Share

Lima Lelaki Berbadan Kekar

Pov Author

"Mas, Putra!"

Suara teriakan Dita seakan menimbulkan gempa bumi di rumah yang keluarga benalu itu tempati. Putra enggan beranjak dari tempatnya, dia tahu kesalahannya yang telah mencuri perhiasan milik istri barunya.

"Mas Putra!"

Suara Dita makin keras, membuat emosi sang mertua.

"Kenapa diam saja. Istrimu panggil itu. Sakit telinga ibu mendengar teriakannya. Baru sehari jadi istrimu tapi sudah berani-beraninya teriak-teriak seperti itu. Harusnya yang boleh teriak cuma ibu. Ibu yang paling berhak dirumah ini, bukan anak ingusan itu!"

Kepala Putra makin mau pecah mendengar repetan ibunya.

"Dita pasti sudah tau perhiasannya aku curi, Bu. Gimana ini?"

"Owh, kamu tak menyahut panggilannya karena takut dia marah. Tadi gaya-gayaan mau rampok rumahnya, sekarang baru denger teriakannya saja nyalimu sudah ciut seperti ini. Geli ibu lihat tingkahmu! kamu lelaki mental kerupuk!" oceh Situm.

"Bukan aku takut dia marah, Bu. Tapi kita kan masih butuhin dia. Pelit-pelit gitu dia masih ada gunanya juga."

"Iya juga sih, sudah kamu selesaikan sana. Ibu kebetulan juga lagi males ribut. Ibu mau ke warung, mau bayar utang."

Situm hendak melarikan diri, dia tak mau terlibat pertengkaran anak dan menantu barunya. Bukan itu saja, dia juga ingin menyelamatkan uang yang baru saja di rampasnya dari tangan putranya.

"Kok ibu malah kabur. Uangnya kan ada ditangan ibu semua, ikut tanggung jawab dong!"

Putra mencoba menghentikan ibunya yang hendak melangkah pergi.

"Nanti kalau ibu yang maju malah keadaan tambah runyam, istrimu bisa kabur kalau ibu sudah tidak bisa mengendalikan diri. Kamu mau ditinggal sama istrimu lagi?"

Putra menggeleng cemas.

"Enggak! Aku masih belum menikmati harta Dita yang banyak itu, jadi aku belum mau kehilangan dia." ucap Putra frustasi.

"Mas Putra dipanggil kok diam saja dari tadi. Kenapa, diam disini. Takut?"

Putra terkejut melihat istrinya tiba-tiba muncul dan mendekat kearahnya.

"Bukan gitu, sayang. Mas lagi ngobrol sama ibu tadi. Nggak sopan kalau langsung nyelonong pergi." ucap Putra beralaskan.

"Ngobrolin apa? ngobrolin tentang perhiasan yang berhasil kamu curi?" dua tanduk keluar dari kepala Dita. Putra bergidik ngeri. Abel meskipun sering kehilangan uangnya tak pernah sekasar Dita memperlakukannya selama ini.

"Perhiasan apa yang hilang? Apa yang sering kamu pakai itu?" tanya ibu mertua Dita pura-pura tak tahu.

"Jangan pura-pura deh, Bu! kalian berdua sekongkol kan nyuri perhiasanku?.

"Sekongkol apa? kamu nih asal tuduh! Dahlah, ibu lagi malas berantem, Ibu mau pergi ke warung saja!" ucap ibu mertua Dita sambil melangkah pergi.

"Stop! siapa yang ngijinin ibu pergi?" teriak Dita sambil melototi mertuanya.

"Dasar menantu kurangajar! baru sehari tinggal di rumah ini sudah berani-beraninya neriakin dan melototin ibu seperti itu!" kesabaran ibu mertua Dita terlihat mulai habis.

"Dita, jangan kasar gitu dong sama ibuku!" sahut Putra.

"Diam kamu, Mas! Dasar anak dan ibu sama-sama malingnya. Kalian nggak tau di untung. Nikahin aku nggak modal, masih nyuri perhiasanku. Kembalikan perhiasanku sekarang juga!" geram Dita.

"Kami enggak nyuri perhiasanmu. Kamu nggak ada bukti, jangan asal tuduh!" Putra menyangkal tuduhan istrinya.

"Di rumah ini cuma ada empat orang. Kalau bukan kalian yang nyuri jadi siapa?" Dita sangat yakin suami dan ibu mertuanyalah pelakunya.

"Mana kita tahu. Lagian kamu ceroboh banget. Letakin perhiasan di koper. Ya, ilanglah!" Putra keceplosan.

"Siapa yang bilang aku letakin di koper? aku dari tadi enggak bilang, tapi kenapa kamu tahu? Benarkan, kamu yang nyuri, Mas?" Dita menatap tajam suaminya. Sedangkan si Mertua lebih memilih kabur ke warung, mengamankan uang tiga juta yang ada di saku dasternya.

