“Apa maksudmu ngomong seperti itu?” tanyaku memastikan.“Pasti kamu Cuma becanda kan?” lanjutku lagi.Arya tak menjawab, ia hanya tersenyum saja.“Nanti aku jelaskan. Ayo, aku tunjukkan dimana kamarmu dan kamar anakku," ucap Arya.Aku mengikuti Arya ke belakang.“Ini kamarmu, dan kamar sebelah adalah untuk Zea.” Arya menjelaskan.“Ha? Kita tidak sekamar? Bukannya kita suami istri?” Aku bingung dengan maksud pembagian kamar ini. Kenapa kami seakan tak boleh tidur sekamar? Selama menikah Arya juga tak mau tinggal di rumahku. Ia memilih tinggal di rumahnya sendiri dengan alasan dekat dari kantor.“Ya, kita tidak sekamar. Aku tidak mau tidurku terganggu oleh tangisan Zea ataupun dirimu yang akan bolak-balik terbangun mengurus Zea.Setengah tak percaya aku mendengarnya. Kenapa aku merasa di sini Arya menjadi dingin? Tidak seperti kemarin? Begitu perhatian dan royal.“Satu lagi. Dari pagi sampai sore akan ada baby sitter yang menjaga Zea, jadi kamu bisa fokus dengan tugasmu. Malam harinya b
Ternyata mereka berdua berada di dapur. Sasa menjerang air panas, sepertinya dia hendak membuat kopi untuk suamiku.“Kamu kenapa, Sayang? Kenapa bisa berubah secepat ini? Bukannya dari awal kamu yang ingin menikah denganku? Kenapa sekarang kamu seperti ini?!” Aku berteriak seperti kesetanan. Rasanya justru seperti melihat Sasa dan Arya sebagi pengantin baru, sedangkan aku yang menjadi pembantu.Semuanya seakan seperti mimpi. Bayangan akan menjadi seorang Nyonya seketika sirna melihat perlakuan Arya sekarang kepadaku. Apakah aku tidak pantas bahagia?“Tidak perlu banyak bertanya. Lakukan saja apa yang aku perintahkan. Aku mau pergi mengajak Zea. Kamu bersihkan rumah ini lalu cepat masak. Aku mau setelah pulang, makanan sudah tersedia di meja untukku dan Sasa.” Sasa sudah tak ada di sini, mungkin dia mengambil Zea dari kamarnya. Enak sekali dia bicara! Memangnya dia siapa? Aku bukanlah perempuan lemah yang akan menurut begitu saja. Apalagi ini belum genap sehari aku tinggal di sini seb
Aku menuju ke kamar sebelah, tempat d mana Zea ditidurkan. “Uluh-uluh ... anak Mama haus ya!” Aku menggendong Zea dan menyusuinya. Aku melirik ke arah Sasa yang masih menatapku tajam. Rupanya ia turut mengikutiku ke sini.Tanpa bicara, dia keluar dengan membanting pintu. Dasar Baby siter nggak ada akhlak! Sudah tau aku istri dari majikannya, malah kurang ajar. Sambil menyusui aku terus berpikir bagaimana caranya agar aku bisa melawan mereka berdua di sini. Di sini aku sendirian, tak punya teman ataupun orang yang bisa kumintai tolong. Tidak mungkin aku menghubungi kedua orang tuaku.Baiklah, pertama aku akan menyelidiki seperti apa hubungan Arya dan Baby siter itu. Hmm ... tapi aku harus mulai dari mana? apa aku harus mengalah dulu? Biar mereka tak menaruh curiga kepadaku?Ayo Anggita ... berpikirlah!Saking fokusnya berpikir, aku tak memperhatikan kalau Zea sudah tertidur lelap di pangkuanku, dengan perlahan aku meletakkan Zea ke tempat tidurnya.Kupandangi wajah anakku. Mungkin i
Aku serasa hidup dalam sangkar. Tinggal di rumah mewah tapi hidupku menderita. Semua ini karena aku terlalu silau dengan kekayaan yang dimiliki Arya hingga dengan begitu mudah menerima ajakannya menikah. Tapi sudahlah, nasi telah menjadi bubur.Malam ini aku tidur di kamar Zea. Setelah mendengar pengakuan Arya kemarin, aku memutuskan untuk satu kamar dengan Zea. Karena sekarang fokusku adalah anakku. Aku akan memastikan kalau Arya dan Sasa tidak akan menyakiti anakku!Byur!Aku gelagapan saat ada yang menyiramku dengan air. Setelah sepenuhnya sadar aku melihat seseorang berdiri di samping tempat tidurku.“Sasa! Apa-apaan kamu!” pagi-pagi pelakor ini sudah memancing emosiku“Enak banget kamu jam segini belum bangun! Arya mau sarapan cepat buatin!” dia memerintahku dengan bersedekap. Benar-benar angkuh!“Heh! Memangnya aku pembantumu! Bikin aja sendiri! Sana layani sendiri pacar tersayangmu itu!” sentakku tak mau kalah“Heh, kamu di sini itu Cuma dianggap babu oleh Arya. Jadi jangan ma
