3.
“Jangan berlagak bodoh. Cepat kembalikan uang Bapak!” seru Mas Rendy. “Aku tidak mengambil uang itu!” Mas Damar menggeram. Tangannya terkepal. Tubuhnya bergetar seolah sedang menahan kemarahan. “Jangan bohong! Mengaku saja. Daripada nanti kami laporkan ke polisi,” tekan Mas Rafly. Mas Damar mendekat pada kakak pertamaku. Diraihnya kerah baju Mas Rafly lalu mencengkeram erat. Dia mengangkat tangan bersiap melayangkan tinju. “Jangan, Mas!” Aku menjerit, merangkul suamiku berusaha meredam amarahnya. “Hentikan!” bentak Bapak yang sedari tadi terdiam. Perlahan Mas Damar menurunkan tangan lalu melepas cengkeraman. Nafasnya masih memburu, tapi suara gemeletuk giginya tak lagi terdengar. “Kita sedang tertimpa musibah, tapi malah kalian bertengkar kayak anak kecil!” marah Bapak. Suasana hening seketika. Hanya ketegangan yang tersisa di antara kami. “Aku yakin Damar yang ambil uang itu, Pak!” Mas Rafly kembali menuduh suamiku. “Apa kamu punya bukti?” Bapak menatap penuh selidik pada Mas Rafly. Mas Rafly tergagap. Namun, dalam hitungan detik wajahnya kembali tenang. “Kami memang tidak punya bukti, tapi siapa lagi kalau bukan dia.” Mas Rafly mengarahkan telunjuknya pada suamiku, “Di antara anak bapak hanya mereka yang hidup susah. Bapak tahu sendiri aku pegawai Bank, jadi tidak mungkin aku yang ambil. Kalau aku mau curi, di tempat kerjaku banyak uang. Buat apa mencuri uang kalau hanya lima puluh juta.” “Iya. Aku sekarang sudah menjadi ASN. Tentu saja tak kekurangan uang,” sela Mas Rendy. “Kami memang petani, tapi bukan berarti kami pencuri,” sanggahku tak terima. “Sudah... sudah... jangan saling tuduh begitu. Bisa saja uangnya diambil orang,” lerai Ibu. “Tidak mungkin, Bu. Pencuri mana berani masuk kalau tahu banyak orang. Sudah pasti Damar yang ambil.” Mas Rafly bersikukuh menganggap kami pelakunya. “Iya. Bisa jadi mereka mengambil saat kita pergi makan. Bukankah hanya mereka yang ada di rumah?” tambah Mas Rendy. Suamiku yang tadi sempat tenang, kini kembali meronta berusaha meraih apa pun dari Mas Rendy, Namun kakakku menghindar. Sekuat tenaga aku mencegah agar tak sampai Mas Damar main tangan. “Bajingan kamu, Mas!” maki suamiku. “Damar!” Bapak membentak menatap marah pada suamiku. “jaga ucapanmu!” Mas Damar kaget mendengar suara Bapak sementara kedua kakakku tersenyum cengengesan. “Tapi, Pak....” “Diam!” Baru saja suamiku membuka suara, Bapak langsung memotong. Suasana kembali lengang. Hanya terdengar deru nafas kami yang tak beraturan. “Kalau kamu butuh uang, kenapa enggak jujur saja. Bapak enggak jadi umrah juga enggak apa-apa. Uang itu dibagi rata buat kalian.” Bapak membuka suara menurunkan nada bicaranya. “Jadi Bapak percaya kami yang ambil uang itu?” cecarku. “Ya mau bagaimana lagi. Semua bukti mengarah pada kalian. Hanya kalian yang ada di rumah saat kami pergi makan,” jawab Bapak. Aku mengusap dada berusaha menenangkan hati. Tak percaya dengan apa yang baru saja tertangkap indra pendengaran. Bapak yang selama ini sangat kuhormati sampai hati bicara seperti itu. Sebisa mungkin aku menahan tangis agar tak sampai pecah. Namun, sekuat apa pun