Aku terbangun pada tengah malam, perut rasanya sudah melilit karena lupa belum diisi sedari siang. Aku pun segera beranjak dari tempat tidur menuju dapur untuk mengambil makanan.
Melihat penampakan dapur seperti kapal pecah membuatku sangat ingin memberi mereka kopi sianida. Kalau saja tak ada dosa dan penjara, pasti aku yakin sudah melakukannya.
Aku harus memberi mereka pelajaran. Kuhubungi temanku yang seorang IT, meminta peralatan cctv mini yang tak kan terlihat mata.
“Halo,” ucapku begitu diangkat setelah deringan yang entah ke berapa.
(Kau pikir ini jam berapa hah?!)
“Hahaha, maafkan aku, tapi ini mendesak! Aku ingin kau menyediakan CCTV mini 5 set. Akan kuambil besok.”
(Dasar! Seenak jidat aja kau menyuruhku! Baiklah akan kusediakan, Tuan Putri)
“Sip! Makasih, Alex.”
Aku tersenyum. Alex adalah teman masa kecilku, dia sangat menyukai dunia IT, pekerjaan sampingannya adalah menjadi hacker, tapi tak banyak yang tahu. Dia selalu memanggilku Tuan Putri, karena sedari kecil, hidupku selalu dilayani. Mengingat jaman dulu membuatku merindukan ke dua orang tuaku. Papa dan Mama meskipun sudha lama menikah, tetapi mereka tetap mesra. Pernikahan mereka membuatku iri. Dulu sebelum menikah, aku ingin memiliki suami seperti Papa. Sayang dan bertanggung jawab kepada keluarga. Aku hanya anak tunggal.
Dulu terjadi pendarahan seelah Mama melahirkanku, ternyata ada kista di rahimnya. Mau tak mau rahim Mama harus diangkat setelah melahirkanku.
Walaupun Mama tidak bisa lagi punya anak, tetapi papa tetap setia. Tidak pernah selingkuh atau pun meminta izin poligami. Cinta Papa ke Mama sangat besar. Begitu pun sebaliknya.
Berbanding terbalik dengan pernikahanku. Mas Dani mulai berbohong, aku takut Mas dani memiliki wanita lain di luar sana.
Perutku yang berteriak meminta diisi, membuyarkan lamunanku soal mas lalu. Aku hanya mengambil roti, selai dan segelas susu untuk sekedar mengisi perut. Perut terasa lapar tapi malas untuk makan. Saat sedang duduk sendirian tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, aku menoleh, ternyata itu Bang Ken, suami Mbak Nia.
“Ke—kenapa, Bang?” tanyaku berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati aku takut setengah mati.
“Kamu cantik sekali, Ra. Bahkan lebih cantik dari Nia. Ayoklah, temani abang ngobrol sebentar,” ucapnya sambil mendekat ke arahku. Tercium bau alkohol dari mulutnya. Aku perlahan mundur, hingga mentok sampai di tembok dapur.
“Ini sudah malam, aku mau tidur dulu, Bang!” aku berusaha menghindar, hendak melewatinya karena pintu dapur berada di belakangnya.
Namun dia menahanku. Mencengkeram tanganku. Tenaganya begitu kuat. Aku lantas berteriak karena takut terjadi apa-apa.
“Mbak Niaaa ...” aku berteriak memanggil istrinya agar terbangun, tapi dia tak datang.
“Kau tidak usah teriak, Nia takkan bangun kalau sudah tertidur.” Tangannya masih menahanku. Dia menarikku ke dalam pelukannya. Aku tetap berteriak meronta-ronta. Lalu tiba-tiba lampu menyala.
Mereka bertiga di sana. Melihatku sedang dipeluk Bang Ken.
“Kalian sedang apa?” tanya Ibu mertua.
“Wah, nggak ada Mas Dani, Bang Ken pun jadi.” Imron mulutnya emang minta disambal walaupun dia laki-laki.
“Sayang, dia menggodaku. Tadi dia pura-pura ketakutan melihat kecoa, ternyata langsung memelukku. Aku yang terkejut tidak bisa apa-apa.” Bang Ken berbohong tapi sepertinya mereka percaya. Terlihat dari raut wajah mereka yang berubah setelah mendengarnya.
Mbak Nia maju dan lalu menamparku. Aku yang tidak siap tak bisa membalas.
“Bukan aku, Mbak! Tapi suamimu yang hendak melecehkanku! Seharusnya aku yang marah bukan kamu!” aku berusaha mempertahankan harga diriku di depan mereka. Aku mencoba menahan air mata yang hendak jatuh.
“Halah, mana ada maling mengaku! Bilang aja kamu naksir sama suamiku karena dia ganteng maksimal, iya kan?!” Mbak Nia menggandeng tangan Bang Ken dan mengajaknya masuk kamar, Ibu serta Imron mengikuti di belakang.
Dadaku berdebar sangat kencang, aku duduk di lantai. Jujur ini baru pertama kali aku hendak dilecehkan. Walaupun ditampar, tapi untunglah mereka datang. Aku tak bisa membayangkan seandainya dirumah Cuma tinggal kita berdua, entah apa yang akan terjadi padaku.
Aku harus kuat! Ini rumahku! aku harus bisa mengusir mereka dari sini.
Aku harus segera memasang CCTV itu dan mendapatkan bukti agar bisa mendepak semua dari sini. Rumah ini milikku, tapi seakan akulah pembantu di rumah ini.
Mas Dani juga sekarang entah kenapa aku tak percaya lagi padanya. Aku harus mempersiapkan diri dari sekarang. Kuambil segelas air putih dan kuminum hingga tandas, lalu kembali ke kamar.
Hingga azan subuh berkumandang, aku tak bisa memejamkan mata. Segera kuambil wudu dan menjalankan ibadah dua rakaat, memohon agar ditunjukkan jalan terbaik. Segelas susu dan sepiring nasi goreng sudah terhidang di meja. Aku harus kuat melawan mereka semua! Dan kekuatan dimulai dari sarapan.
“Wah, enak nih menu sarapannya nasi goreng udang. Aku udah lapar, nih!” Imron datang dan langsung duduk di meja. Tak lama kemudian Ibu dan kedua suami istri itu turun untuk makan. Mereka menganggap seakan tak terjadi apa-apa semalam.
Biasanya memang aku sudah membagi per porsi di piring mereka. Aku berjalan ke wastafel, mencuci piring dan gelasku, kemudian tanpa bicara sepatah pun aku meninggalkan meja makan.
Mereka melongo melihatku, karena biasanya aku akan sibuk di dapur sementara mereka makan.
“Raraaa ... mana makanan kami!” teriak Ibu dengan kencangnya.
“Iya, nih! Mbak Rara biasanya sudah melayani kami kok sekarang malah masuk kamar! Gimana sih! Aku sudah lapar ini!” ucap Imron tak kalah sengit.
“Tuh, nasi gorengnya tinggal yang di wajan, ambil sendiri! Kalau kurang masak sendiri!” aku pun berteriak dari dalam kamar.
Aku mendengar suara cekcok di bawah, aku tak peduli, mulai sekarang, aku sudah tidak sudi menjadi pembantu di rumahku sendiri.
“Rara! Buka pintunya cepat! Kamu harus masak lagi! Tadi nasi gorengnya Cuma cukup buat Ken dan Imron, aku sama Mbak mu belum makan!” Suara Ibu di depan pintu kamarku.
Luar biasa memang mertuaku, nasi goreng yang tinggal sedikit justru diberikan kepada dua orang lelaki sehat yang seharusnya bekerja, bukan malas-malasan di rumah.
Aku memang sengaja masak sedikit, hanya menghabiskan sisa nasi di magicom semalam.
