminya.