Share

Bab 2 Perbedaan

Mereka berlaku seenaknya di rumah ini. Kesal sebenarnya, tapi masih bisa kutahan karena menghargai Mas Dani.

“Nanti ya, aku izin dulu sama Mas Dani.” Tanpa menunggu jawaban Imron aku segera menuju kamarku. Meninggalkan cucian yang belum selesai.

Tampak Ibu mengacak-acak isi lemari. Beberapa baju bahkan berserakan di lantai. Entah apa yang Ibu cari di kamarku.

“Ibu! Apa yang Ibu lakukan di kamarku?” Aku shock melihat kamarku berantakan. Baju berserakan di ranjang dan di lantai

“Ra, kamu kok nggak bilang sih kalau punya baju bagus-bagus begini? Kamu kan Cuma di rumah aja, jadi baju ini buat Ibu aja ya?” Ibu mengambil beberapa baju dan membawanya keluar kamar, tanpa membereskan kekacauan yang dia lakukan. Aku hanya bisa menangis saking kesalnya.

Malam hari Mas Dani pulang, seharian itu pula kerjaan mereka hanya berdiam di dalam kamar, termasuk Ibu mertua. Aku lantas menceritakan semua kejadian hari itu kepada Mas Dani.

Mas Dani menyimak curhatanku soal keluarganya yang baru saja datang dan menguras emosiku di hari pertama.

“Kasih aja, Dek. Kamu kan bisa beli lagi.” Cuma itu yang Mas Dani bilang. Ku kira Mas Dani akan membelaku dan menegur keluarganya.

“Tapi Mas, apa kamu nggak tegur keluargamu? Maksudku biar sedikit membantu membereskan rumah? Atau mengahrgaiku sebagai ipar mereka? Aku sama seali tak dianggp sebagai ipar. Malah dlebih mirip pembantu bagi mereka.” Aku mencoba meminta pengertian Mas Dani.

“Ini baru sehari lho, Dek. Jangan-jangan itu Cuma perasaanmu aja. Mungkin mereka masih sungkan untuk melakukan sesuatu, lama-lama juga mereka akan ngerti. Kamu sabar dulu ya.” Mas Dani menenangkanku.

Baiklah, aku akan mencoba bersabar.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Selama itu pula aku seakan menjadi babu di rumahku sendiri. Mbk Nia dan Ibu sama sekali tak mau membantu. Jaangankan membantu, memegang sapu pun mereka ta pernah.

Namun aku masih bertahan dan bersabar, yang penting Mas Dani masih membelaku dan tidak berselingkuh. Hingga akhirnya ...

***

2 tahun kemudian ...

“Dek, aku harus tugas ke luar kota, mungkin selama sebulan. Perusahaan akan buka cabang di sana. Tolong siapkan keperluannya ya!” pintanya sesaat sebelum tidur. Aku yang masih merapikan baju di lemari segera menghentikan kegiatanku.

“Lama banget, Mas?” aku heran biasanya Mas Dani hanya 2-3 hari, tapi ini sampai sebulan.

“Iya, sekalian ini promosi buat Mas biar bisa naik jabatan! Doain Mas ya, Dek! Kamu baik-baik di rumah ya!”

“Baiklah, Mas. Di sana jaga kesehatan. Jangan makan sembarangan karena tak ada yang memasakkan untukmu. Jangan lup—“

Belum kuselesaikan ucapanku mulutku sudah dibungkam oleh bibirnya Mas dani. Mas Dani mendekat dan meminta haknya sebagi seorang suami.

 Mas Dani berangkat pagi-pagi karena mengejar penerbangan pertama. Sebelum subuh, ia sudah berangkat dari rumah. Tak lupa aku membuatkan sedikit makanan untuknya agar tidak lapar d perjalanan. Aku yang masih mengantuk, kembali tertidur setelah salat subuh.

Masih setengah sadar, Lamat-lamat aku mendengar pintu kamarku di gedor.

“Ra! Buka pintunya Ra! Ini sudah jam berapa kenapa kamu belum memasak sarapan?”

Itu suara Ibu mertua. Dengan kepala yang masih pusing karena kurang tidur aku membuka pintu.

“Tadi aku sudah masak sedikit, Bu. Paling masih ada kalau Cuma buat Ibu,” jawabku hendak menutup pintu kembali dan melanjutkan tidurku. Tapi Ibu dengan cepat menahan pintu agar tidak tertutup.

“Kok Cuma sedikit? Di rumah ini kan ada banyak orang. Sudah sana masak lagi, kasihan anak-anakku kalau kelaparan.” Ibu membuka lebar pintu kamarku.

“tapi aku masih mengantuk, Bu. Semalam hanya tidur tiga jam. Ibu aja yang masak sarapan ya!” pintaku lirih

“Cuci muka atau mandi sekalian biar Ngga ngantuk! Ayo cepat masak sana! Jangan jadi menantu pemalas!” Ibu mendorong dan menutup pintu kamarku.

Dengan terpaksa aku pun menuruti perintah Ibu. Hanya cuci muka dan menggosok gigi lalu mengambil bahan-bahan di kulkas dan mengolahnya. Aku mematikan kompor setelah masakan matang dan pergi mandi.

Baru saja mengambil handuk, aku melihat Ibu dan iparku menuju dapur untuk sarapan. Mereka langsung makan tanpa mengajakku. Tapi tak kuambil pusing karena badanku lengket dan masih bau bawang.