"Mas, nebak saja kok!" jawab Putra terbata.

"Jangan nyangkal lagi, Mas. Tolonglah jujur. Kita baru nikah masa kamu tega perlakukan aku seperti ini."

"Baiklah, Mas jujur. Iya mas yang ambil. Tapi Mas cuma pinjam kok enggak nyuri." akhirnya Putra mengakui perbuatannya.

"Alhamdulilah kalau Mas mau ngaku. Sekarang kembalikan perhiasan itu!" Suara Dita mulai melemah, berharap suaminya mengembalikan perhiasan miliknya.

"Sudah ku jual, Dit. Maaf!"

Putra memasang wajah menyesal. Tentu saja penyesalan itu hanya sebuah sandiwara.

"Astaga, Mas. Tega banget kamu! Sekarang mana uang hasil penjualan perhiasan tersebut?" Dita mencekeram kerah baju Putra. Putra hanya bisa pasrah.

"Sudah buat beli stok makanan. Termasuk bakso, es campur dan buah-buahan yang kamu sudah makan tadi."

"Tapi kamu bilang itu uang dari hasil minjem sama temen kamu, gimana sih!" Dita makin kuat mencekram kerah baju suaminya.

"Temen hidup maksud mas, ya kamu! Mas pikir kamu tahu maksud, Mas."

"Masih sempet-sempetnya kamu becanda, Mas. Sekarang beritahu aku dimana lebihan uang itu!"

"Ibu yang bawa, Dit. Mas rnggak pake sepeserpun selain buat beli stok makanan!"

"Jadi ibumu yang bawa uang itu. Tadi enggak ngaku, harus dikasih pelajaran ibumu itu!" Dita melepaskan cengkeraman tangannya di kerah baju suaminya. Dia berbalik mencari ibu mertuanya yang ternyata sudah kabur. Dita keluar rumah berusaha mencari mertuanya.

****

Di warung, mertua Dita mulai menyombongkan diri. Dengan uang yang dipegangnya sekarang dia pikir bisa membeli mulut-mulut tetangga yang selama ini mengomentari keburukannya dan anaknya.

"Eh, bu Situm datang. Mau ngutang lagi ya, Bu? Kasian nasib ibu, baru ditinggal menantu ibu 'Abel' sudah kelabakan cari utangan lagi di warung." ucap Rina, pemilik warung.

"Makanya Bu, jangan cari masalah. Sudah tahu anaknya enggak kerja tapi dibiarin poligami. Ya marahlah si Abel." sahut Ina, tetangga yang paling dibenci oleh Situm alias Tuminah karena mulut berbisanya.

"Siapa yang bilang saya kesini mau utang? saya kesini justru mau bayar. Lihat nih, uang saya banyak sekarang. Besan saya orang kaya, jadi sekarang otomatis saya juga ketularan kaya. Jadi tutup mulut kalian ya. Jangan suka ngrendahin saya dan anak saya lagi." Situm mengeluarkan uang curian yang ada di saku dasternya.

"Besan kaya kok kamu masih numpang di rumah menantumu yang sudah kabur." sindir lagi Ina membuat Situm makin murka.

"Jaga omongan kamu ya, Ina. Bisa saya laporkan kamu ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Rumah itu sudah bukan punya Abel lagi. Besanku sudah membeli rumah itu dari Abel lalu menghadiahkan pada anakku Putra. Karena Abel enggak mau dimadu, diusirlah dia sama kita." Situm mulai halu, semua orang terkekeh mendengar ceritanya.

"Orang kaya kok hadiahi menantunya rumah jelek seperti itu. Harusnya kasih apartement kek, rumah mewah dua tingkat kek!" sahut Rina. Panas telinganya mendengar kesombongan si Situm itu.

"Terserah mertua sayalah. Dia yang punya duit bukan kalian. Kok kalian yang jadi ngatur-ngatur sih!"

"Kami bukan ngatur-ngatur. Tapi cerita Bu Situm ini kok enggak meyakinkan banget. Bilang besan kaya tapi enggak ada pesta pernikahan. Nikah juga numpang di rumah istri pertama. Kami para tetangga ngliatnya gimana gitu." ucapan Rina makin membuat Situm meradang.

"Sudahlah, saya lagi sibuk. Males jawabin satu persatu pertanyaan kalian yang unfaedah itu. Cepat, itung saja total utang saya. Jangan banyak bacot!" 

"Bentar, Bu Situm, ya! saya buka catatan utang ibu dulu!" Rina mengambil buku catatan hutang. Kemudian menjumlahnya.

"Tujuh puluh lima ribu, Bu. Ini hitung lagi biar kita sama-sama plongnya!"

"Udah rnggak usah. Segitu saja, kecil! Nih, ambil seratus ribu. Sisa uangnya buat kalian berdua beli cola, siapa tahu tenggorakan kalian kering setelah ngata-ngatain saya macem-mecem tadi."

