Share

Pernikahan Putra Dan Dita

Keesokan paginya aku sudah bersiap. Sisil bilang, akan menjemputku. Dia menyuruhku membawa barang-barangku pagi ini juga, tak perlu menunggu pulang dari pengadilan Agama.

Demi aku, Sisil dan suaminya izin tak berangkat kerja. Sahabatku itu sangat baik padaku. Sudah sejak lama dia menasehatiku untuk keluar dari rumah ini namun aku bandel. Untuk sementara dia juga melarangku mengontrak rumah. Karena dia takut keluarga benalu ini akan menggangguku di kontrakan. Aku menurut untuk tinggal dirumahnya untuk sementara waktu.

[Bel, aku sudah ada didepan rumahmu!] ucap Sisil lewat panggilan telepon.

[Ok, aku keluar sekarang!]

[Aku bantu angkat barang-barangmu, ya!] ucap Sisil.

[Tidak perlu. Aku cuma bawa baju seperlunya saja, kok] balasku, kemudian mematikan telepon.

Ku edarkan pandanganku ke setiap sudut ruangan kamarku. Banyak sekali kenanganku di kamar ini. Jujur aku sangat tak tega menjual rumah peninggalan orangtuaku ini. Banyak sekali kenanganku bersama mereka. Mataku basah saat sadar aku telah kalah, kalah dari para benalu. Harusnya mereka yang keluar, bukan aku!

Kembali menguatkan diri untuk melangkah, aku tinggalkan semua kenangan tentang rumah ini. Aku tidak boleh ragu, tidak ada cara lain untuk mengusir mereka semua dari sini. Mereka orang yang sangat tebal muka dan tak tau malu.

Ceklek

Ku putar handle pintu. Aku terkejut bukan main melihat tiga benalu sudah ada di depan kamar. Apa mereka sudah tahu rencanaku pergi dari rumah ini?

"Benar kataku, kan. Mobil di depan sana mau jemput Mbak Abel!" ucap adik iparku. Kenapa dia tak sekolah hari ini? dan bukankah biasanya Mas Putra dan Ibu mertuaku juga masih tidur jam segini?

"Kau mau kabur dari sini?" tanya ibu mertuaku sambil melotot.

"Kabur? kenapa aku harus kabur dari rumahku sendiri?" balasku tak kalah bengis dari ibu mertuaku.

"Lalu baju-bajumu dalam koper itu, kemana akan kau bawa?" tanyanya lagi.

"Karena kalian tak mau keluar dari rumah ini, jadi aku yang mengalah keluar."

"Jadi kau memberikan rumah ini pada kami? kau serius?" mata ibu mertuaku berbinar jika sudah membicarakan soal uang ataupun harta. Ini membuatku terkekeh di tengah amarahku.

"Siapa bilang aku kasih ke kalian? Aku cuma mau kalian punya malu dan angkat kaki setelah ku tinggalkan."

Aku sengaja tak memberitahu mereka niatku menjual rumah ini. Ini akan kujadikan kejutan terindah untuk mereka.

"Kami tetap tidak akan pergi dari sini meskipun kamu tak ada disini. Kami tak mengusirmu, salahmu sendiri kenapa tak mau tinggal disini. Jadi mulai sekarang rumah ini jadi milik kami."

Aku tersenyum miris melihat kebodohan ibu mertuaku. Memangnya segampang itu mengaku-ngaku rumah ini miliknya sedangkan sertifikat rumah ini ada di tanganku.

"Terserah apa yang ibu pikirkan. Sekarang minggir, beri aku jalan keluar!"

"Bel, enggak bisakah kita bicarakan baik-baik masalah ini? aku tak mau kau keluar dari rumah kita."

Rumah kita? astaga, suamiku sudah ketularan kebodohan ibu mertuaku.

"Bicara soal apalagi? kau mau berubah? kau mau bekerja? dan kau mau meninggalkan wanita pelakor itu?" ucapku sekedar memancing reaksi suamiku. Aku tak sudi memaafkannya. Hanya saja aku penasaran apa jawaban yang keluar dari mulut lelaki parasit itu.

"Kau tau sendiri, aku tidak suka bekerja. Dan soal Dita, dia akan jadi ladang uang kita.   Nanti kau akan hidup enak. Biar Ayah Dita saja yang kerja kasih duit untuk kita sekeluarga. Kita semua akan hidup bahagia."

"Mas Putra...Mas Putra...! Kau menjijikan sekali. Dalam kepalamu selalu memikirkan uang yang bukan milikmu. Kamu pikir aku tergiur dengan tawaranmu. Najis!"

"Kau sudah tak bisa diajak bicara baik-baik, Bel. Jangan salahkan aku jika kali ini aku kasar!" Mas Putra memberi kode pada Ibu dan adiknya. Mereka berdua kemudian memegang tanganku. Aku berteriak karena Mas Putra mulai membuka koperku mencari sertifikat rumahku atau apapun barang berharga yang bisa di tukarnya menjadi uang.

"Sisil... Mas Heru...tolong...!"

Karena teriakanku, Sisil dan suaminya ingin masuk. Namun sayang pintu terkunci dari dalam. Mas Heru segera bertindak cepat dengan mendobrak pintu masuk rumahku.

"Apa yang kalian lakukan pada, Abel?" Sisil menarik mertuaku kemudian mendorongnya sampai dia terjatuh ke lantai Mertuaku bangkit kemudian menyerang Sisil. Saat Sisil dan mertuaku sedang saling jambak, adik iparku menarik hand bag ku dan segera kabur. Aku tidak bisa mengejar gadis kecil itu karena takut terjadi apa-apa dengan kandunganku.

