Mereka berlaku seenaknya di rumah ini. Kesal sebenarnya, tapi masih bisa kutahan karena menghargai Mas Dani.
“Nanti ya, aku izin dulu sama Mas Dani.” Tanpa menunggu jawaban Imron aku segera menuju kamarku. Meninggalkan cucian yang belum selesai.
Tampak Ibu mengacak-acak isi lemari. Beberapa baju bahkan berserakan di lantai. Entah apa yang Ibu cari di kamarku.
“Ibu! Apa yang Ibu lakukan di kamarku?” Aku shock melihat kamarku berantakan. Baju berserakan di ranjang dan di lantai
“Ra, kamu kok nggak bilang sih kalau punya baju bagus-bagus begini? Kamu kan Cuma di rumah aja, jadi baju ini buat Ibu aja ya?” Ibu mengambil beberapa baju dan membawanya keluar kamar, tanpa membereskan kekacauan yang dia lakukan. Aku hanya bisa menangis saking kesalnya.
Malam hari Mas Dani pulang, seharian itu pula kerjaan mereka hanya berdiam di dalam kamar, termasuk Ibu mertua. Aku lantas menceritakan semua kejadian hari itu kepada Mas Dani.
Mas Dani menyimak curhatanku soal keluarganya yang baru saja datang dan menguras emosiku di hari pertama.
“Kasih aja, Dek. Kamu kan bisa beli lagi.” Cuma itu yang Mas Dani bilang. Ku kira Mas Dani akan membelaku dan menegur keluarganya.
“Tapi Mas, apa kamu nggak tegur keluargamu? Maksudku biar sedikit membantu membereskan rumah? Atau mengahrgaiku sebagai ipar mereka? Aku sama seali tak dianggp sebagai ipar. Malah dlebih mirip pembantu bagi mereka.” Aku mencoba meminta pengertian Mas Dani.
“Ini baru sehari lho, Dek. Jangan-jangan itu Cuma perasaanmu aja. Mungkin mereka masih sungkan untuk melakukan sesuatu, lama-lama juga mereka akan ngerti. Kamu sabar dulu ya.” Mas Dani menenangkanku.
Baiklah, aku akan mencoba bersabar.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Selama itu pula aku seakan menjadi babu di rumahku sendiri. Mbk Nia dan Ibu sama sekali tak mau membantu. Jaangankan membantu, memegang sapu pun mereka ta pernah.
Namun aku masih bertahan dan bersabar, yang penting Mas Dani masih membelaku dan tidak berselingkuh. Hingga akhirnya ...
***
2 tahun kemudian ...
“Dek, aku harus tugas ke luar kota, mungkin selama sebulan. Perusahaan akan buka cabang di sana. Tolong siapkan keperluannya ya!” pintanya sesaat sebelum tidur. Aku yang masih merapikan baju di lemari segera menghentikan kegiatanku.
“Lama banget, Mas?” aku heran biasanya Mas Dani hanya 2-3 hari, tapi ini sampai sebulan.
“Iya, sekalian ini promosi buat Mas biar bisa naik jabatan! Doain Mas ya, Dek! Kamu baik-baik di rumah ya!”
“Baiklah, Mas. Di sana jaga kesehatan. Jangan makan sembarangan karena tak ada yang memasakkan untukmu. Jangan lup—“
Belum kuselesaikan ucapanku mulutku sudah dibungkam oleh bibirnya Mas dani. Mas Dani mendekat dan meminta haknya sebagi seorang suami.
Mas Dani berangkat pagi-pagi karena mengejar penerbangan pertama. Sebelum subuh, ia sudah berangkat dari rumah. Tak lupa aku membuatkan sedikit makanan untuknya agar tidak lapar d perjalanan. Aku yang masih mengantuk, kembali tertidur setelah salat subuh.
Masih setengah sadar, Lamat-lamat aku mendengar pintu kamarku di gedor.
“Ra! Buka pintunya Ra! Ini sudah jam berapa kenapa kamu belum memasak sarapan?”
Itu suara Ibu mertua. Dengan kepala yang masih pusing karena kurang tidur aku membuka pintu.