"Maaf ya, Bu. Bukan saya enggak mau terima sodakohan dari ibu. Saya takut ikut kuwalat kalau nerima uang yang enggak jelas dapatnya dari mana." cibir Ina.

"Nggak jelas maksud kamu apa lagi, Ina? Kamu mau fitnah saya nyuri? kamu mau ngajak saya ribut sekarang?"

"Saya enggak nuduh itu uang hasil nyuri." balas Ina.

"Jadi omonganmu barusan, maksudnya apa?" Situm makin emosi. Suaranya makin meninggi.

"Saya cuma bilang uang yang enggak jelas dari mana dapatnya, bukan berarti saya nuduh uang hasil mencuri." Ina makin bersemangat mempernainkan perasaan Tuminah.

"Alaaah,  sama saja. Kenapa kamu sewot gitu, apa kurang duit itu. Mau saya tambahin?" Situm makin sombong dia kembali menunjukan uang yang sudah di masukan ke dalam sakunya ke hadapan Ina.

"Ibu! kembalikan uang hasil curian itu!" suara Dita membuat muka sang mertua menjadi merah padam.

"Apa? hasil curian? enggak salah dengar kami?" tanya Rina saling berpandangan dengan Ina.

"Dia dan anaknya nyuri perhiasanku. Ini uang sisa hasil penjualan perhiasanku yang mereka curi!" ucap Dita sambil berusaha merebut uang dari tangan mertuanya. Mertuanya tak tinggal diam mencoba mempertahankan uang yang ada ditangannya.

"Hey, jangan berantem disini! kalian berdua mending pergi dari warung saya ini!" Rina mengambil sapu untuk mengusir dua wanita yang sedang berebut uang itu. Dua wanita itu bergidik ngeri mendengar ancaman Rina sambil memperlihatkan sapu di tangan kanannya. Akhirnya mereka berhenti rebutan uang. Situm lega karena uang itu masih aman ditangannya.

"Denger tuh menantu, br*ngsek! jangan buat keributan di warung orang. Kau tak pernah diajari sopan santun selama ini sama ibumu?" cerca Situm yang geram karena Dita sudah mempermalukannya di depan umum.

"Ibu yang br*ngsek. Kenapa tega nyuri perhiasan menantu sendiri."

"Jangan fitnah ya, dasar menantu kurangajar."

"Aku enggak fitnah. Mas Putra sudah ngaku sendiri tadi!"

"Dasar anak tak berguna! bisa-bisanya membuka rahasia ibu mertua sendiri" umpat Situm dalam hati.

"Kami kembalikan sisa yang dua puluh lima ribu tadi, Bu. Maaf kami nggak nerima uang haram." Rina meletakan uang dua puluh rima ribu ke tangan Situm.

"Kalian jangan percaya omongan wanita ini. Dia ular, orangtuanya memaksa anakku Putra menikahi wanita ini. Ternyata wanita ini sedang hamil anak orang lain. Dia itu penipu! jangan dengarkan ucapan wanita ini."

Dita, Rina dan Ina terkejut mendengar ucapan Situm. Dita tak menyangka rahasianya terbongkar secepat itu. Dan ibu mertuanya tega membongkar aibnya di depan orang lain.

"Jangan fitnah saya, Bu. Ibu malu kan ketahuan mencuri jadi memutar balikan fakta seperti ini?" Dita mencoba membela diri. Meski hatinya membenarkan tuduhan ibu mertuanya.

"Fitnah? Ayo kita pulang. Ajak sekali suamimu pergi ke bidan buat periksa. Nanti kalau kamu terbukti hamil, aku akan suruh Putra menalakmu hari ini juga!" Situm menyeret menantunya. Menantunya kini tak bisa berkutik, mertuanya sudah tahu rahasianya. Ia sangat takut di ceraikan Putra. Dia tak mau malu, hamil tanpa suami.

"Bu, cukup! saya minta maaf. Saya takan mengambil uang sisa penjualan perhiasan itu. Tolong jangan kasih tahu Mas Putra. Ku mohon!" mohon Dita pada mertuanya. Nyalinya berubah ciut sejak tahu mertuanya tahu rahasianya.

"Enak saja aku enggak kasih tahu Putra. Kamu itu sudah mempermalukanku di depan orang. Kamu siap-siap jadi janda setelah ini!" ucap Situm sambil terus menyeret menantunya. Setelah sampai di depan rumah, alangkah terkejutnya menantu dan mertua itu. Putra sudah tergeletak tak berdaya di depan rumah itu. Citra adiknya menangis. Barang-barang pribadi seperti baju mereka semua itu sudah berserakan di halaman rumah itu. Di sekitar Putra berdiri lima lelaki berbadan kekar yang sepertinya habis mengroyok Putra. Siapa mereka? Situm dan Dita sama-sama gemetar melihat wajah menyeramkan lima lalaki itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status