Setelah selesai makan, sengaja ku buang bekas bungkusan dari makanan yang sudah kuhabiskan ke dalam tong sampah didapur. Berharap setelah ibu mertua melihatnya darah tingginya langsung kumat dan langsung dibawa ke rumah sakit. Itu caraku mengusirnya secara halus. Jika tidak mempan juga, aku akan gunakan cara kasar. Tapi sepertinya aku ingin bermain-main dengan keluarga benalu ini sebentar lagi. Biar mereka tersiksa sama tersiksanya sepertiku selama setahun tinggal bersama mereka.
3 Langkah...
2 Langkah...
1 Langkah...
"Dasar menantu kurangajar, makan sendiri enak-enak. Buat suami dan mertua cuma sayur sisa tadi pagi!" belum juga langkahku berhasil keluar dari dapur sudah mendapat omelan dari ibu mertua. Senyumku mengembang melihat ekspresi wajah marahnya. Imut sekali!
"Bersyukur saja deh, Bu. Dapat makanan geratis. Dari pada tak makan." balasku santai. Dulu aku tak berani sekasar ini dengannya, namun makin lama sikapnya padaku makin semena-mena.
"Aku nggak butuh sayur sisa!" Ibu mertuaku mengambil sayur matang yang ada di wajan kemudian membuang dalam tong sampah. Tak lupa juga membuang nasi yang ada dalam megiccom juga. Waow!
"Kenapa baru marah sekarang, Bu? Biasanya juga setiap hari selalu makan sayur sisa tadi pagi kalau makan siang."
Ibu mertuaku makin mendelik mendengar ucapanku.
"Ada apa sih, Bu! berisik banget. Aku tuh cape, mau istirahat!" tiba-tiba suamiku datang ke dapur karena mendengar keributan kami.
"Ini ibumu, Mas. Dia buang sayuran dan nasi sisa tadi pagi ke tong sampah. Makan apa coba kalian kalau tak ada sayur ini. Mana tenagamu habis karena habis bercinta dengan gundikmu tadi. Pasti kamu lapar baget kan. Kamu butuh kalori untuk mengembalikan tenagamu yang banyak terbuang tadi kan?"
"Ya ampun, Bu. Kenapa ibu buang? Kita makan siang apa sekarang?"
Suamiku mengusap wajahnya secara kasar. Frustasi.
"Minta saja uang sama istrimu. Dia tadi pamer uang 6juta sama ibu. Dia baru gajian. Uang istrimu kan uangmu juga!" ucap ibu mertuaku, hilang urat malunya kalau sudah membicarakan soal uang. Terlihat Mas Putra ikut mendelik mendengar nominal yang ibu sebutkan tadi.
"Apa tadi ibu bilang? uangku adalah uang Mas Putra juga? Enak saja! suruh anak ibu kerja kalau pingin punya uang!" sindirku, makin membuat mata ibu mertuaku mendelik.
"Sudah tidak boleh diharapkan istrimu ini, Put. Ibu benar-benar sudah muak sama tingkahnya."
"Sama, Bu. Aku juga sudah sangat muak dengan kalian semua. Kita kan sudah sama-sama muak, gimana kalau ibu langsung pergi saja dari rumahku. Dari pada nanti darah tinggi ibu kumat kalau lihat menantu kurangajarmu ini setiap hari."
"Kau!" ibu kembali ingin menamparku, namun teriakan suamiku membuat tangannya menggantung diudara.
"Cukup, Bu. Sudahlah jangan berantem terus sama Abel."
Tumben mas Putra kali ini membelaku. Mungkinkah dia pikir dengan membelaku kali ini akan mendapat maaf dariku? Jangan mimpi!
"Bela terus, istrimu. Mulai jadi anak durhaka kamu, ya. Put!"
"Jangan salah paham sama anak lelaki kesayangan ibu. Dia bela aku cuma karena ada maunya, kok!" ucapku meledek sebelum pergi tanpa permisi meninggalkan dua benalu itu.
"Pokoknya ibu gak mau tahu. Kamu harus cepat nikahin Dita biar kita bisa bales perbuatan menantu kurangajar itu!"