“Tadi aku sudah masak sedikit, Bu. Paling masih ada kalau Cuma buat Ibu,” jawabku hendak menutup pintu kembali dan melanjutkan tidurku. Tapi Ibu dengan cepat menahan pintu agar tidak tertutup.
“Kok Cuma sedikit? Di rumah ini kan ada banyak orang. Sudah sana masak lagi, kasihan anak-anakku kalau kelaparan.” Ibu membuka lebar pintu kamarku.
“tapi aku masih mengantuk, Bu. Semalam hanya tidur tiga jam. Ibu aja yang masak sarapan ya!” pintaku lirih
“Cuci muka atau mandi sekalian biar Ngga ngantuk! Ayo cepat masak sana! Jangan jadi menantu pemalas!” Ibu mendorong dan menutup pintu kamarku.
Dengan terpaksa aku pun menuruti perintah Ibu. Hanya cuci muka dan menggosok gigi lalu mengambil bahan-bahan di kulkas dan mengolahnya. Aku mematikan kompor setelah masakan matang dan pergi mandi.
Baru saja mengambil handuk, aku melihat Ibu dan iparku menuju dapur untuk sarapan. Mereka langsung makan tanpa mengajakku. Tapi tak kuambil pusing karena badanku lengket dan masih bau bawang.
Selesai mandi aku pun hendak sarapan. Namun mataku dibuat kaget ketika melihat meja makan yang berantakan. Piring-piring kotor ada di atas meja, banyak ceceran nasi, tetesan kuah sayur di kompor dan di lantai, belum lagi ada tumpahan minyak. Astaga apa ada yang perang di dapurku?
Aku melongok ke dalam panci. Ternyata sayur sepanci habis tak bersisa. Hanya tersisa kuah yang tinggal sedikit. Bahkan aku menggoreng sepuluh ayam goreng pun tinggal tulang-tulangnya saja. Padahal aku juga sama sekali belum makan.
Marah dan sedih menjadi satu. Melihat Dapurku yang berantakan seperti kapal pecah aku segera memanggil Mbak Nia.
“Mbak ... Mbak Nia!” panggilku.
Mbak Nia yang asyik bermain ponsel di ruang tengah, berjalan dengan santai seakan tak punya salah.
“Apa?”
“Mbak nggak ada niatan gitu buat bantuin bersih-bersih rumah? Atau sekedar mencuci piring bekas makanmu sendiri? Atau membersihkan dapur bekas kalian makan? Lihat ini, Mbak? Dapur kayak kena badai begini!” erangku.
“Kamu kenapa sih, Ra? Biasanya juga langsung kamu bersihin. Ngga pakai drama marah-marah begini, kok sekarang sewot,” sungut Mbak Nia.
Mendengar ucapannya, naik lagi tensiku. Ditambah kelaparan menjadikanku susah mengontrol emosi.
“Kalau keadaan dapur baik-baik aja aku juga nggak sewot, Mbak. Tapi coba kamu lihat, keadaan dapur seperti apa? Dan siaoa yang barusan selesai makan? Bersihin dulu sana!” Aku menyuruh Mbak Nia membersihkannya.
“Enak aja nyuruh-nyuruh, aku kan di sini numpang jadi ya harus dilayani, lah. Tamu adalah raja. Masak tamu harus beres-beres, sih!” ucap Mbak Rina mengibaskan rambutnya yang ketombean. Ups.
“Tu tahu, Mbak. Kalo disini numpang harusnya tahu diri dong ikut bantu-bantu bersihin rumah. Lagian ya, Mbak namanya tamu itu Cuma sehari dua hari, lah ini sampai 2 tahun bukan tamu lagi namanya, Mbak!” ucapku tak kalah sengit.
Bukannya patuh malah Mbak Nia semakin nyolot
“Kamu salah makan atau salah minum obat sih? Biasanya diem aja kok sekarang cerewet masalah sepele begini? Kami ini keluarga suamimu, surgamu ada di suamimu, jadi kalau memuliakan tamu, apalagi tamu itu keluarga suamimu berarti surgamu bertambah. Lagian ini rumah juga punya dani. Terserah dong aku mau ngapain!”
Aku mengernyitkan dahi. Teori dari mana seperti itu? Gini nih kalau dengerin mengaji dari Yutube cuma 10 menit lalu berasa jadi ustadzah.