Mas Heru pun tak bisa mengejar adik iparku karena dia fokus menghajar suamiku yang awalnya sedang mengacak-acak isi koperku. Tak berapa lama kemudian Mas Putra sudah tergeletak lemah di lantai karena pukulan suami Sisil. Ibu mertuaku juga sudah menyerah karena tak sanggup melawan tenaga Sisil.

"Hand bag mu? kenapa tak kau kejar adik iparmu?" tanya Sisil marah ke arahku.

Ibu mertuaku tersenyum ditengah kekalahannya. Mungkin dia sedang membayangkan uang enam juta kini menjadi miliknya.

"Sudah, biarin saja! kita pergi dari sini saja." ajakku pada Sisil.

"Tapi, Bel. Barangmu yang ada dalam hand bag mu gimana? uangmu juga pasti kau letakan didalam sana kan?"

"Sudah. Kita sedekahkan saja hand bag itu beserta isinya buat para belalu ini." ucapku mencoba bersikap santai.

"Kau gila, Bel! kau bodoh atau gimana!" teriak Sisil makin marah padaku.

"Sudah, Sil. Biarkan saja. Kita pergi dulu dari sini, nanti aku ceritain." bisikku pada sahabatku itu.

"Bel, jangan pergi! Mas enggak mau kehilanganmu! Mas cinta sama kamu!"

Setelah apa yang dia lakukan barusan, dia masih bisa bilang cinta. Lelaki tak tahu malu.

"Kalau kamu enggak mau aku pergi dari sini. Kalian yang harus pergi!"

Suamiku terdiam. Darah menetes dari lubang hidungnya. Suami Sisil menghajarnya sampai babak belur seperti ini. Rasakan!

"Sudah jangan buang waktu. Dia enggak mungkin mau pergi dari sini!" sindir Sisil kemudian menarikku pergi.

"Bel..!" panggil suamiku lagi dengan keras. Aku tak menggubrisnya dan meneruskan langkahku menuju mobil milik Sisil.

"Bel!" Mas Putra mengejarku, namun aku sudah ada didalam mobil.

"Bel! tolong jangan pergi!" ucap Mas Putra sambil mengetuk kaca mobil.

Aku menunduk. Air mataku kembali keluar. Bukan menangis karena kasihan pada suamiku. Aku hanya menangisi nasib malangku saja.

"Mas, cepat jalan!" perintahku pada Mas Heru. Mobil sudah melaju dan Mas Putra hanya menatap kepergiaanku dengan tatapan pasrah. Aku tidak boleh kasihan padanya. Dia lelaki jahat!

"Kau Bel! kau punya paket kebodohan lengkap. Kenapa kau biarkan adik iparmu membawa handbag milikmu!" geram Sisil di tengah perjalanan kami. Aku yang tadinya menangis berubah tertawa melihat ekspresi kesalnya.

"Itu tas kosong. Dompet dan ponsel aku letakan dalam saku dasterku." kekehku.

"Wah, temanku ini. Sejak kapan otaknya bisa berpikir normal. Biasanya bodoh bin tolol. Sekarang kok beda!" goda Sisil.

"Aku sudah jaga-jaga dari awal. Aku tahu keluarga benalu itu akan melakukan segala cara untuk mencuri uangku. Yang aku takutkan tadi hanya soal sertifikat rumahku yang ku letakan dalam koper. Aku benar-benar ketakutan, takut mereka berhasil mencurinya."

"Ini sebuah pelajaran bagi kamu. Kalau kejahatan suamimu dan keluarganya tidak bisa disepelekan. Kau harus ekstra hati-hati mulai sekarang." ucap suami Sisil menasehati.

"Iya, Mas. Aku tidak akan keluar rumah sendirian. Aku benar-benar takut mereka menyerangku kembali diluar."

"Tenang, Bel. Kita akan selalu bersama. Aku takan membiarkan keluarga benalu itu menyakitimu lagi." Sisil memelukku, aku merasa sangat beruntung mempunyai sahabat seperti dia.

****

Setelah mengisi formulir pendaftaran perceraian di pengadilan agama, aku kembali pulang. Tapi kali ini langsung pulang ke rumah Sisil. Rasa sedih dan merasa asing meski di rumah sahabatku sendiri ku rasakan. Aku ingin sekali mengontrak rumah sendiri, hanya saja aku takut dengan gangguan keluarga benalu itu lagi.

Keesokan paginya, ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dari mbak Lia, tetangga sebelah rumahku. Dia mengabarkan bahwa sekarang Mas Putra sedang melakukan ijab kabul dirumahku.

Aku membenci Mas Putra, aku jijik dengannya. Namun entah kenapa perasaan sakit dan terluka tetap ku rasakan.

Harusnya aku senang karena bisa terbebas dari keluarga benalu itu. Tapi hati ini kenapa lemah sekali. Membayangkan bayiku lahir tanpa seorang Ayah membuat air mataku tak mau berhenti menetes.

"Cukup, Abel. Jangan tangisi lelaki biadab itu! kau bisa hidup bahagia tanpanya. Kau pesti bisa!" lirihku menyemangati diriku sendiri. Ku usap kembali airmataku, berusaha tegar dan berjanji pada diri sendiri bahwa tidak ada satu tetespun airmataku yang akan keluar lagi karena lelaki itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status