Aku mengambil headset dan memakainya, lebih baik aku mendengarkan musik kesukaanku daripada mendengar ocehan Ibu mertuaku.
“Heh! menantu sial*n cepat buka pintunya atau kudobrak pintu ini!” Ibu mertua masih betah marah-marah di depan pintu. Tetapi tetap ssaja tak kuladeni. Tak lama kemudian hening. Mungkin sudah capek teriak-teriak.
Aku segera mandi dan berdandan secantik mungkin, aku akan mengejutkan suamiku di kantornya. Ya, semalam aku chat dengan Om Joni, aku diberitahu bahwa selama ini Mas Dani tetap masuk kantor seperti biasa, hanya izin tiga hari karena memang ada di luar kota.
Suamiku hebat! Di rumah aku dijadikan babu bagi keluarganya, tapi dia sendiri enak-enakkan entah di mana. Kupandangi diriku dalam cermin. Cantik memang. Cuma terkadang aku malas memakai make up kalau di rumah, soalnya pikirku ribet, toh tidak ke mana-mana.
Apa itu yang menyebabkan Mas Dani berubah? Karena aku jarang dandan? Bau bawang dan sering berkeringat saat kecapekkan membersihkan rumah?
Ah, tapi harusnya itu tak bisa dijadikan alasan. Kalau memang niat selingkuh, walaupun istri cantik juga tetap akan selingkuh. Ini bukan salahku yang tak pernah merawat diri. Dasar aja Mas Dani yang brengs*k
Aku keluar kamar, melihat ke arah dapur, mereka sudah tak ada. Aku segera memesan taksi Online agar dandananku tidak rusak seperti saat naik motor.
Kantor Om Joni memiliki sepuluh lntai. Ruangan Om Joni berada di lantai teratas. Memasuki kantor, aku hendak naik lift dan menuju ruangan Om Joni, karena aku sudah sering ke sini duu sat kakek masih hidup. Tapi tiba-tiba ada yang memegang tangan dan mencegahku.
“Maaf, Mbak siapa ya? Ini lift khusus untuk direksi, kalau tamu silahkan lewat lift yang ini!”
Seorang wanita cantik berpakaian ketat menghentikanku. Mungkin dia front office di depan, aku tak terlalu memperhatikan tadi.
“Maaf, tapi aku harus ketemu Om Joni. Dia pasti sudah menungguku./kamu pergi saja lanjtkan pekerjaanmu!”
Aku berusaha mengabaikannya, tetapi dia malah nyolot padaku
“Memang Mbak ini siapa? Seenaknya aja nyuruh saya! Mbak kalau mau wawancara kerja nunggu di sini aja nanti biar ku panggil in, jangan langsung masuk gitu aja!” cerocos Resepsionis muda itu.
Aku heran kenapa Om Joni memperkerjakan pegawai yang nggak ramah seperti ini. Pedas sekali omongannya. Apalagi sebagai Front office, bisa merusak nanti citra kantor ini.
“Panggil Bela k sini!” pintaku pelan.
“Tidak bisa! Bu Bela sibu. Kalau mau interview isi dulu formnya dan nunggu dipanggil, bukan langsung masuk kayak di terminal!”
Astagfirullah, mulutnya pedas sekali seperti bon cabe level seratus!
Aku mencari kontak Bela, dia adalah HRD di sini, tapi kucari-cari nomornya di gawaiku ternyata tak ada, akhirnya aku memutuskan menghubungi Om Joni.
“Om, turun bentar, Rara nggak bisa masuk! Karyawan Om yang berpakaian seperti di klub malam tak memperbolehkanku naik lift!” ucapku di telepon.
Aku menunggu sambil melihat wajah resepsionis itu yang mulai panik.
Tak berapa lama aku meihat Om Joni keluar dari lift. Kulirik wanita di sampingku, wajahnya sudah pucat pasi.