Suara repetan ibu mertuaku masih terdengar sebelum aku masuk dalam kamar. Kubiarkan dia terus mengomel, toh dia juga yang rugi membuang tenaga untuk hal tak penting. Aku yakin setelah bahan bakarnya habis, dia akan kelabakan karena kelaparan. Stok barang didapur semua habis, ini pasti satu ujian paling berat untuk mereka.
"Bel, buka pintunya!"
Belum genap satu jam aku tidur siang, pintu kamarku terus diketuk oleh mas Putra. Mau apa lagi dia?
"Bel, bukalah pintunya sayang!"
Aku tak bergeming. Segera ku sumbat telingaku dengan bantal agar suara mas Putra tak mengganggu tidurku lagi.
"Bel, aku lapar. Minta uangnya buat beli makan."
Aku biarkan mas Putra terus menggedor pintu. Dari pada ngurusin dia, mendingan aku melanjutkan tidur siangku. Telinganya sangat tebal, sudah berungkali aku katakan tak mau lagi memberinya uang sepeserpun masih saja minta-minta seperti pengemis.
Menit berlalu. Suara gedoran tak terdengar lagi. Akhirnya Mas Putra menyerah juga. Bersamaan dengan itu, suara adzan Azhar berkumandang, aku bangkit ingin melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Saat kubuka pintu kamar, ku cium bau mie instan dari arah dapur. Akhirnya mereka bisa makan juga tanpa uang pemberianku. Kalau dari dulu aku tegas seperti ini, mungkin suamiku bisa lebih mandiri.
Aku keluar kamar bukan sengaja untuk menertawakan mereka. Aku ingin berwudhu. Kebetulan kamar mandi tepat ada disebelah dapur. Aku harus melewati mereka didapur. Malas sekali.
"Kau lihat mantu kurangajar! jam segini kami baru makan siang. Itupun dengan mie instan saja!" teriak ibu mertuaku sambil mengaduk-aduk mi instan yang sedang di masaknya.
"Kok jadi nyalahin aku sih, Bu! Bukannya ibu sendiri yang sudah membuang semua makanan." ucapku sambil menahan geram. Lagi-lagi aku mencoba tidak terpancing. Untuk saat ini mentalku lebih penting dari apapun juga, aku tak mau terlalu stres karena bisa membahayakan janin dalam kandunganku.
"Mestilah ku buang. Baru gajian kok ngasih kami makanan sisa. Pelit!"
Aku mengambil nafas dalam-dalam agar tak kembali terpancing. Ingat tujuan awal kalau aku hanya ingin berwudhu, bukan meladeni nenek sihir itu bertengkar.
"Hey, mau kemana kamu. Mertua belum selesai ngomong malah pergi!"
Aku terus masuk dalam kamar mandi, tak lagi menggubris teriakan ibu mertuaku. Keluar dari kamar mandi, aku sudah dihadang oleh adik iparku. Dia masih pelajar SMA tapi kelakuannya tak kalah sangar dari ibunya.
"Mbak Abel!" panggil Citra, adik iparku.
"Herm!" jawabku singkat.
"Nanti malam temen-temenku ngajak aku nonton ke bioskop. Minta duitnya dong!" rengeknya manja.
"Citra. Bukannya Mbak enggak mau ngasih. Tapi duit Mbak mau buat kebutuhan lain. Coba minta sama Masmu, siapa tahu dia punya."
"Mas Putra mana punya, Mbak. Sekarang kok mbak jadi pelit sih. Pantes saja kakakku lebih milih wanita lain dari pada kamu!"
Ternyata Citra pun tahu perselingkuhan kakaknya selama ini. Jadi cuma aku yang tak tahu, aku dibohongi oleh keluarga ini seperti orang tolol.
"Kenapa kamu enggak minta sama calon kakak iparmu saja. Katanya dia kaya." aku kembalikan ucapan adik iparku yang kurangajar itu. Raut wajah marahnya tak kalah bengis dari wajah ibunya tadi.
"Mbak Abel sudah mulai cerewet. Sudah enggak asik!" ucapnya sambil berlalu pergi. Kembali ku elus dadaku menghadapi gadis belia itu.