Sambil menyusui aku memikirkan Mas Dani dan Rara. Aku ingin menghubungi mereka dan meminta maaf, tapi aku tak memiliki ponsel lagi. Sepertinya aku harus mencari uang untuk memperbaiki ponsel ini, karena tak mungkin Arya akan menggantinya Sungguh miris, di rumah semewah dan semegah ini, aku tak memiliki uang sepeserpun. Bahkan untuk membeli makan pun aku tak ada uang. Aku merasa apa yang dulu terjadi pada Rara dan Mas Dani, kini semua menimpaku, dari dikhianati suami, hingga tak memiliki uang sepeserpun seperti Mas Dani dulu saat pisah dengan Rara. Dulu dengan jahatnya aku mengusirnya, sekarang aku merasakan sendiri.Mas Dani, Mbak Rara, maafkan aku!Mulai sekarang aku harus mulai terbiasa dengan hal-hal baru. Dulu di rumah ada Ibuku yang menyiapkan semuanya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, kerjaan ku hanya Shopping dan bermain Handphone. Sekarang harus aku sendiri yang melakukannya. Pantas saja Ibu memintaku mencari suami kaya, karena Ibu tahu aku tak bisa apa-apa. Harapannya
Pagi ini kegiatanku sehari-hari seperti Ibu rumah tangga pada umumnya. Membersihkan rumah, menyiapkan pakaian suami sebelum berangkat kerja dan memasak sarapan.Mas Dani baru saja keluar dari kamar, dia sudah rapi memakai pakaian yang aku siapkan. Gantengnya suamiku! Tapi tentu saja hanya di dalam hati, takutnya dia geer kalau kuucapkan langsung.“Dek, ada kabar buruk dan ada kabar baik. Kamu mau aku kasih tau yang mana dulu?” kata Mas Dani saat kita mulai duduk untuk sarapan.Namaku Rara, menikah dengan Mas Dani dua tahun yang lalu, kehidupan rumah tangga kami bahagia, walaupun belum ada seorang anak. Mas Dani bekerja menjadi Manager Pemasaran di sebuah perusahaan periklanan, selama ini memberiku jatah lima juta sebulan. Untuk kebutuhan rumah tangga yang belum dikaruniai anak, uang segitu lebih dari cukup. Apalagi aku juga memiliki usaha catering walaupun tidak terlalu besar.“Kabar buruk dulu aja deh, Mas,” ucapku setelah selesei makan.“Oke, denger ya? Kabar buruknya adalah rumah I
Mereka berlaku seenaknya di rumah ini. Kesal sebenarnya, tapi masih bisa kutahan karena menghargai Mas Dani.“Nanti ya, aku izin dulu sama Mas Dani.” Tanpa menunggu jawaban Imron aku segera menuju kamarku. Meninggalkan cucian yang belum selesai.Tampak Ibu mengacak-acak isi lemari. Beberapa baju bahkan berserakan di lantai. Entah apa yang Ibu cari di kamarku.“Ibu! Apa yang Ibu lakukan di kamarku?” Aku shock melihat kamarku berantakan. Baju berserakan di ranjang dan di lantai“Ra, kamu kok nggak bilang sih kalau punya baju bagus-bagus begini? Kamu kan Cuma di rumah aja, jadi baju ini buat Ibu aja ya?” Ibu mengambil beberapa baju dan membawanya keluar kamar, tanpa membereskan kekacauan yang dia lakukan. Aku hanya bisa menangis saking kesalnya.Malam hari Mas Dani pulang, seharian itu pula kerjaan mereka hanya berdiam di dalam kamar, termasuk Ibu mertua. Aku lantas menceritakan semua kejadian hari itu kepada Mas Dani.Mas Dani menyimak curhatanku soal keluarganya yang baru saja datang d
Sampai malam pun dapur tetap tak di sentuh oleh mereka. Mau tak mau aku yang membersihkan semuanya. Mereka semua benalu tak tahu malu. Sudah numpang, masih merepotkan pemilik rumah. Kalau bukan keluarga Mas Dani sudah kuusir mereka dari dulu. Belum selesai aku membersihkan aku mendengar ponselku bergetar. Drrt ... Drrt ... Drrt .... Gawaiku bergetar lagi. Aku masih mengabaikannya. Meneruskan menyapu dan mengepel lantai. Hanya melihat sekejap untuk mengetahui diapa yang menghubungi. Panggilan dari Mas Dani. Tak lama kemudian di menghubungi kembali. Karena risih dia menelepon terus, kuangkat saja lah, daripada nanti dia ngomel. “Assalamualaikum. Halo, Mas.” [Waalaikum salam. Dek, kok Mbak Nia chat Mas, katanya kamu marahi dia ya? Tumben. Memangnya Apa sih yang sebenarnya terjadi?] Sudah kuduga Mbak Nia akan mengadu kepada Mas Dani. Selama ini memang seperti itu. Tak hanya Mbak Nia, tetapi Ibu pun sama. Kalau ada yang tidak pas dengan keinginan mereka, pasti akan laporan ke Mas Dan