“Kenapa nggak langsung masuk aja, Ra. Dan kamu! Ia ini keponakanku satu-satunya. Jangan bersikap seperti itu. Atau saya pecat! Segera bilang pada Bela agar menemuiku!” tegas Om Joni pada resepsionis itu.
“Jangan pecat saya, Pak! Saya tulng punggung keluarga!
Bu, saya minta maaf! Saya benar-benar tak tahu, tolong jangan pecat saya!” dia meinta sambil berlutut. Aku menjadi tak enak.
“Iya, nanti aku minta Om agar tak memecatmu. Tapi jangan seperti itu lagi. Siapa pun dia harus wajib kamu hormati, bukan diremehkan seperti tadi.”
Dia terus berterima kasih. Aku pun menyusul Om Joni yang sudah duluan.
Sambil jalan aku menceritakan maksudku datang ke kantor, Om Joni mengizinkan asalkan tidak mengganggu karyawan yang lain. Aku menghubungi gawai Mas Dani padahal aku sudah berada di depan pintu ruangannya.
“Halo, Mas. Kamu lagi ngapain.” Ucapku saat telepon diangkat.
[Lagi meninjau lokasi proyek, Dek. Di sini susah sinyal, nanti aku hubungi lagi ya]
Telepon langsung dimatikan. Aku yang emosi karena jelas-jelas dibohongi langsung membuka pintu ruangannya.
Matanya melotot melihatku di depannya berdiri sambil berkacak pinggang.
“A—apa ka—bar, Dek?” Mas Dani bertanya sambil meneguk ludah.
“Ba—bagaimana bisa kamu sampai sini, Dek?“ Mas Dani sangat terkejut melihat kedatanganku yang tak pernah dia sangka. Selama menikah dengannya aku memang hanya tahu letak gedungnya, tapi belum pernah masuk ke dalam. “Ini yang kamu bilang lagi di proyek, Mas? Masih di luar kota? Apa maksudmu sebenarnya, hah?” aku yang emosi langsung menggebrak meja. Mas Dani yang gelagapan segera membereskan berkas yang berantakan. “Dek, ini Mas masih di kantor, kita bahas di rumah ya. Nanti Mas pasti pulang. Mas cerita in semuanya.” Mas Dani membujukku agar mau pulang. Aku pun sadar, ini masih jam kantor, daripada mempermalukan diri sendiri lebih baik balik saja. aku pulang ke rumah tanpa berpamitan dengan Dani. Saat sampai di depan pintu, aku mendengar Mas Dani menghela napas, pasti ia tak menyangka aku akan memergokinya di sini. Untunglah sat di ruangan itu Mas dani sendirian. Jabatannya yang sebagai manajer membuatnya memiliki ruangan tersendiri di kantor. Ruangan Mas Dani terletak di lantai
Berulang kali kutanyakan kepada Ibu, tapi Ibu selalu berkelit. Begitu pun Mbak Nia. Mereka tetap tak mau mengaku.Baiklah, aku sendiri yang akan mencari tahu nanti.Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Ku hafal suara mesin itu. Mas Dani pulang.Aku membukakan pintu. Mas dani mengulurkan tangannya untuk kucium. Hal yang biasa kulakukan selama ini.“Dek, aku—“Aku tahu Mas Dani langsung ingin menjelaskan masalah tadi, tapi ucapannya dipotong Ibunya “Dani, akhirnya kamu pulang ke sini juga. Ibu sudah menunggu. Lihat ini.” Ibu merongrong Mas Dani yang baru saja pulang kerja. Dia tak menjawab perkataan Ibu yang hendak menunjukkan tiket liburan itu.Ia justru melirik melihatku yang bersedekap di depannya. Aku tahu ini di luar kebiasaanku. Biasanya saat pulang kerja aku akan menyambutnya dengan senyuman dan membawakan tas kerjanya, kopi pun sudah tersedia di meja. Namun sekarang, tatapan tajam yang kuberikan.“Dek ....” Dani justru memanggilku“Dani! Kamu ini, Ibu