Di ruang makan kulihat suami dan ibu mertua lahap sekali makan mie instan. Mereka benar-benar sangat kelaparan. Sampai-sampai tak menyadari aku lewat di belakang mereka. Aku tersenyum miris melihat nasib mereka sekarang.
'Makanya Mas. Jangan nekad jadi orang!Cari makan untuk sendiri saja saja tak becus malah sok-sokan mau poligami. Mas Putra...Mas Putra...!' batinku sambil menahan tawa.
"Bel!" suara Mas Putra menghentikan langkahku, ku pikir ia tak menyadari langkahku yang lewat di belakang mereka.
"Tadi Mas utang mie instan diwarung. Tolong besok kamu bayarin ya!"
Mataku membola mendengar ucapan suamiku. Ku pikir dia beli mie instan dengan uangnya sendiri. Tapi ya sudahlah, aku tak mau menyahut ucapannya. Aku mau solat, tak mau mengulur waktu lagi dengan bertengkar.
"Bel. Kok diam saja! Karena sekarang kamu pelit enggak mau kasih uang ke kami, kami akan bon diwarung Bu Rina. Kami utang atas namamu. Jadi jangan lupa bayar ya!" ucap Mas Putra lagi. Astaga, ada saja cara Mas Putra menggerogoti uangku.
"Nanti aku jelasin lagi sama Bu Rina kalau bukan aku yang nyuruh kalian utang. Jadi aku enggak perlu bayar utang-utang kalian." jawabku tak mau berbelit.
"Kau mau buat malu keluarga? kau mau njatuhin nama baik suamimu sendiri?" Ibu mertuaku melotot sambil menghentikan suapannya.
"Kenapa aku harus malu. Sebentar lagi kalian bukan apa-apaku." jawabku sambil berlalu.
"Bel..! tunggu Bel...!" Mas Putra mengejarku, tapi langkahku lebih dulu berhasil masuk ke dalam kamar. Kemudian mengunci pintu.
"Aku enggak akan keluar dari rumah ini sampai kapanpun. Kau takan bisa mengusirku! Aku tak mau cerai denganmu!" ucapnya sambil menggedor pintu. Aku tak mempedulikan teriakannya lagi. Ku telepon sahabatku Sisil, untuk menemaniku ke pengadilan Agama esok. Aku akan izin kerja besok untuk mendaftarkan perceraianku. Aku sudah mantap bercerai. Aku sudah tak tahan dengan keluarga benalu ini. Sepulang menggugat cerai, aku akan keluar dari rumah ini. Biar ku jual saja rumah warisan dari orangtuaku. Karena itu satu-satunya cara untuk bisa mengusir para benalu itu.
Keesokan paginya aku sudah bersiap. Sisil bilang, akan menjemputku. Dia menyuruhku membawa barang-barangku pagi ini juga, tak perlu menunggu pulang dari pengadilan Agama.Demi aku, Sisil dan suaminya izin tak berangkat kerja. Sahabatku itu sangat baik padaku. Sudah sejak lama dia menasehatiku untuk keluar dari rumah ini namun aku bandel. Untuk sementara dia juga melarangku mengontrak rumah. Karena dia takut keluarga benalu ini akan menggangguku di kontrakan. Aku menurut untuk tinggal dirumahnya untuk sementara waktu.[Bel, aku sudah ada didepan rumahmu!] ucap Sisil lewat panggilan telepon.[Ok, aku keluar sekarang!][Aku bantu angkat barang-barangmu, ya!] ucap Sisil.[Tidak perlu. Aku cuma bawa baju seperlunya saja, kok] balasku, kemudian mematikan telepon.Ku edarkan pandanganku ke setiap sudut ruangan kamarku. Banyak sekali kenanganku di kamar ini. Jujur aku sangat tak tega menjual rumah peninggalan orangtuaku ini. Banyak sekali kenanganku bersama mereka. Mataku basah saat sadar aku