Selesai mandi aku pun hendak sarapan. Namun mataku dibuat kaget ketika melihat meja makan yang berantakan. Piring-piring kotor ada di atas meja, banyak ceceran nasi, tetesan kuah sayur di kompor dan di lantai, belum lagi ada tumpahan minyak. Astaga apa ada yang perang di dapurku?

Aku melongok ke dalam panci. Ternyata sayur sepanci habis tak bersisa. Hanya tersisa kuah yang tinggal sedikit. Bahkan aku menggoreng sepuluh ayam goreng pun tinggal tulang-tulangnya saja. Padahal aku juga sama sekali belum makan.

Marah dan sedih menjadi satu. Melihat Dapurku yang berantakan seperti kapal pecah aku segera memanggil Mbak Nia.

“Mbak ... Mbak Nia!” panggilku.

Mbak Nia yang asyik bermain ponsel di ruang tengah, berjalan dengan santai seakan tak punya salah.

“Apa?”

“Mbak nggak ada niatan gitu buat bantuin bersih-bersih rumah? Atau sekedar mencuci piring bekas makanmu sendiri? Atau membersihkan dapur bekas kalian makan? Lihat ini, Mbak? Dapur kayak kena badai begini!” erangku.

“Kamu kenapa sih, Ra? Biasanya juga langsung kamu bersihin. Ngga pakai drama marah-marah begini, kok sekarang sewot,” sungut Mbak Nia.

Mendengar ucapannya, naik lagi tensiku. Ditambah kelaparan menjadikanku susah mengontrol emosi.

“Kalau keadaan dapur baik-baik aja aku juga nggak sewot, Mbak. Tapi coba kamu lihat, keadaan dapur seperti apa? Dan siaoa yang barusan selesai makan? Bersihin dulu sana!” Aku menyuruh Mbak Nia membersihkannya.

“Enak aja nyuruh-nyuruh, aku kan di sini numpang jadi ya harus dilayani, lah. Tamu adalah raja. Masak tamu harus beres-beres, sih!” ucap Mbak Rina mengibaskan rambutnya yang ketombean. Ups.

“Tu tahu, Mbak. Kalo disini numpang harusnya tahu diri dong ikut bantu-bantu bersihin rumah. Lagian ya, Mbak namanya tamu itu Cuma sehari dua hari, lah ini sampai 2 tahun bukan tamu lagi namanya, Mbak!” ucapku tak kalah sengit.

Bukannya patuh malah Mbak Nia semakin nyolot

“Kamu salah makan atau salah minum obat sih? Biasanya diem aja kok sekarang cerewet masalah sepele begini? Kami ini keluarga suamimu, surgamu ada di suamimu, jadi kalau memuliakan tamu, apalagi tamu itu keluarga suamimu berarti surgamu bertambah. Lagian ini rumah juga punya dani. Terserah dong aku mau ngapain!”

Aku mengernyitkan dahi. Teori dari mana seperti itu? Gini nih kalau dengerin mengaji dari Yutube cuma 10 menit lalu berasa jadi ustadzah.

“Mbak, udah deh, nggak usah ngaco kemana-mana. Aku Cuma minta salah satu dari kalian ada yang bantuin bersihin rumah, orang pada uda gede juga, malas kok dipiara.” Lama-lama aku bisa gila meladeni kakak kandung suamiku ini.

“Yang pemalas itu, kamu! Biasanya juga kamu kerja in semuanya biasa aja. Aku ngrasa sejak Dani pergi kamu jadi lebih rese tau nggak?” sungut Mbak Nia

“Terserah aku dong, Mbak. Ini rumahku. Jadi ya ikuti aturanku. Selama 2 tahun ini aku memang mencoba bersabar seperti perintah Mas Dani, tapi sekarang nggak bisa lagi, Mbak!” aku mulai jengkel.

“Ada apa sih ini ribut-ribut. Sampai kedengaran dari kamar Ibu.” Sang Ibu Suri datang juga akhirnya.

“Ini nih, Bu. Si Rara masa menyuruh aku beresin dapur? Kan ini rumah dia ya? Jadi ya dia yang harus bersihin.” Mbak Nia mencari pembelaan dari Ibunya.

Aku Cuma terdiam, mau melihat seperti apa Ibu mertua menyikapinya.

“Ya nggak papa to, Nia. Kan Cuma hari ini aja. asalkan nggak tiap hari. Yang penting kan pernah bantu. Iya kan, Ra?” Ibu menoleh ke arahku.

Allahuakbar. Ternyata teori Ibu mertua lebih parah dari Mbak Nia. Aku yang mulai jengkel meninggalkan mereka berdua. Bisa pecah kepalaku meladeni teori aneh mereka.

“Ra, jangan pergi dulu, beresin dulu ini dapurnya, kalau kamu pergi siapa yang bersihin!” teriak Mbak Nia yang terdengar sampai kamarku.

“Bodo amat!!” teriakku tak kalah kencang.

Blam!

Aku membanting pintu kamar. Mengatur napas yang ngos-ngosan karena menahan amarah. Rasa lapar memang membuat emosi meningkat.

Keluarga Mas Dani tak ada yang beres. Selain pemalas, mereka juga menjadi penyebab aku sering ribut dengan Mas Dani. Benar-benar racun. Kehadiran mereka seolah menjadi racun bagi rumah tanggaku. Seakan membunuh secara perlahan-lahan agar rumah tanggaku bubar.

Tak ada lagi kehidupan pernikahan yang tenang dan damai. Yang ada hanya teriakan dan makian Ibu atau Mbak Nia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status