Share

BAB 5

Sepanjang hari aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar ketimbang berbaur dengan saudara-saudaraku. Rasa sakit karena tuduhan mereka masih membekas di hati. 

Jam di dinding sudah menunjuk angka tujuh, tapi sampai malam begini Mas Damar belum juga kembali. Apa jangan-jangan dia sengaja meninggalkanku di sini? 

Aku melangkah malas keluar kamar, beranjak ke halaman berharap Mas Damar segera datang. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mobil kedua kakakku tak lagi terlihat. Suara mereka juga tak terdengar. Mungkin sedang pergi atau memang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ah! Apa peduliku!

Saat aku memyendiri di bangku teras, Ibu mendekat lalu meletakkan bobotnya di sebelahku. 

“Sekar... maafkan Bapak dan kakak-kakakmu ya.” Ibu membuka suara. 

Aku bergeming menatap lurus ke depan. Mengingat perlakuan, hati ini seperti tersayat kembali. 

“Kamu mau kan memaafkan mereka?” harap Ibu. 

Aku mengalihkan pandangan pada wajah sendu di sebelahku. Sorot mata teduhnya berhasil meluluhkan hati. Memaksaku mengangguk meski hati menolak. Tak tega rasanya melihat Ibu sedih. 

“Sudahlah, Bu. Lupakan saja. Aku sudah memaafkan mereka.” Aku memaksa tersenyum meski terasa sukar. 

“Terima kasih, Sekar. Di antara anak Ibu, hanya kamulah yang penyabar.” Ibu merengkuh tubuhku lalu memeluk cukup lama. 

Aku mengurai pelukan saat terdengar deru mesin motor yang sangat khas. Benar dugaanku. Mas Damar yang datang. Dia turun lalu segera mendekat pada kami. 

“Bapak mana?” tanya Mas Damar. 

“Palingan di dalam,” jawabku, “itu apa, Mas?” 

Aku mengamati kantung plastik yang ada di tangan suamiku. 

“Nanti aku ceritakan,” sahut Mas Damar dingin. 

“Biar Ibu panggil Bapak dulu. Kalian masuk saja. Jangan di luar. Sudah malam.” Ibu segera beranjak. 

“Kemasi pakaian kita, Dek! Kita pulang setelah pamit pada Bapak,” perintah suamiku. 

Aku mengangguk. Kami segera masuk beriringan. Mas Damar duduk di tepian ranjang sementara aku berkemas. 

Sesekali aku melirik pada benda yang sedari tadi dipegang Mas Damar. Mencoba menerka tanpa berani bertanya. 

Setelah semua beres, kami segera keluar membawa ransel kami.  Bapak dan ibu telah ada di ruang tamu saat kami tiba. 

Mas Damar segera duduk lalu meletakkan kantong plastik di atas meja. Aku ikut duduk di sebelah suamiku. 

“Ini untuk mengganti uang Bapak yang hilang. Tapi baru tiga puluh juta. Minggu depan aku akan menggenapinya. Aku mengganti uang Bapak bukan berarti aku mengaku mencuri.” Tanpa basa-basi Mas Damar membuka suara ketus.  Membuka plastik itu lalu menyodorkan ke depan Bapak.

Aku terperanjat melihat isi bungkusan yang Mas Damar bawa. Bukan masalah uangnya. Hanya saja aku bingung dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu. 

“Itu uang siapa, Mas?” tanyaku. 

Mas Damar diam tak menanggapi, terus menatap ke arah Bapak dan Ibu. 

“Damar, Bapak minta maaf sama kamu dan Sekar. Uang Bapak sudah ketemu,” ucap Bapak seperti merasa bersalah. 

Mas Damar mengernyit bingung. Dia menatapku sejenak lalu kembali menatap mereka. 

“Maksud Bapak....” 

“Iya. Bapak yang lupa taruh. Bapak menyesal sudah menuduh kalian,” sahut Bapak. 

Mas Damar tersenyum getir tanpa menanggapi permintaan maaf Bapak. 

“Kamu mau kan Memaafkan Bapak?” tanya Ibu penuh harap. 

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Bu. Bapak enggak salah kok. Kami memang hidup miskin, jadi luwes jika dianggap mencuri,” sindir Mas Damar. 

“Jangan bicara begitu, Damar. Bapak mengaku salah. Tadi pagi Bapak panik. Jadi enggak bisa berpikir jernih,” sesal Bapak. 

Aku hanya diam tak berani berkomentar. Mas Damar pasti sakit hati dengan ucapan bapak tadi pagi. 

“Ini uang kamu. Kamu simpan saja. Biar nanti kami yang menggenapi kekurangan untuk biaya umrah.” Bapak menyodorkan kantong plastik berisi uang itu kembali ke depan Mas Damar. 

