Share

Bab 3 Dibohongi

Sampai malam pun dapur tetap tak di sentuh oleh mereka. Mau tak mau aku yang membersihkan semuanya. Mereka semua benalu tak tahu malu. Sudah numpang, masih merepotkan pemilik rumah. Kalau bukan keluarga Mas Dani sudah kuusir mereka dari dulu.

Belum selesai aku membersihkan aku mendengar ponselku bergetar.

Drrt ... Drrt ... Drrt ....

Gawaiku bergetar lagi. Aku masih mengabaikannya. Meneruskan menyapu dan mengepel lantai. Hanya melihat sekejap untuk mengetahui diapa yang menghubungi. Panggilan dari Mas Dani. Tak lama kemudian di menghubungi kembali. Karena risih dia menelepon terus, kuangkat saja lah, daripada nanti dia ngomel.

“Assalamualaikum. Halo, Mas.”

[Waalaikum salam. Dek, kok Mbak Nia chat Mas, katanya kamu marahi dia ya? Tumben. Memangnya Apa sih yang sebenarnya terjadi?]

Sudah kuduga Mbak Nia akan mengadu kepada Mas Dani. Selama ini memang seperti itu. Tak hanya Mbak Nia, tetapi Ibu pun sama. Kalau ada yang tidak pas dengan keinginan mereka, pasti akan laporan ke Mas Dani. Dan entah versi seperti apa yang diceritakan Mbak Nia. Aku pun menceritakan kejadian sebenarnya.

[Owalah, Cuma gitu to, masalahnya. Kalau laper dan makanannya habis ya beli aja lah, Dek! masih ada uang kan? Dapur kalau berantakan dan malas beresin ya besok aja. Simple kan?]

Inilah yang tidak kusuka dari Mas Dani, selalu menggampangkan masalah, apalagi masalah hati istrinya. Dia tak pernah mengerti bagaimana rasanya sudah capek masak, tetapi saat mau makan sudah habis. Bukannya tak ikhlas menampung mereka, tapi memang aku keberatan. Dasar Mas Dani nggak peka! Untung sayang.

“Ya Udahlah, Mas. Ntar aku beli aja. Mas di sana jaga kesehatan. Awas kalau macam-macam! Ntar aku sunati lagi! Assalamualaikum.”

[Ya, Ampun. Galak bener. Ya udah. Waalaikum salam]

Aku menutup panggilan lalu menuju lemari di kamar untuk mengambil dompet. Tentu saja setelah selesai membersihkan dapur.

 Saat mencari dompetku, tak sengaja pintu lemari terbuka. Aku pun membukanya, terlihat tumpukan baju Mas Dani berantakan. Mungkin kemarin Mas Dani terburu-bur mengambil bajunya, padahal sudah kusiapkan beberapa baju untuknya.

Kuurungkan sejenak mengambil dompet dan mengeluarkan semua bajunya untuk kurapikan kembali. Beberapa baju dan celana kulipat kembali agar enak dipandang.

Saat hendak menaruh tumpukan baju kembali ke lemari, Tanpa sengaja mataku melihat buku rekening milik suamiku. Buku itu mepet di rak sebepqh samping. Sekilas tak akan terlihat dari depan walau mengingkirkan tumoukan bajunya.

Kubolak-balik rekening atas nama Mas Dani itu. Buku berwarna biru Ini bukan buku rekening yang biasa dia tunjukkan kepadaku. Anehnya lagi Aku melihat setiap tanggal 5 dia mendapatkan transferan sebesar dua puluh lima juta setiap bulannya.

Melihat nama yang tertera jelas ini milik suamiku. Dan tanggal pertama transfer pun jauh sebelum tanggal pernikahanku. Aku mulai berpikir, jangan-jangan ini rekening asli saat Mas Dani gajian? Dan Rekening lima juta per bulan yang dia perlihatkan kepadaku adalah rekening barunya?

Aku mengernyit heran. Untuk apa dia melakukan hal ini? Tidak jujur oadaku sebagai istrinya. Kemana sisa gaji Mas Dani selama ini?