mencoba, air mata tetap terjatuh. Semua yang kudengar terlalu menyakitkan. Mas Damar merengkuhku. Kali ini dia yang berusaha menenangkanku. “Tidak mungkin, Pak. Mereka tidak mungkin melakukan itu.” Ibu membela. “Tidak mungkin bagaimana, Bu? Damar saja sekarang tak lagi mengelak,” kata Mas Rafly. Suamiku menatap kedua kakakku lalu mengalihkan pandangan pada laki-laki yang biasa kupanggil Bapak. “Aku diam bukan berarti mengaku. Percuma saja mengelak karena kalian semua terus merendahkan,” tegas Mas Damar. “Halah! Banyak alasan kamu. Cepat kembalikan uang Bapak!” cibir Mas Rendy. Mas Damar diam. Dia hanya menatap kecewa pada Bapak dan kedua kakakku. “Mengambil hak orang lain itu tidak baik, Nak! Tak akan membawa keberkahan,” tutur Bapak sok bijak. “Terserah kalian mau bilang apa. Yang jelas aku bukan pencuri.” Mas Damar melepas pelukan. Dengan terburu-buru dia keluar kamar Bapak. “Mas!” teriakku lalu mengejarnya. Aku sempat melihat kedua kakak iparku sedang tersenyum-senyum di depan kamar Bapak. Entah apa yang mereka pikirkan.Saat sampai di depan rumah, Mas Damar sudah ada di atas motor lalu segera memacu kendaraannya. Aku mencoba memanggilnya, tapi tak digubris. Aku yakin dia sangat kecewa dengan keluargaku, tapi kenapa meninggalkanku sendiri? Apa yang akan dia lakukan?Aku berbalik arah, berniat kembali ke dalam, tapi ternyata mereka semua ikut keluar kecuali ibu. “Puas kalian telah memfitnah kami!” bentakku menatap nyalang pada mereka. “Memfitnah bagaimana? Semua bukti mengarah pada kalian. Jadi jangan terus mengelak.” Mas Rendy balas membentak. “Bukti? Bukti yang mana? Apa hanya karena kami miskin jadi bisa dianggap maling? Dasar kalian picik!” Aku mengumpat, melampiaskan kemarahan. “Sekar!” Hardik bapak. Aku tersentak kaget, tapi dengan cepat amarah kembali menguasai pikiran. Berjalan mendekat pada lelaki yang sangat kuhormati.“Sekar pikir Bapak akan bijak menyikapi hal ini. Tapi ternyata salah. Bapak juga ikut-ikutan menuduh. Sekar kecewa sama Bapak!” tegasku berurai air mata. Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat sempurna di pipi sebelah kiri. Refleks, aku memekik memegangi pipiku yang terasa memanas. “Ini yang suamimu ajarkan? Dulu kamu tak pernah berkata kasar pada Bapak. Tapi setelah menikah justru kebalikannya. Bapak menyesal telah men
Sepanjang hari aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar ketimbang berbaur dengan saudara-saudaraku. Rasa sakit karena tuduhan mereka masih membekas di hati. Jam di dinding sudah menunjuk angka tujuh, tapi sampai malam begini Mas Damar belum juga kembali. Apa jangan-jangan dia sengaja meninggalkanku di sini? Aku melangkah malas keluar kamar, beranjak ke halaman berharap Mas Damar segera datang. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mobil kedua kakakku tak lagi terlihat. Suara mereka juga tak terdengar. Mungkin sedang pergi atau memang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ah! Apa peduliku!Saat aku memyendiri di bangku teras, Ibu mendekat lalu meletakkan bobotnya di sebelahku. “Sekar... maafkan Bapak dan kakak-kakakmu ya.” Ibu membuka suara. Aku bergeming menatap lurus ke depan. Mengingat perlakuan, hati ini seperti tersayat kembali. “Kamu mau kan memaafkan mereka?” harap Ibu. Aku mengalihkan pandangan pada wajah sendu di sebelahku. Sorot mata teduhnya berhasil melul
