Share

Keluarga Beracun
Keluarga Beracun
Penulis: Rahayu Triningsih

Bab 1 Kedatangan Keluarga Suami

Pagi ini kegiatanku sehari-hari seperti Ibu rumah tangga pada umumnya. Membersihkan rumah, menyiapkan pakaian suami sebelum berangkat kerja dan memasak sarapan.

Mas Dani baru saja keluar dari kamar, dia sudah rapi memakai pakaian yang aku siapkan. Gantengnya suamiku! Tapi tentu saja hanya di dalam hati, takutnya dia geer kalau kuucapkan langsung.

“Dek, ada kabar buruk dan ada kabar baik. Kamu mau aku kasih tau yang mana dulu?” kata Mas Dani saat kita mulai duduk untuk sarapan.

Namaku Rara, menikah dengan Mas Dani dua tahun yang lalu, kehidupan rumah tangga kami bahagia, walaupun belum ada seorang anak. Mas Dani bekerja menjadi Manager Pemasaran di sebuah perusahaan periklanan, selama ini memberiku jatah lima juta sebulan. Untuk kebutuhan rumah tangga yang belum dikaruniai anak, uang segitu lebih dari cukup. Apalagi aku juga memiliki usaha catering walaupun tidak terlalu besar.

“Kabar buruk dulu aja deh, Mas,” ucapku setelah selesei makan.

“Oke, denger ya? Kabar buruknya adalah rumah Ibuku yang digadaikan Mbak Nia disita oleh Bank, mereka semua diusir dari rumah.” Mas Dani belum melanjutkan ucapannya.

“Dan kabar baiknya adalah mereka akan tinggal di sini, Dek.” Wajah Mas Dani kembali cerah.

Aku terdiam. Masih mencerna ucapannya. Menurutku dua-duanya adalah kabar buruk. Memang selama ini kami tinggal terpisah dari keluarga Mas Dani. Rumah ini hadiah pernikahan dari papa. Aku memang belum terlalu mengenal keluarga Mas Dani, karena kami tidak melalui proses pacaran. Aku hanya mengetahui kalau Mas Dani punya kakak perempuan yang sudah menikah dan adik laki-laki.

Bertemu mereka hanya sekali pas Akad nikah. Mereka tinggal di satu rumah milik Ibu mertua. Kalau rumah disita bank berarti mereka semua akan tinggal di sini?

Bukannya aku tak menyukai mereka, tetapi aku sudah nyaman hidup berdua dengannya di rumah ini. Tapi mau tak mau aku harus menuruti ucapan suamiku.

“Ya, nggak papa sih, Mas. Toh, mereka juga keluargaku. Memang kenapa sih, sampai menggadaikan rumah segala?” tanyaku penasaran.

“Buat biaya pernikahan Mbak Nia, Dek. Dulu dia ingin pernikahan mewah seperti teman-temannya, karena uang Ibu tidak cukup makanya Ibu menggadaikan sertifikat itu,” jelas Mas Dani.

“Memang suami Mbak Nia nggak kerja? Kok sampai disita? Berarti mereka nggak bisa bayar kan?” tanyaku sambil mengupaskan jeruk untuk pencuci mulut.

“Setauku dulu suami Mbak Nia jadi Mandor proyek gitu, Dek, tapi nggak tau kalau sekarang kan semenjak nikah kita langsung tinggal di sini.”

“Mereka berempat semua akan tinggal disini, Mas?” tanyaku lagi.

“Iya, Dek. Ya, gimana lagi? Untuk mengontrak juga sudah nggak ada uang. Nggak papa kan? Mereka baik kok, nanti kerjaanmu juga semakin berkurang karena ada yang membantu membersihkan rumah,” ujarnya.

Mungkin ucapan Mas Dani benar, aku pun mencoba untuk tak berpikiran buruk kepada keluarga Mas Dani.

“Baiklah, aku setuju kalau begitu. Kapan mereka datang? Aku mau siap-siap masak dulu buat mereka.” Akhirnya aku menyetujui usulan suami.

“Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang istri idaman.” Mas Dani tersenyum dan mengusap puncak kepalaku.

“Nanti siang mungkin mereka sampai, Dek. Kamu sambut mereka dulu, nanti Mas usahakan pulang cepat.”

“Loh? Kamu nggak jemput mereka, Mas?” tanyaku heran. Aku pikir Mas Dani yang menjemput mereka di bandara.

“Pagi ini ada meeting dengan petinggi perusahaan, Mas nggak bisa absen. Nanti kalau sudah selesai, baru Mas izin pulang. Mas berangkat ya, Dek!”

Mas Dani memelukku dan mencium keningku. Ia pun berangkat kerja.

Selesai sarapan segera kubersihkan meja makan dan berbelanja ke pasar. Aku segera memasaknya begitu sampai di rumah, untuk menyambut keluarga suami. Aku memasak rendang, udang, ikan dan berbagai makanan enak lainnya.

Sebelum Jam dua belas siang semua telah selesai di meja. Aku pun puas dengan hasil masakanku.

Ting Tong!

Bel depan rumah berbunyi, itu pasti keluarga Mas Dani. Aku membasuh sedikit mukaku agar tidak kelihatan kucel setelah memasak.

Ting tong! Ting tong! Ting tong! Ting tong!

Suara bel dipencet dengan cepat. Sepertinya tidak sabaran sekali mereka.

“Lama banget sih, Dan! Ibu sudah kepanasan ini” ucap Ibu mertuaku begitu aku membuka pintu.