“Ka-kamu sudah bangun, Dek?” Mas Dani gugup. Ia takut obrolannya tadi terdengar olehku.Aku tak menggubris. Hanya diam dengan menatapnya tajam.“Iya, baru saja. Kamu kenapa panik gitu, Mas? Ke mana kamu selama ini?” tanyaku. Aku sengaja tak bertanya dulu soal percakapan di telepon tadi, biarlah Mas Dani menganggap kalau aku masih tidur.Mendengar penuturanku, membuat Mas Dani rileks. Perlahan mendekatiku yang masih berbaring di tempat tidur, lalu dia merebahkan dirinya di sampingku.“Mas lagi bangun rumah, Dek!” ucap Mas Dani.“Apa?!” Aku kaget, Apa benar? dari mana ia mempunyai banyak uang untuk membangun rumah?“Rumah untuk siapa, Mas?” Aku curiga jangan-jangan rumah itu untuk keluarganya.“Untuk Ibu lah, Dek. Kasian Ibu gak punya rumah, masa mau tinggal di sini terus,” jawab Mas Dani enteng.Tuh, kan benar. Jadi Mas Dani nggak selingkuh? Lalu telepon tadi? Ah, sepertinya masih banyak yang Mas Dani sembunyikan dariku.“Di mana lokasinya?” tanyaku lagi“Biasa aja, Dek. Yang nannya ko
Satu-satunya orang yang bisa kumintai tolong adalah Om Joni. Aku pun menghubungi saudara kandung Papa itu untuk memastikan apa benar Mas Dani ke kantor hari ini.(Pagi, Om, nanti tolong kabarin Rara kalau Mas Dani ke kantor ya.)Send.Aku mengirim pesan itu ke Om Joni, karena aku tahu ini masih pagi dan mungkin masih sibuk di rumah.Aku mendengar notifikasi pesan dari laptopku. Ternyata ada pesan ke ponsel Mas Dani.(Mas, uda berangkat belum? )Si tanda hati mengirim pesan, tapi Mas Dani belum membalas pesannya.“Ra ... Rara!” Terdengar suara Mbak Nia memanggilku.Aku pun membukakan pintu untuknya, sebelumnya telah kututup laptopku agar tak kelihatan aku sedang menyadap ponsel Mas Dani.“Kenapa, Mbak?” tanyaku melihat Mbak Nia bersedekap di depan pintu kamar.“Malah tanya kenapa, Harusnya aku yang tanya kenapa nggak ada makanan. Aku dan Bang Ken lapar mau makan! Aku pingin makan ayam bakar. Buruan kamu buatin!” suruh Mbak Nia.“Mbak! Memangnya kamu pikir ini restoran? Tinggal minta bu
“Siapa yang akan menikah, Lex?” Rara meletakkan spatulanya.“Belum tahu, Kata Kang Asep tadi ada seorang wanita meminta izin untuk menikah di Vila itu, penghulu dan beberapa saksi juga sudah ada Sepertinya memang sudah lama mereka menyiapkannya.” jelas Alex.Ucapannya membuat Rara tambah tidak fokus.“Bagaimana? Kamu mau ke sana? Atau besok saja? Acaranya besok pagai sepertinya.” lanjut Alex.“Kalau menyetir sendiri lama ya? Atau cari penerbangan ke sana aja yang paling cepat, Lex.” Rara gelisah, dia tak akan tenang sebelum mengetahui kebenarannya.Alex segera mengutak atik laptopnya. “Ada pesawat jam lima sore terakhir. Sampai bandara sana nanti aku akan minta sopir untuk menjemput, tapi ya tetap saja sampai vila sudah sekitar jam sepuluh malam, Ra. Kalau bawa mobil ke sana bisa lebih larut lagi sampainya. Gimana?” tanya Alex.“Tak apa-apa, pesankan saja. Daripada aku di sini bertanya-tanya apa yang terjadi?” kata Rara kemudian.Alex kembali berkutat dengan laptopnya.“Done! Kamu bis