“Mbak, udah deh, nggak usah ngaco kemana-mana. Aku Cuma minta salah satu dari kalian ada yang bantuin bersihin rumah, orang pada uda gede juga, malas kok dipiara.” Lama-lama aku bisa gila meladeni kakak kandung suamiku ini.
“Yang pemalas itu, kamu! Biasanya juga kamu kerja in semuanya biasa aja. Aku ngrasa sejak Dani pergi kamu jadi lebih rese tau nggak?” sungut Mbak Nia
“Terserah aku dong, Mbak. Ini rumahku. Jadi ya ikuti aturanku. Selama 2 tahun ini aku memang mencoba bersabar seperti perintah Mas Dani, tapi sekarang nggak bisa lagi, Mbak!” aku mulai jengkel.
“Ada apa sih ini ribut-ribut. Sampai kedengaran dari kamar Ibu.” Sang Ibu Suri datang juga akhirnya.
“Ini nih, Bu. Si Rara masa menyuruh aku beresin dapur? Kan ini rumah dia ya? Jadi ya dia yang harus bersihin.” Mbak Nia mencari pembelaan dari Ibunya.
Aku Cuma terdiam, mau melihat seperti apa Ibu mertua menyikapinya.
“Ya nggak papa to, Nia. Kan Cuma hari ini aja. asalkan nggak tiap hari. Yang penting kan pernah bantu. Iya kan, Ra?” Ibu menoleh ke arahku.
Allahuakbar. Ternyata teori Ibu mertua lebih parah dari Mbak Nia. Aku yang mulai jengkel meninggalkan mereka berdua. Bisa pecah kepalaku meladeni teori aneh mereka.
“Ra, jangan pergi dulu, beresin dulu ini dapurnya, kalau kamu pergi siapa yang bersihin!” teriak Mbak Nia yang terdengar sampai kamarku.
“Bodo amat!!” teriakku tak kalah kencang.
Blam!
Aku membanting pintu kamar. Mengatur napas yang ngos-ngosan karena menahan amarah. Rasa lapar memang membuat emosi meningkat.
Keluarga Mas Dani tak ada yang beres. Selain pemalas, mereka juga menjadi penyebab aku sering ribut dengan Mas Dani. Benar-benar racun. Kehadiran mereka seolah menjadi racun bagi rumah tanggaku. Seakan membunuh secara perlahan-lahan agar rumah tanggaku bubar.
Tak ada lagi kehidupan pernikahan yang tenang dan damai. Yang ada hanya teriakan dan makian Ibu atau Mbak Nia.
Sampai malam pun dapur tetap tak di sentuh oleh mereka. Mau tak mau aku yang membersihkan semuanya. Mereka semua benalu tak tahu malu. Sudah numpang, masih merepotkan pemilik rumah. Kalau bukan keluarga Mas Dani sudah kuusir mereka dari dulu. Belum selesai aku membersihkan aku mendengar ponselku bergetar. Drrt ... Drrt ... Drrt .... Gawaiku bergetar lagi. Aku masih mengabaikannya. Meneruskan menyapu dan mengepel lantai. Hanya melihat sekejap untuk mengetahui diapa yang menghubungi. Panggilan dari Mas Dani. Tak lama kemudian di menghubungi kembali. Karena risih dia menelepon terus, kuangkat saja lah, daripada nanti dia ngomel. “Assalamualaikum. Halo, Mas.” [Waalaikum salam. Dek, kok Mbak Nia chat Mas, katanya kamu marahi dia ya? Tumben. Memangnya Apa sih yang sebenarnya terjadi?] Sudah kuduga Mbak Nia akan mengadu kepada Mas Dani. Selama ini memang seperti itu. Tak hanya Mbak Nia, tetapi Ibu pun sama. Kalau ada yang tidak pas dengan keinginan mereka, pasti akan laporan ke Mas Dan
