Share

Bab 6

“Ibu menemukan di kamar Rafly.” Ibu tertunduk lesu.

Kontan saja aku dan Mas Damar terperangah mendengar pengakuan Ibu. Enggak menyangka kakakku setega itu. Apa saking bencinya sama suamiku sampai memfitnah kami. 

Mas Damar mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu, menyiratkan kemarahan yang nyata. 

“Tapi Ibu mohon jangan melabrak dia. Ibu  tak ingin kalian bertengkar,” harapnya cemas. 

“Kenapa Ibu tidak jujur dari awal?” protes Bapak yang juga kaget. 

“Ibu tak ingin anak-anak kita bertengkar, Pak,” jawab Ibu mulai terisak. 

“Tapi bukan begitu caranya. Itu sama saja membiarkan mereka menzalimi kami,” Mas Damar menatap kecewa pada Ibu. 

Hening. Tak ada kata terucap apalagi canda dan tawa. Kami diam dalam kekakuan. 

“Sekarang di mana Mas Rafly?” Mas Damar bangkit. Berjalan keluar lalu kembali masuk. 

“Mereka sudah Ibu suruh pulang,” jawab Ibu. 

“Kenapa malah di suruh pulang, Bu? Seharusnya Mas Rafly didudukkan bersama kita,” keluhku. 

“Ibu sudah menasihati dia. Kakakmu juga sudah minta maaf,” ucap Ibu. 

Aku mengembuskan nafas berat. Tak bisa dipungkiri bahwa aku telah kecewa dengan sikap Ibu. Hanya karena takut kami bertengkar, Ibu telah menyembunyikan semua dari kami. 

“Apa dia juga yang menggunakan uang itu?” tanya Bapak yang sedari tadi memegangi kepala. 

“Iya. Dia gunakan uang lima juta itu untuk bayar sarapan tadi pagi,” sahut Ibu.

Aku kembali terperangah. Enggak menyangka mereka tega memakai uang Bapak yang mau buat umrah. Bukannya kasih tambahan malah menyerobot saja. 

Aku mengerutkan dahi saat teringat kejadian tadi pagi. Seperti ada yang aneh. 

“Bukannya tadi yang mau traktir Mbak Arum? Kenapa malah Mas Rafly yang bayar?” cecarku saat menyadari keanehan itu. 

“Ibu juga enggak tahu,” jawab Ibu. 

Pikiranku mulai berkelana. Menerka-nerka tentang kemungkinan  yang masuk akal. 

“Apa jangan-jangan mereka semua terlibat?” tebak Mas Damar sama seperti yang kupikirkan. 

“Bisa jadi, Mas! Mereka sengaja ingin menjelekkan kita di depan Bapak dan Ibu. Kan kita tahu kedua kakakku tak suka denganmu,” sahutku. 

“Ini sudah kelewatan. Mereka harus diberi pelajaran!” Mas Damar menggeram sambil menggebrak meja. 

Sontak saja aku kaget. Sejak menikah, baru sekarang kulihat Mas Damar semarah ini. 

“Maafkan mereka, Nak. Ibu tak ingin ribut. Ibu ingin kalian semua rukun,” mohon Ibu disertai isak tangis. 

Sebagai anak aku bisa merasakan kesedihan Ibu. Setiap orang tua pasti ingin anaknya hidup rukun. Tidak terkecuali Ibu. 

Aku meraih jemari Mas Damar lalu menggenggam erat. Berusaha menenangkan agar dia tak sampai berbuat nekat. 

“Sudahlah, Mas. Yang terpenting sekarang semua sudah tahu kalau kita tidak bersalah,” bujukku. 

Perlahan, Nafas memburu suamiku berangsur-angsur normal. Kemarahannya mulai mereda. 

“Terima kasih Sekar, kamu memang penyabar,” puji Bapak. 

Aku memaksakan senyum. Sabar? Tidak juga. Hanya saja takut jika Mas Damar nekat dan berujung penganiayaan terhadap kakak-kakakku. Bukan tidak mungkin dia masuk penjara. Lalu bagaimana denganku?

“Baiklah! Kali ini aku maafkan. Tapi jika besok mereka mengganggu kami lagi,  Aku akan melawan,” ucap Mas Damar. 