Sekali lagi kudengarkan dengan seksama pembicaraan mertua dan wanita itu. Kali ini tidak ada air mata, yang ada hanya amarah kepada anggota keluarga itu.Baiklah, mereka bersandiwara, aku juga akan bersandiwara. Kita lihat saja, Mas. Siapa yang akan menangis di akhir. Mereka punya rencana, aku pun akan menjalankan rencanaku.Aku menyudahi rekaman yang membuatku sesak itu, tak lupa aku kirimkan kepada Alex sebagai back up barang bukti. Pesan terkirim tak berapa lama Alex langsung menghubungiku. Meskipun ini sudah tengah malam.[Halo Tuan Putri yang lagi galau]“Hentikan! Jangan mengolokku, aku beneran sakit hati tauk! Kamu belum menikah jadi tak tahu bagaimana rasanya di selingkuhi pasangan” moodnya sedang tak ingin diajak bercanda.Alex tak menjawab. Ah, jangan-jangan perkataanku melukai hatinya.“Maafkan aku, bukan maksudku untuk menyinggungmu ... Lex aku mint—“[Hahaha ... kena kamu Ra! Aku mana mungkin marah hanya karena perkataanmu! ]“Kurang aj*r kamu, Lex. Iseng banget, sih!” Ra
Kuusap air mata yang sedari tadi mencoba jatuh menggunakan tisu.“Aku ingin minta bantuan Papa untuk memecatnya bisa?” aku berharap Papa bisa berkata iya.Papa menghela napas.“Susah kalau itu, Nak. Tidak bisa langsung begitu saja. Apalagi tidak ada catatan buruk mengenai dirinya di perusahaan ini, tapi nanti biar Papa suruh orang untuk mengawasi kinerjanya gimana,” tawar Papanya.“Iya, Pah.” Aku pun sadar tak bisa sembarangan memecat karyawan tanpa alasan, Nanti biar kupikirkan lagi caranya. Yang jelas Papa sudah tahu dan jantungnya baik-baik saja.“Kapan kamu ke rumah? Mamamu sudah kangen berat,” tanya Papa.Mendengar pertanyaan Papa, aku bingung. Ingin rasanya aku kembali ke rumah Papa, tapi keenakan mereka menempati rumahku.“Besok kapan-kapan aku akan ke sana, Pa. Tapi tidak sekarang. Sampaikan saja salamku buat Mama. Aku mau pulang dulu. Capek habis dari puncak.”Papa menatap netra mataku. Terlihat mata Papa berkaca-kaca. Aku pun memeluknya erat sebelum berpamitan.Sampai di rum
“Iya, ini aku. Kenapa kamu kayak kaget gitu lihatnya? Tumben kamu jam segini masih tidur?Sarapan juga belum ada di meja, kita pulang lapar nggak ada makanan, kamu masak ya, Dek! Nanti aku mau kenalin seseorang buat kamu,” cerocos Mas Dani. Aku yang masih bangun tidur dan belum konek tiba-tiba tersadar mendengar ucapan terakhir dari Mas Dani. Ya, kalau mereka datang berarti perempuan itu juga datang. Kuatkanlah hatiku ya, Tuhan.Dan apa yang dia bilang tadi? Aku harus memasak dan melayani para benalu tak tahu diri itu? Aku tak sudi.“Aku lagi enggak enak badan, Mas. Habis subuh tadi minum obat, makanya aku tidur lagi,” aku sengaja berbohong. Aku memang sakit. Lebih tepatnya hatiku yang sakit. Lagipula malas rasanya masak untuk orang-orang pengkhianat seperti mereka.“Ya sudah, kita beli dulu saja. Tapi buat nanti siang kamu masak ya, Dek. Kalau beli terus bisa boros nanti,” kata Mas Dani sambil tersenyum. Cuih, aku tak akan bisa kami bodohi, Mas.Lakukan saja apa yang kamu mau, Mas!