Kuambil mengambil rekening barunya dan melihat tanggal terkirimnya, dan ternyata sama dengan bulan saat pernikahanku. Jadi Selama ini aku telah ditipu oleh suamiku sendiri. Kupikir selama ini gaji manager Cuma lima juta sebulan, ternyata sebulan mencapai tiga puluh juta. Wow, aku sungguh takjub ternyata selama ini aku tak tahu apa-apa tentang suamiku sendiri.

Meskipun sakit hati karena aku berhasil ditipu mentah-mentah, aku tak langsung menghubunginya. Aku pun duduk di tepi ranjang. Banyak perkiraan kemana larinya uang dua puluh lima juta sebulan? Aku mencari-cari lagi di lemari suamsuamiku

Jangan-jangan ada hal lain yang masih disembunyikan suamiku. Kubuka lagi tumpukan baju di lemari. Laci-laci juga tak luput dari perhatianku. Dan ternyata feelingku benar. Aku pun menemukan segulung struk dari ATM.

 Ada tiga nama di sana. Kurnia Wati, Imron Asahi, dan Intan permata. Ketiga nama itu adalah Mbak Nia, Imron dan Ibu mertua. Jadi selama dua tahun mereka tinggal di sini tetap mendapatkan jatah bulanan dari Mas Dani?

Aku benar-benar merasa dibohongi. Selama ini aku pusing memikirkan biaya makan mereka semua, tapi ini yang kudapat? Aku dicurangi oleh suami dan keluarganya. Aku yang bodoh atau mereka yang terlampau licik?

Sedangkan selama ini aku dengan uang belanja 5 juta harus menghidupi seluruh keluarga Mas Dani. Bahkan kadang aku mengambil uang modal katering untuk tambahan. Keluarga Mas Dani tidak bisa diajak berhemat, tidak cukup dengan lauk tahu atau tempe.

Selalu meminta daging atau seafood. Belum lagi usaha kateringku keteteran karena aku jarang datang ke sana. Ini sungguh tidak adil!

Entah berapa kali mereka sering meminta uang untuk keperluan yang tidak penting. Sering untuk beli makanan online ataupun membeli baju dan tas.

Bayangkan Enam orang dewasa tetapi hanya satu yang bekerja. Aku juga heran kenapa selama dua tahun ini Mas Arga tidak bekerja, pergi keluar hanya untuk memancing. Apa Mbak Nia tidak pernah menyuruhnya untuk bekerja?

Apa dia puas hanya duduk manis dan mendapat makan dari suamiku? Sehari-hari hanya mancing dan keluyuran tak tahu ke mana.

Aku meremas-remas kertas itu dan membuangnya ke sampah, tapi kuambil lagi karena aku membutuhkannya untuk bukti. Walau sangat penasaran dan butuh penjelasan dari Mas Dan, tapi kuurungkan niatku untuk bertanya. Karena dia pun pasti tak akan berkata jujur. Besok biar kuselidiki sendiri.

Rasa lapar tiba-tiba hilang begitu saja. Akhirnya aku tidak jadi pesan makanan, setelah membereskan baju Mas Dani yang berantakan, aku segera keluar untuk mencari udara segar biar emosiku sedikit mereda.

Saat kukeluarkan motor kulihat Imron sedang di pojokkan halaman rumahku. Dia seperti sedang melakukan sesuatu, tapi aku tak tahu apa itu. Selain karena gelap, posisi dia yang membelakangiku membuatku tak leluasa mengintainya. Aku yang curiga dan penasaran lalu mendatanginya.

“Kamu ngapain di situ?” aku bertanya sambil memicingkan mata mencoba melihat dalam gelap. Karena memang di pojokkan halaman termasuk sudut mati, tidak tersorot lampu dari mana pun karena terhalang pagar rumah.

“Nggak ngapa-ngapain kok, Mbak.” Dia tampak gelagapan dan menyembunyikan sesuatu di sakunya. Aku tak bisa melihatnya karena gelap.

“Apa yang kamu sembunyikan di balik bajumu itu?” aku mulai bersedekap. Takut dia melakukan hal-hal yang membahayakan.