Setelah semua selesai. Kami pamit pulang. Uang Bapak juga kami bawa. Sebenarnya aku enggan, tapi karena mereka memaksa, aku tak bisa menolak. 

**** 

3 bulan kemudian. 

Hari ini Bapak dan Ibu kembali mengumpulkan anak-anaknya. Merek akan menggelar doa bersama sebelum berangkat umrah. 

Ya. Bapak sudah mengambil uang yang mereka titipkan padaku. Katanya sudah buat bayar biaya umrah berdua dan sisanya untuk belanja keperluan acara yang akan di gelar nanti malam. 

Aku dan Mas Damar berangkat pagi-pagi buta agar bisa membantu menyiapkan segala sesuatunya. Sebenarnya suamiku malas kuajak ke rumah Bapak, tapi karena terus memaksa, akhirnya Mas Damar mengalah. 

Begitu sampai di rumah Bapak, aku langsung membaur dengan tetangga yang sedang rewang sementara Mas Damar dan Bapak membersihkan halaman agar terlihat rapi. 

Seperti kebanyakan perempuan, sambil memasak kami jaga mengobrol ke sana kemari. Sampai-sampai hal yang tak penting pun jadi bahan obrolan. 

“Si Arum sama Mela kok belum datang ya?” padahal kan sudah tengah hari,” tanya Bik Wati,  salah satu tetangga yang rewang. 

“Lagi ada kepentingan mungkin, Bu. Jadi telat datang,” sahutku sambil menata kue yang baru matang. 

“Kepentingan apaan sih? Ini kan hajat mereka juga,” protes Bu Ayu, tetangga sebelah rumah. 

“Mana tahu.” Aku mengendikan bahu lalu kembali sibuk dengan pekerjaanku. 

Baru saja dibicarakan, Mbak Mela tiba-tiba nongol dengan dandanannya yang sudah seperti artis. Aku hanya melirik sekilas saja. 

“Kebetulan kamu datang, Mel. Tolong cucikan kuai itu ya. Nanti mau di pakai buat goreng ikan,” perintah Bik Wati saat melihat Mbak Mela datang. 

“Baru saja nyampe sudah langsung disuruh-suruh. Capek, Bik,” sahut Mbak Mela. 

Kaka iparku menarik kursi lalu duduk di depan meja tempatku menata beberapa kue basah. 

“Kamu ke sini jam berapa, Sekar?” tanya Mbak Mela. 

“Tadi pagi, Mbak. Jam delapan sudah sampai,” jawabku. 

“Pagi banget, enggak masak dulu?” tanyanya lagi. Dia mengambil sepotong bolu kue bolu lalu langsung memakannya. 

“Enggaklah. Kan masak di sini,” sahutku. 

“Iya juga sih. Kan kamu sekalian numpang makan mumpung gratis,” cibirnya.

Aku tersenyum kecut tanpa menanggapi.  

“Dari tadi Sekar belum makan apa-apa. Kamu tu yang datang-datang langsung main caplok saja,” celetuk Bik Wati menatap pada Mbak Mela. 

Sontak wajah Mbak Mela memerah karena malu. Aku ingin tertawa tapi takut menyinggung perasaannya. Akhirnya hanya mengulum senyum. 

“Cuma icip doang, Bik. Biar tahu rasanya,” kilahnya. 

“Gimana , Mbak? Itu aku yang bikin,” tanyaku penasaran. 

Aku memang belum sempat mencicipi. Dari tadi sibuk dengan pekerjaan lain.

“Pantesan. Rasanya gimana gitu. Kayak agak pahit. Enggak enak,” ungkap Mbak Mela sembari mencomot sepotong lagi.

“Enggak enak kok ambil lagi,” cibir Bu Ayu. 

Kontan saja wajah Mbak Mela kembali memerah. Dia tak menyahut. Hanya merengut menatap tak suka pada Bu Ayu.

Tetanggaku itu memang ceplas-ceplos. Kalau ngomong enggak dipikir dulu. Jadinya begini kan. Mbak Mela sepertinya menahan kesal.

 

Selesai menata kue, aku ke depan mencari Mas Damar. Sejak pagi dia belum makan. Takutnya dia segan karena banyak orang. 

Sesampainya di teras, kulihat Mas Damar sedang mencabuti rumput, sedangkan Mas Rafly duduk di teras sambil bermain ponsel. 