Terdengar suara azan dari masjid, aku pun segera bangun dan mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajibanku sebagai umat muslim. Selesai salat subuh biasanya aku akan bikin sarapan untuk semua orang, tapi kini tidak lagi. Aku hanya bikin sarapan untukku sendiri.Peristiwa semalam membuatku belajar untuk tidak berlaku baik bagi orang yang tak tahu diri, karena mereka akan ngelunjak. Biar saja, mereka juga sudah besar. Bahan makanan juga tersedia lengkap, karena aku biasa menyisihkan dari bahan-bahan cateringku.Nasi goreng seafood sudah matang. Aku pun sarapan sendirian. Karena Ibu dan Ipar tak pernah bangun pagi.Setelah sarapan aku hendak pergi ke tempat usaha kateringku. Letaknya tidak jauh hanya empat puluh lima menit perjalanan. Kubereskan dapur dan menyambar handuk untuk mandi. Saat aku telah bersiap-siap, Sang Ibu Suri baru bangun. Kulirik jam, sudah jam sembilan.“Mau kemana, Ra?” Ibu bertanya sambil mengucek matanya. Rambutnya masih acak-acakan.“Mau kerja, Bu,” jawabku singkat
Aku terbangun pada tengah malam, perut rasanya sudah melilit karena lupa belum diisi sedari siang. Aku pun segera beranjak dari tempat tidur menuju dapur untuk mengambil makanan. Melihat penampakan dapur seperti kapal pecah membuatku sangat ingin memberi mereka kopi sianida. Kalau saja tak ada dosa dan penjara, pasti aku yakin sudah melakukannya. Aku harus memberi mereka pelajaran. Kuhubungi temanku yang seorang IT, meminta peralatan cctv mini yang tak kan terlihat mata. “Halo,” ucapku begitu diangkat setelah deringan yang entah ke berapa. (Kau pikir ini jam berapa hah?!) “Hahaha, maafkan aku, tapi ini mendesak! Aku ingin kau menyediakan CCTV mini 5 set. Akan kuambil besok.” (Dasar! Seenak jidat aja kau menyuruhku! Baiklah akan kusediakan, Tuan Putri) “Sip! Makasih, Alex.” Aku tersenyum. Alex adalah teman masa kecilku, dia sangat menyukai dunia IT, pekerjaan sampingannya adalah menjadi hacker, tapi tak banyak yang tahu. Dia selalu memanggilku Tuan Putri, karena sedari kecil, h
“Ba—bagaimana bisa kamu sampai sini, Dek?“ Mas Dani sangat terkejut melihat kedatanganku yang tak pernah dia sangka. Selama menikah dengannya aku memang hanya tahu letak gedungnya, tapi belum pernah masuk ke dalam. “Ini yang kamu bilang lagi di proyek, Mas? Masih di luar kota? Apa maksudmu sebenarnya, hah?” aku yang emosi langsung menggebrak meja. Mas Dani yang gelagapan segera membereskan berkas yang berantakan. “Dek, ini Mas masih di kantor, kita bahas di rumah ya. Nanti Mas pasti pulang. Mas cerita in semuanya.” Mas Dani membujukku agar mau pulang. Aku pun sadar, ini masih jam kantor, daripada mempermalukan diri sendiri lebih baik balik saja. aku pulang ke rumah tanpa berpamitan dengan Dani. Saat sampai di depan pintu, aku mendengar Mas Dani menghela napas, pasti ia tak menyangka aku akan memergokinya di sini. Untunglah sat di ruangan itu Mas dani sendirian. Jabatannya yang sebagai manajer membuatnya memiliki ruangan tersendiri di kantor. Ruangan Mas Dani terletak di lantai
Berulang kali kutanyakan kepada Ibu, tapi Ibu selalu berkelit. Begitu pun Mbak Nia. Mereka tetap tak mau mengaku.Baiklah, aku sendiri yang akan mencari tahu nanti.Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Ku hafal suara mesin itu. Mas Dani pulang.Aku membukakan pintu. Mas dani mengulurkan tangannya untuk kucium. Hal yang biasa kulakukan selama ini.“Dek, aku—“Aku tahu Mas Dani langsung ingin menjelaskan masalah tadi, tapi ucapannya dipotong Ibunya “Dani, akhirnya kamu pulang ke sini juga. Ibu sudah menunggu. Lihat ini.” Ibu merongrong Mas Dani yang baru saja pulang kerja. Dia tak menjawab perkataan Ibu yang hendak menunjukkan tiket liburan itu.Ia justru melirik melihatku yang bersedekap di depannya. Aku tahu ini di luar kebiasaanku. Biasanya saat pulang kerja aku akan menyambutnya dengan senyuman dan membawakan tas kerjanya, kopi pun sudah tersedia di meja. Namun sekarang, tatapan tajam yang kuberikan.“Dek ....” Dani justru memanggilku“Dani! Kamu ini, Ibu