“Ini Rara, Bu. Mas Dani masih kerja mungkin sebentar lagi pulang.” Aku mencium tangan Ibu dan mempersilahkan mereka masuk.

“Wah, rumah Mas Dani besar juga ya, Buk? Tau gitu dari dulu minta tinggal di sini.” Ucap Imron, adik Mas Dani setelah masuk ke dalam rumah. Netranya memindai isi rumahku.

“Iya, aku juga nggak tahu kalau Dani punya rumah semewah ini,” kali ini yang berbicara adalah Mbak Nia.

Yang aku heran mereka tidak menyapaku, apa aku dianggap patung?

“Mbak nya pembantu di sini ya? Malah diem aja, angkat nih koper kita ke dalam,” Imron menyerahkan beberapa koper padaku.

“Kamar kita sudah diberesihin kan? Aku mau tidur dulu aja, capek. Kamarku yang mana? Laki-laki di samping Mbak Nia yang berbicara.

Belum sempat aku menjawab, dia sudah masuk ke dalam rumah dan ke lantai atas, mencari sendiri kamarnya.

Ibu dan Mbak Nia pun langsung berkeliling melihat isi rumah.

Aku hanya melongo, masih tak sadar apa yang terjadi. Jadi, mereka menganggap aku pembantu di sini? Apa mungkin karena aku hanya mengenakan daster rumahan? tanpa make up dan masih berkeringat karena baru selesei masak.

“Tapi aku ....” belum selesai aku meneruskan ucapanku terdengar ucapan salam dari depan pintu.

“Assalamualaikum,” itu suara Mas Dani.

Waalaikum salam.” Aku segera mengambil tas kerjanya dan menciumnya takzim.

Mendengar suara Mas dani, kedua lelaki tadi kembali ke depan rumah. Sekarang gantian mereka yang bengong melihatku mencium tangan dan memeluk Mas Dani.

“Imron! Bang Ken!” Mas Dani memeluk mereka berdua.

“Baru sampai apa sudah dari tadi? Oh iya, sudah kenalan belum? Ini istriku, Rara.” Mas Dani memperkenalkan aku kepada mereka.

“Hah? Aku kira tadi dia pembantu, Mas karena pakaiannya norak sekali.” Imron terang-terangan mengejekku. Padahal dia seorang pria tapi mulutnya lemes sekali. Jengkel aku dibuatnya, tak sopan kepada kakak iparnya.

“Norak? Enggak lah, emang daster kan emang nyaman dipakai di rumah. Iya kan, Sayang?” Mas Dani melihatku, aku hanya tersenyum. Untunglah Mas Dani membelaku, aku tak perlu menjawab.

“Ya udah, makan dulu yuk, semua uda siap kan, Dek?” tanya Mas Dani padaku.

“Sudah, Mas. Panggil Ibu dan Mbak Nia dulu tadi mereka sedang melihat-lihat rumah.

Kami berkumpul di meja makan, lalu makan bersama. Aku melihat semuanya menikmati masakanku.

“Maaf ya, Mbak. Tadi kukira pembantu, habis Mbak Rara pakaiannya seperti itu, sih!” Imron lalu tertawa. Aku tersenyum dengan terpaksa. Dia niat minta maaf apa enggak sih.

“Aku sudah kenyang, mau tidur dulu, kamarnya yang mana, Dan?” Bang Ken, suami Mbak Nia bertanya kepada Mas Dani.

“Di lantai dua mas, di sana ada dua kamar, untuk kamu dan Mbak Nia, satunya biar untuk Imron. Ibu tidur di bawah aja biar nggak capek naik turun tangga.” Mas Dani menjelaskan. Mereka masuk kamar tanpa membantu mencuci piring. Oke, mungkin mereka lelah setelah perjalanan.

Pagi hari setelah salat subuh aku mulai memasak sarapan. Mbak Nia dan Ibu juga belum bangun, bahkan hingga Mas Dani berangkat kerja mereka masih belum bangun! Aku melanjutkan dengan mencuci baju, memang untuk baju-baju yang tipis dan kemeja Mas Dani aku kucek sendiri tanpa menggunakan mesin cuci.

Bruk!

Tiba- tiba Mbak Nia memberikan setumpuk cucian kepadaku.

“Nih! cuciin sekalian baju kami ya, Ra. Aku masih capek,” kata Mbak Nia dengan santainya. Sungguh tidak sopan! Harusnya kalau minta tolong bisa dengan ucapan yang lebih baik. Bukan seakan menyuruh pembantu untuk mencuci bajunya.

Aku tak menjawab. Hanya memasukkan cucian mereka ke dalam air rendaman sabun dengan merengut.

“Sayang, aku lapar. Ada makanan nggak?” tanya Bang Ken tiba-tiba.

“Kamu sudah masak buat sarapan kita kan, Ra?” Mbak Nia malah tanya kepadaku.

Aku mengangguk.

“Ada, Mas. Yuk, kita sarapan dulu.” Ajaknya. Tanpa ba bi bu, mereka meninggalkanku yang masih dongkol.

“Mbak, minta cepek dong buat beli kuota!” Imron turun dari lantai dua lalu minta uang padaku. Pakaiannya pun sudah rapi

Belum sempat aku menjawab, terdengar suara Ibu berteriak dari kamarku.

“Ra ... baju warna putih ini buat Ibu, Ya. Bajunya bagus. Ibu suka!”

Aku bingung. Apa-apaan keluarga ini!!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
salah mu sendiri yg mau diperlakukan kayak babu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status