“B—Bukan apa-apa. Mbak mau kemana malam-malam gini?” tanya Imron. Aku pun tahu dia sengaja mengalihkan perhatianku. Agar aku tidak bertanya lebih banyak.

“Mau cari makan, Mbak pengin nasi goreng, tadi semuanya kalian habiskan padahal aku belum makan,” jawabku menyindir. Tapi rupanya yang kusindir sama sekali tak merasa. Atau memang dia bebal?

“Wah kebetulan, Mbak. Aku juga mau keluar, udah sini mana uangnya aku beliin aja.” Pintanya semringah.

Perilakunya membuatku terkejut. Aku heran, tumben sekali dia mau melakukan sesuatu buat aku, biasanya juga dia yang nitip padaku. Lagi-lagi aku menyingkirkan pikiran burukku. Siapa tahu dia memang mau menolong karena ini memang sudah malam.

Kubuka tas selempang kecil yang melingkar di pundakku dan mengeluarkan selembar uang untuk Imron.

“Nih, uangnya.” Aku memberikan uang lima puluh ribu rupiah.

Dia hanya menatap uang itu tanpa menerimanya. “Kok cuma segini? Kuranglah, Mbak! Tambahin lagi! Nanti Ibu sama yang lain gimana?” pintanya padaku. Aku mendengus kesal. Soal makan aja mereka ingat kalau kerjaan berlagak bego!

Aku memberikan selembar lagi uang merah kepadanya. Dia pun mencium uang itu lalu pergi dengan motorku.

“Makasih, Kakak Ipar.”

Bolak balik aku melihat jam. Sudah lebih dari dua jam dan Imron belum datang. Aku menunggu di kamar dengan tidak sabar, terlihat jam dinding sudah pukul sepuluh malam, perutku sudah tak bisa diajak kompromi. Cacing dalam perutku berontak minta diisi.

Tak bisa menunggu lebih lama lagi, aku langsung ke dapur untuk mencari mie instan. Mengambil sebungkus mie dan sebutir telur. Sayuran dan sosis tak lupa kumasukkan.

Mie pun akhirnya matang. Aku memakannya dengan lahap. Belum habis mie-ku aku mendengar suara motor masuk. Pasti itu Imron, mungkin tadi nasi gorengnya Antri banyak jadi agak lama. Perutku kayaknya masih muat kalau ditambah nasi goreng. Aku pun lantas mengiris timun dan mengambil kerupuk untuk teman makan nasi goreng.

“Lho? Belum tidur, Mbak?” Imron menyapa basa basi saat melihatku.

Aku melihatnya masuk rumah dengan tangan kosong. “Mana nasi gorengnya?”

Imron meringis, menunjukkan deretan giginya yang tidak begitu putih.

“Maaf, Mbak. Tadi habis beli nasi goreng ketemu teman-teman lamaku, kita ngobrol bareng. Karena nggak ada camilan, aku buka bungkusan itu, habis deh nasi gorengnya.” Tampangnya tak merasa bersalah.

Tak bisa lagi aku berkata-kata. Pupus sudah harapanku makan nasi goreng dengan irisan timun. Aku pun langsung masuk ke kamar tanpa berucap sepatah kata pun.

Imron pun hanya diam. Entah merasa bersalah atau tak mau tahu. Kupukul bantal sebagai pelampiasan. Mau marah tapi sayang tenagaku, untung sudah makan mie instan!

Ingin rasanya aku berteriak. Tak kuat lagi aku tinggal bersama keluarga Mas Dani. Besok kalau Mas Dani pulang, akan kuajukan keberatanku menampung keluarganya lagi. Biar Mas Dani mencarikan rumah kontrakan untuk mereka.

Ponselku tergeletak di atas nakas. Aku pun mengambilnya dan mengirim pesan kepada Mas Dani. Berharap bisa sedikit mengobati rasa kesalku dengan sedikit bercanda dengannya.

Semenit, dua menit, hingga setengah jam aku menunggu balasan dari Mas Dani Namun tak kunjung tiba. Daripada aku tambah dongkol karena menunggu lebih baik aku menarik selimut dan tidur!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampus ajalah kau tolol. krn kebodohan mu kau pantas jadi babu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status