“Ibu menemukan di kamar Rafly.” Ibu tertunduk lesu.Kontan saja aku dan Mas Damar terperangah mendengar pengakuan Ibu. Enggak menyangka kakakku setega itu. Apa saking bencinya sama suamiku sampai memfitnah kami. Mas Damar mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu, menyiratkan kemarahan yang nyata. “Tapi Ibu mohon jangan melabrak dia. Ibu tak ingin kalian bertengkar,” harapnya cemas. “Kenapa Ibu tidak jujur dari awal?” protes Bapak yang juga kaget. “Ibu tak ingin anak-anak kita bertengkar, Pak,” jawab Ibu mulai terisak. “Tapi bukan begitu caranya. Itu sama saja membiarkan mereka menzalimi kami,” Mas Damar menatap kecewa pada Ibu. Hening. Tak ada kata terucap apalagi canda dan tawa. Kami diam dalam kekakuan. “Sekarang di mana Mas Rafly?” Mas Damar bangkit. Berjalan keluar lalu kembali masuk. “Mereka sudah Ibu suruh pulang,” jawab Ibu. “Kenapa malah di suruh pulang, Bu? Seharusnya Mas Rafly didudukkan bersama kita,” keluhku. “Ibu sudah menasihati dia. Kakakmu juga sudah minta ma
Menjelang magrib para tetangga berangsur-angsur pulang hingga menyisakan kami sekeluarga. Semua pekerjaan sudah selesai. Tinggal menunggu acara yang akan dimulai bada isya. Sembari menanti magrib tiba, aku duduk di teras bersama Mas Rafly, Bapak dan Ibu. “Sudah hampir magrib, tapi Rendy dan istrinya belum datang juga. Kenapa ya, Bu?” Bapak terlihat gelisah. “Enggak tahu, Pak. Mungkin dia ada kepentingan jadi terlambat datang,” sahut Ibu tak kalah gelisah. “Iya ... Mas Rendy kan sibuk.” Aku berusaha menenangkan mereka.Bapak diam. Namun, raut gelisah masih tersirat dari wajahnya. Dia bangkit, mondar-mandir sebentar lalu duduk kembali. Tak berselang lama, sebuah motor dengan tiga orang penumpang memasuki halaman. Mas Rendy, Mbak Arum dan Tiara, anak mereka segera turun. Mas Rendy mengambil ransel sementara Istrinya menggandeng anaknya yang baru kelas dua SD. “Mobil kamu mana, Ren?” tanya Mas Rafly. Mas Rendy tak langsung menjawab. Dia menyalami kami bergantian. Pun dengan Mbak Ar
Tadi, seusai subuh Bapak dan Ibu berangkat. Mereka dijemput oleh tim penyelenggara, jadi kami tak ada yang mengantar. Setelah mereka berangkat, Mas Damar membersihkan halaman belakang rumah. Mencabuti rerumputan yang mulai tumbuh. Tanpa di minta, aku membawakan secangkir kopi dan kue bolu sisa semalam. “Istirahat dulu, Mas.” Aku meletakkan minuman di atas tunggul kayu yang menyerupai meja. “Iya.” Mas Damar mendekat, duduk di atas batang kayu lalu mengambil cangkir dan menyeruput isinya. “Pahit banget kopinya, Dek!” ucap Mas Damar. “Masa sih, Mas?” tanyaku tak percaya. “Iya. Coba saja sendiri!” perintahnya. Aku mengambil cangkir itu lalu mencicipi sedikit. Memang benar agak pahit, tapi bukannya selera Mas Damar seperti ini?“Biasanya juga kayak gini rasanya,” protesku. “Iya, tapi biasanya aku minum sambil lihat senyummu, tapi sekarang kamu murung begitu,” jawab suamiku. “Terus apa hubungannya sama kopi?” tanyaku bingung.“Senyum kamu,” sahutnya memasang wajah serius. “Senyu