Pov Ibu MertuaNamaku Tuminah. Orang di kampungku kebanyakan memanggil aku Situm. Aku seorang janda beranak dua yang ditinggal menikah lagi oleh suamiku sejak anak Pertamaku 'Putra' masih berumur 10tahun.Menjadi Janda tak punya rumah dan tak punya penghasilan tetap, membuatku sangat tersiksa saat itu. Aku selalu hidup berpindah-pindah tempat, numpang rumah dan numpang makan mengharap belas kasihan saudara-sauadaraku. Tak jarang aku akan berkelahi dengan pemilik rumah karena mereka cerewet sekali yang protes bajuku numpuk belum dicucilah, kamar yang aku tempati berantakanlah. Beginilah nasib orang yang numpang, selalu disalahkan dan tidak bisa hidup bebas. Aku benci kehidupan yang seperti ini.Saat Putra mulai dewasa ku paksa dia kerja. Namun susah sekali membujuknya merantau. Aku sudah sangat risih melihatnya menganggur, pergi ngluyur tidak jelas bersama teman-temannya. Bahkan dia sering pulang dalam keadaan mabuk.Karena ulah Putra yang sering pulang mabuk, kami diusir oleh keluarga
Pov PutraTok...tok...tok...Suara ketukan pintu terdengar, aku enggan beranjak dari tempat tidur. Dita sangat liar di ranjang membuatku cukup kewalahan. Aku cape, aku ingin istirahat. Hanya dengan melayani Dita aku berharap bisa mendapatkan semua yang ku inginkan. Wanita haus sentuhan itu pasti akan memberikan semua hartanya untukku pelan-pelan.Dita bangkit memakai bajunya kemudian membuka pintu kamar."Iya, Bu. Ada apa?" suara lembut Dita terdengar menyapa ibuku."Ibu cuma mau minta uang. Stok makanan didapur habis semua.""Owh uang, ya? Aku jarang bawa uang cash, Bu. Soalnya orang kaya sepertiku selalu bawanya kredit card kemana-mana. Aku nggak suka bawa uang cash karena takut kerampokan."Jawaban Dita membuatku terbelalak kaget. Rasa kantukku jadi hilang. Bisa-bisanya setelah kupuaskan dia malah pelit banget sama ibuku. Nggak ada niatan sema sekali dia balas budiku. Awas kamu, Dita!"Masa uang 100ribu pun tak ada?" Ibuku masih memaksanya memberikan uang. Kasihan ibuku, dia pasti
Pov Author"Mas, Putra!"Suara teriakan Dita seakan menimbulkan gempa bumi di rumah yang keluarga benalu itu tempati. Putra enggan beranjak dari tempatnya, dia tahu kesalahannya yang telah mencuri perhiasan milik istri barunya."Mas Putra!"Suara Dita makin keras, membuat emosi sang mertua."Kenapa diam saja. Istrimu panggil itu. Sakit telinga ibu mendengar teriakannya. Baru sehari jadi istrimu tapi sudah berani-beraninya teriak-teriak seperti itu. Harusnya yang boleh teriak cuma ibu. Ibu yang paling berhak dirumah ini, bukan anak ingusan itu!"Kepala Putra makin mau pecah mendengar repetan ibunya."Dita pasti sudah tau perhiasannya aku curi, Bu. Gimana ini?""Owh, kamu tak menyahut panggilannya karena takut dia marah. Tadi gaya-gayaan mau rampok rumahnya, sekarang baru denger teriakannya saja nyalimu sudah ciut seperti ini. Geli ibu lihat tingkahmu! kamu lelaki mental kerupuk!" oceh Situm."Bukan aku takut dia marah, Bu. Tapi kita kan masih butuhin dia. Pelit-pelit gitu dia masih ada
Pov Abel"Kamu yakin akan menjual rumahmu? kamu tak sayang, rumah itu kan satu-satunya kenanganmu bersama orangtuamu?" tanya Sisil ketika kami makan siang bersama di rumahnya. Sisil kurang setuju jika aku harus menjual rumah peninggalan orangtuaku."Tidak ada cara lain untuk membuat para benalu itu keluar rumah, Sil. Meskipun nantinya aku berhasil mengusir mereka, mereka akan tetap kembali jika tahu aku yang masih memiliki rumah itu." jawabku frustasi."Kamu tak perlu menjualnya, Bel. Kamu kontrakin saja rumah itu pada orang lain. Nanti para benalu itu pikir pasti kamu sudah menjualnya dan enggak akan pernah berani datang lagi ke rumah itu." Mas Heru ikut menyahut obrolan kami."Tapi bagaimana caranya aku mengusir mereka. Mereka terlalu bandel dan keras kepala. Bukan sekali dua kali aku usir mereka, sudah puluhan kali. Tapi enggak mempan sama sekali.""Kamu percayakan saja semua urusan itu padaku kali ini, Bel. Aku akan menyewa pereman untuk mengusir para benalu itu." ucap Mas Heru ke