“Ka-kamu sudah bangun, Dek?” Mas Dani gugup. Ia takut obrolannya tadi terdengar olehku.Aku tak menggubris. Hanya diam dengan menatapnya tajam.“Iya, baru saja. Kamu kenapa panik gitu, Mas? Ke mana kamu selama ini?” tanyaku. Aku sengaja tak bertanya dulu soal percakapan di telepon tadi, biarlah Mas Dani menganggap kalau aku masih tidur.Mendengar penuturanku, membuat Mas Dani rileks. Perlahan mendekatiku yang masih berbaring di tempat tidur, lalu dia merebahkan dirinya di sampingku.“Mas lagi bangun rumah, Dek!” ucap Mas Dani.“Apa?!” Aku kaget, Apa benar? dari mana ia mempunyai banyak uang untuk membangun rumah?“Rumah untuk siapa, Mas?” Aku curiga jangan-jangan rumah itu untuk keluarganya.“Untuk Ibu lah, Dek. Kasian Ibu gak punya rumah, masa mau tinggal di sini terus,” jawab Mas Dani enteng.Tuh, kan benar. Jadi Mas Dani nggak selingkuh? Lalu telepon tadi? Ah, sepertinya masih banyak yang Mas Dani sembunyikan dariku.“Di mana lokasinya?” tanyaku lagi“Biasa aja, Dek. Yang nannya ko
Satu-satunya orang yang bisa kumintai tolong adalah Om Joni. Aku pun menghubungi saudara kandung Papa itu untuk memastikan apa benar Mas Dani ke kantor hari ini.(Pagi, Om, nanti tolong kabarin Rara kalau Mas Dani ke kantor ya.)Send.Aku mengirim pesan itu ke Om Joni, karena aku tahu ini masih pagi dan mungkin masih sibuk di rumah.Aku mendengar notifikasi pesan dari laptopku. Ternyata ada pesan ke ponsel Mas Dani.(Mas, uda berangkat belum? )Si tanda hati mengirim pesan, tapi Mas Dani belum membalas pesannya.“Ra ... Rara!” Terdengar suara Mbak Nia memanggilku.Aku pun membukakan pintu untuknya, sebelumnya telah kututup laptopku agar tak kelihatan aku sedang menyadap ponsel Mas Dani.“Kenapa, Mbak?” tanyaku melihat Mbak Nia bersedekap di depan pintu kamar.“Malah tanya kenapa, Harusnya aku yang tanya kenapa nggak ada makanan. Aku dan Bang Ken lapar mau makan! Aku pingin makan ayam bakar. Buruan kamu buatin!” suruh Mbak Nia.“Mbak! Memangnya kamu pikir ini restoran? Tinggal minta bu
“Siapa yang akan menikah, Lex?” Rara meletakkan spatulanya.“Belum tahu, Kata Kang Asep tadi ada seorang wanita meminta izin untuk menikah di Vila itu, penghulu dan beberapa saksi juga sudah ada Sepertinya memang sudah lama mereka menyiapkannya.” jelas Alex.Ucapannya membuat Rara tambah tidak fokus.“Bagaimana? Kamu mau ke sana? Atau besok saja? Acaranya besok pagai sepertinya.” lanjut Alex.“Kalau menyetir sendiri lama ya? Atau cari penerbangan ke sana aja yang paling cepat, Lex.” Rara gelisah, dia tak akan tenang sebelum mengetahui kebenarannya.Alex segera mengutak atik laptopnya. “Ada pesawat jam lima sore terakhir. Sampai bandara sana nanti aku akan minta sopir untuk menjemput, tapi ya tetap saja sampai vila sudah sekitar jam sepuluh malam, Ra. Kalau bawa mobil ke sana bisa lebih larut lagi sampainya. Gimana?” tanya Alex.“Tak apa-apa, pesankan saja. Daripada aku di sini bertanya-tanya apa yang terjadi?” kata Rara kemudian.Alex kembali berkutat dengan laptopnya.“Done! Kamu bis