Aku tersentak kaget saat tiba-tiba pintu kamar diketuk tiga kali. Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat sedikit. Untung saja aku tak lupa mengunci pintu, jadi tak perlu khawatir. “Mengganggu saja!” gerutuku lirih. “Sekar... keluar sebentar. Kakakmu ingin bicara, kami tunggu di ruang tamu,” ucap Mbak Arum setengah berteriak. “Iya, Mbak, sebentar!” jawabku. Gegas aku bangkit, membenahi pakaian lalu mengikat rambut yang awut-awutan. Mas Damar hanya diam menatap kecewa. Sesampainya di ruang tamu, Mas Rendy telah duduk berjajar dengan istrinya. Aku menghempaskan tubuh di atas sofa menghadap mereka. “Ada apa, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi. Mas Rendy menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan-lahan seolah sedang menata pikiran. “Begini, kamu kan sudah tahu masalah yang sedang menimpa kami. Aku harap kamu mau membantu kami,” ucap Mas Rendy terdengar ragu. “Membantu bagaimana, Mas?” tanyaku penasaran. “Kami mau pinjam uang sama kamu. Siapa t
Beberapa hari ini Mas Damar bolak-balik dari rumah ini ke rumah yang satu. Sebenarnya aku kasihan dengan suamiku. Aku sudah memintanya untuk libur tapi dia menolak. Pekerjaanlah yang jadi alasan utamanya. Hari ini aku memaksanya libur bekerja. Selain karena ingin berduaan, nanti siang ada acara arisan keluarga di rumah pakde Herman, kakak Ibu yang tertua. Sebuah acara yang diadakan untuk mempererat tali persaudaraan, tapi tak jarang dijadikan ajang pamer kekayaan. “Mas, kita sarapan singkong rebus saja ya, mau masak tapi takut enggak dimakan. Kan kita mau ke rumah Pakde Herman. Nanti malah Mubazir,” ucapku seusai salat subuh. “Iya, singkong juga bagus buat sarapan,” jawab suamiku. Sebenarnya Mas Damar tak pernah mempermasalahkan mau masak apa. Selama ini dia tak pernah memprotes masakanku. Namun, tak ada salahnya jika aku bilang dulu. Aku melipat mukena lalu segera ke dapur. Tak banyak yang kukerjakan pagi ini. Piring dan gelas kotor sudah kucuci semalam sebelum tidur. Sengaja
Setelah dua jam berlangsung, Arisan keluarga sampai di penghujung acara. Doa bersama dan sedikit ceramah sudah selesai. Sekarang tinggal makan-makan bersama. Aku berkali-kali melirik ke arah jendela, menanti dengan cemas kedatangan Mas Damar. Namun, batang hidungnya tak kunjung terlihat. “Kamu enggak ambil makanan malah asyik melihat ke luar terus, Sekar. Ada apa?” tanya Bude Herman. “Anu, Bude. Mas Damar kok belum kembali ya,” jawabku. “Nanti juga datang. Mungkin urusannya belum selesai, jadi belum balik ke sini.” Bude tersenyum. “Tapi tadi bilangnya sebentar doang,” keluhku. “Sabar... mungkin sedang di jalan. Mending kamu makan dulu,” saran Bude Herman. Aku mengangguk lalu segera beranjak menuju meja prasmanan. Mbak mela mengikuti di belakang. Mungkin mau ambil juga. Aku Mengambil sedikit nasi dan sayur nangka kesukaanku. Lauknya aku memilih tempe bacem saja. Meski ada daging ayam dan semur telur, tapi aku tak terlalu suka itu. Setelah selesai mengambil makanan, aku berniat