“Makan dulu, Mas. Dari pagi kamu belum makan nasi,” teriakku tanpa memedulikan Mas Rafly. 

“Bentar lagi. Ini juga sudah mau selesai.” Mas Damar menghentikan aktivitasnya sejenak lalu memulai lagi. 

“Lanjutinnya nanti saja sehabis makan,” bujukku setengah memaksa. 

Mas Damar menurut. Dia bangkit lalu mendekat ke arahku. 

“Sudah sana makan dulu. Mumpung di sini banyak makanan. Kan kalian jarang makan enak.” Tiba-tiba Mas Rafly membuka suara. 

Sontak aku terkejut mendengar ucapan kakakku. Pun dengan Mas Damar. Dia juga kaget tapi tak menanggapi. 

“Ya enggak apa-apa jarang makan enak. Daripada makan mewah tapi pakai duit orang. Pura-pura traktir lagi!” sindirku. 

Skak matt! Kali ini ganti Mas Rafly yang terkejut. Mungkin dia tak menyangka aku sudah tahu semuanya. 

Aku langsung mengajak Mas Damar pergi sebelum kakakku menyangkal. Biar saja dia marah karena ditinggal begitu saja. Apa peduliku?  

Setelah mencuci tangan, Mas Damar duduk di depan meja makan, sementara aku ke dapur mengambil piring. 

Aku menghentikan langkah saat sampai di depan pintu dapur. Menguping sejenak apa uang sedang Mbak Mela obrolkan dengan para tetangga. 

“Suami Sekar kan cuma petani, jadi wajar kalau enggak menyumbang,” ucap Mbak Mela pada para tetangga. 

Aku memicingkan mata berusaha mencerna apa yang sedang mereka bicarakan, tapi masih belum paham juga. Untungnya Mbak Mela menghadap ke arah sama. Jadi tak tahu aku berdiri di dekat pintu. 

“Terus siapa yang menggenapi biaya umrah mertua kamu?” tanya salah satu tetangga.

 

“Tentu saja kami. Siapa lagi,” ujar Mbak Mela pongah. 

Aku mengelus dada saat mulai paham arah pembicaraan mereka. Rupanya Mbak Mela mengaku-aku telah menyumbang pada Bapak padahal nyatanya zonk. Ini tak bisa dibiarkan. 

Aku mendekat pada mereka yang sedang mengobrol. 

“Lagi pada ngomongin sumbangan apa sih?” tanyaku pura-pura tak dengar. 

Seketika Mbak Mela membalikkan badan menghadapku. Dia sangat gugup. 

“Lagi ngomongin sumbangan buat Bapak kamu. Mela baik banget ya..., dia sudah menggenapi kekurangan biaya umrah Bapak dan Ibu kamu. Benar-benar menantu idaman,” jelas salah satu tetangga. 

“Benar begitu, Mbak? Apa enggak salah dengar?” sindirku sambil melirik pada Mbak Mela. 

Kontan saja wajah Kakak iparku langsung pias. Dia gelagapan. Tak menyahut hanya menggumam tak jelas. 

“Jadi begini..., sebenarnya yang menggenapi uang Bapak itu suamiku. Walaupun hidup pas-pasan, dia tidak keberatan memberikan tabungannya untuk orang tuaku. Bukan Mbak Mela ataupun Mas Rafly,” tegasku. 

Sontak mereka semua menatap aku dan Mbak mela bergantian. 

“Jadi yang benar omongan siapa?” tanya Bu Ayu penuh selidik. 

“Tanya saja sama Mbak Mela,” Aku berjalan mendekati rak lalu mengambil piring. Membiarkan kakak iparku menanggung malu.

“Astaghfirulloh, ternyata kamu cuma ngaku-aku doang,” Bu Ayu mengelus dada menatap pada Mbak Mela yang tertunduk malu. 

Aku berlalu meninggalkan mereka. Dari kejauhan aku masih sempat mendengar para tetangga menasihati kakak iparku. Biarkan saja dia menuai buah perbuatannya. 

   

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Oliva Koneng
ceritanya lanjut
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
hhhmmmm jadi ikooottt masuk kejln ceritanya....lanjuuuttt thoorrr...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status