Pov HeruSudah hampir maghrib, keributan terjadi di depan rumah. Aku, istriku dan Abel sudah bisa menebak siapa yang datang. Satu jam lalu aku menyuruh pereman mengusir para benalu dirumah Abel. Agaknya mereka tak terima kemudian langsung menuju ke rumahku.Sesuai dugaan, yang datang benar-benar ibu mertua Abel. Tapi perempuan yang bersamanya tak kusangka ikut muncul di depan pagar rumahku. Kenapa bisa dia ada bersama mertua Abel? Apa dia pelakor yang diceritakan Abel, hingga Abel memilih keluar dari rumahnya?"Mas Heru?""Dita?"Keributan tertunda karena semua mata fokus padaku dan Dita. Seolah meminta penjelasan padaku kenapa bisa aku mengenal perempuan bernama Dita itu."Siapa wanita itu? kenapa kamu mengenalnya, Mas?" Sisil mulai menodongku dengan sebuah pertanyaan yang membuatku gugup."Dia anak salah satu peminjam dikoprasi milik, Mas." jawabku lancar. Untunglah istriku percaya begitu saja."Owh, gitu. Kirain siapa tadi.""Kamu masuk sekarang, ya. Bawa Abel kedalam. Orang hamil
Pov AbelSudah sebulan lamanya aku tinggal dirumah Sisil. Berbagai alasan aku gunakan untuk bisa keluar dari rumahnya. Namun hasilnya nihil, baik Sisil maupun suaminya tak mengijinkanku keluar dari rumah mereka. Aku akan mencari cara lagi agar bisa keluar dari rumah sahabatku ini. Perlakuan Sisil sangat baik padaku. Bahkan tiap hari dia menyuruh pembantunya untuk menyiapkan makanan sesuai seleraku. Bukan seleranya.Suatu ketika Sisil disuruh lembur oleh atasan kami. Karena kandunganku mulai membesar aku tidak disuruh ikut lembur. Malas sekali rasanya pulang tanpa Sisil karena dirumah akan bertemu dengan Mas Heru. Perhatian dia yang berlebihan membuatku sangat risih. Meski aku tahu dia takan berbuat macam-macam padaku karena aku tengah hamil besar tetap saja aku tak suka caranya memperlakukanku."Sil, aku tak langsung pulang kerumah, aku mau mampir dulu ke sepurmarket. Mau beli barang-barang kebutuhanku." pamitku pada Sisil ketika jam kerjaku habis. Itu satu-satunya caraku menghindar
Pov AuthorDengan penuh keterpaksaan, Dita nekad menunggu Heru disekitar rumah Heru. Jika menemui lelaki itu dikantornya, dia yakin akan berurusan dengan pereman-pereman suruhan lelaki itu lagi. Kali ini Dita terpaksa datang sendirian, karena desakan mertua dan suaminya untuk mendapatkan uang. Sedangkan suami penganggurannya beserta keluarganya ongkang kaki tinggal terima beresnya saja.Pukul empat sore, mobil Heru masuk dalam rumah, saat satpam rumah itu lengah belum sempat menutup pintu pagar, Dita berlari menyelonong masuk ke dalam pagar rumah itu. Heru yang baru turun dari mobilnya terkejut melihat Dita nekad berbuat seperti itu."Mas, Heru! tolong aku Mas, aku mohon!"Dita memeluk kaki Heru. Heru panik, ada Abel dalam rumah itu. Dia tak mau semua kebusukannya terbongkar sekarang."Apa yang kau lakukan? kenapa berani datang kerumah ini setelah kemarin berjanji takan menggangguku lagi?""Rumah kontrakan kami terbakar, Mas. Cek nya pun ikut terbakar. Sekarang kita tak tahu mau tingg