“Sekar... Bapak juga minta maaf sama kamu. Bapak terbawa emosi. Jadi enggak sadar sampai menampar kamu,” lanjut Bapak. 

Mas Damar terperangah mendengar ucapan Bapak. Dia menggeleng berkali-kali. 

“Jadi gara-gara uang, Bapak sampai main tangan sama anak sendiri?” 

“Bapak mengaku salah... tolong maafkan Bapak....” Laki-laki yang rambutnya mulai memutih itu tertunduk lesu. 

Pun dengan aku dan Ibu. Tak berani berkata apa-apa. 

“Sekar memang anak Bapak. Tapi sekarang dia istriku. Aku lebih berhak atas dirinya. Dan aku enggak suka Bapak kasar sama dia.” Mas Damar menatapku sebentar lalu kembali menatap Bapak. 

“Sebagai orang tua seharusnya Bapak bijak dalam bertindak. Bukannya malah ikut-ikutan menuduh Mas Rendy dan Mas Rafly. Apalagi tuduhan itu tak terbukti!” Dengan nafas memburu Mas Damar menasihati Bapak. 

Hening. Kami semua diam. Hanya tangis penyesalan Bapak yang terdengar memilukan. 

“Sudahlah, Mas. Bapak juga sudah mengaku salah,” ucapku berusaha menenangkan suamiku. 

Meskipun aku kecewa dengan Bapak, hati ini tetap tak tega melihatnya berurai air mata. Biar bagaimanapun dia orang tuaku sendiri. 

Mas Damar sedikit tenang. Nafasnya perlahan beraturan. 

“Aku juga minta maaf sama Bapak dan Ibu karena sudah berbicara keras.” Akhirnya Mas Damar bersikap ksatria. 

Bapak mengangguk. Tangisnya tak lagi terdengar. Hanya isaknya yang tersisa.

“Sekarang sudah malam. Kami pamit mau pulang,” lanjutnya. 

Mas Damar menarikku untuk berdiri lalu menyambar ransel yang sedari tadi tergeletak.

“Tunggu!” Ibu bangkit lalu beranjak ke dalam. 

Aku dan Mas Damar saling tatap lalu sama-sama mengangkat bahu. Akhirnya kami kembali duduk.

Beberapa saat kemudian Ibu kembali dengan kantong plastik berwarna hitam di tangannya. Dia memberikan benda itu padaku. Penasaran, aku membukanya. 

Aku terkejut saat melihat isi dari kantong plastik di tanganku. Uang? Apa maksudnya Ibu memberikan ini? 

“Itu uang Bapak yang mau buat biaya umrah. Tolong kalian yang simpan. Ibu takut kalau nanti berkurang lagi,” ucap Ibu. 

“Berkurang Bagaimana, Bu?” tanya Mas Damar penasaran. 

Ibu terlihat gugup. “Ya takut kepakai sama Ibu,” jawabnya kemudian. 

Mas Damar mengambil uang dari tanganku lalu menghitungnya. 

“Ini tinggal empat puluh lima juta?” tanya Mas Damar setelah selesai menghitung.

Ibu mengangguk. 

“Bu, Sebenarnya uang ini ketemu di mana?” Aku menatap Ibu penuh selidik. 

“Kan Ibu sudah bilang, ketemunya di kolong ranjang,” jawab Ibu tanpa berani menatapku. 

“Aku enggak percaya!” tegasku, “ tadi pagi aku juga sempat mencari di bawah kolong ranjang Bapak, tapi tak melihat bungkusan ini,” 

Ibu terlihat panik. Mas Damar dan Bapak hanya kebingungan. 

“Ayolah, Bu! Katakan yang sebenarnya,” desakku. 

Ya. Sejak Ibu menemukan uang ini aku melihat ada yang berbeda dari sikapnya. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Hanya saja tadi pagi aku sedang kecewa karena habis ditampar Bapak. Jadi enggak terlalu peduli. 

Ibu menundukkan pandangan ke bawah. Dia diam tak menjawab. 

“Baiklah... kalau Ibu tak mau bicara, berarti Ibu yang sengaja memfitnah kami. Ibu menyembunyikan uang itu agar semua orang menuduh kami,” pancingku. 

Seketika Ibu mengangkat wajah menatapku. 

“Tidak! Ibu tak mungkin seperti itu,” kilahnya. 

“Lalu, di mana Ibu menemukan uang ini?” Aku terus menyudutkan Ibu. Keyakinanku semakin kuat kalau Ibu sedang berbohong. 

Ibu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. 

“Baiklah... Ibu akan bercerita, tapi kalian harus janji untuk tidak marah,” kata ibu kemudian. 

Aku dan Mas Damar mengangguk serempak lalu bersiap mendengarkan cerita Ibu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status