Tadi, seusai subuh Bapak dan Ibu berangkat. Mereka dijemput oleh tim penyelenggara, jadi kami tak ada yang mengantar. Setelah mereka berangkat, Mas Damar membersihkan halaman belakang rumah. Mencabuti rerumputan yang mulai tumbuh. Tanpa di minta, aku membawakan secangkir kopi dan kue bolu sisa semalam. “Istirahat dulu, Mas.” Aku meletakkan minuman di atas tunggul kayu yang menyerupai meja. “Iya.” Mas Damar mendekat, duduk di atas batang kayu lalu mengambil cangkir dan menyeruput isinya. “Pahit banget kopinya, Dek!” ucap Mas Damar. “Masa sih, Mas?” tanyaku tak percaya. “Iya. Coba saja sendiri!” perintahnya. Aku mengambil cangkir itu lalu mencicipi sedikit. Memang benar agak pahit, tapi bukannya selera Mas Damar seperti ini?“Biasanya juga kayak gini rasanya,” protesku. “Iya, tapi biasanya aku minum sambil lihat senyummu, tapi sekarang kamu murung begitu,” jawab suamiku. “Terus apa hubungannya sama kopi?” tanyaku bingung.“Senyum kamu,” sahutnya memasang wajah serius. “Senyu
Aku tersentak kaget saat tiba-tiba pintu kamar diketuk tiga kali. Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat sedikit. Untung saja aku tak lupa mengunci pintu, jadi tak perlu khawatir. “Mengganggu saja!” gerutuku lirih. “Sekar... keluar sebentar. Kakakmu ingin bicara, kami tunggu di ruang tamu,” ucap Mbak Arum setengah berteriak. “Iya, Mbak, sebentar!” jawabku. Gegas aku bangkit, membenahi pakaian lalu mengikat rambut yang awut-awutan. Mas Damar hanya diam menatap kecewa. Sesampainya di ruang tamu, Mas Rendy telah duduk berjajar dengan istrinya. Aku menghempaskan tubuh di atas sofa menghadap mereka. “Ada apa, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi. Mas Rendy menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan-lahan seolah sedang menata pikiran. “Begini, kamu kan sudah tahu masalah yang sedang menimpa kami. Aku harap kamu mau membantu kami,” ucap Mas Rendy terdengar ragu. “Membantu bagaimana, Mas?” tanyaku penasaran. “Kami mau pinjam uang sama kamu. Siapa t
Beberapa hari ini Mas Damar bolak-balik dari rumah ini ke rumah yang satu. Sebenarnya aku kasihan dengan suamiku. Aku sudah memintanya untuk libur tapi dia menolak. Pekerjaanlah yang jadi alasan utamanya. Hari ini aku memaksanya libur bekerja. Selain karena ingin berduaan, nanti siang ada acara arisan keluarga di rumah pakde Herman, kakak Ibu yang tertua. Sebuah acara yang diadakan untuk mempererat tali persaudaraan, tapi tak jarang dijadikan ajang pamer kekayaan. “Mas, kita sarapan singkong rebus saja ya, mau masak tapi takut enggak dimakan. Kan kita mau ke rumah Pakde Herman. Nanti malah Mubazir,” ucapku seusai salat subuh. “Iya, singkong juga bagus buat sarapan,” jawab suamiku. Sebenarnya Mas Damar tak pernah mempermasalahkan mau masak apa. Selama ini dia tak pernah memprotes masakanku. Namun, tak ada salahnya jika aku bilang dulu. Aku melipat mukena lalu segera ke dapur. Tak banyak yang kukerjakan pagi ini. Piring dan gelas kotor sudah kucuci semalam sebelum tidur. Sengaja
Setelah dua jam berlangsung, Arisan keluarga sampai di penghujung acara. Doa bersama dan sedikit ceramah sudah selesai. Sekarang tinggal makan-makan bersama. Aku berkali-kali melirik ke arah jendela, menanti dengan cemas kedatangan Mas Damar. Namun, batang hidungnya tak kunjung terlihat. “Kamu enggak ambil makanan malah asyik melihat ke luar terus, Sekar. Ada apa?” tanya Bude Herman. “Anu, Bude. Mas Damar kok belum kembali ya,” jawabku. “Nanti juga datang. Mungkin urusannya belum selesai, jadi belum balik ke sini.” Bude tersenyum. “Tapi tadi bilangnya sebentar doang,” keluhku. “Sabar... mungkin sedang di jalan. Mending kamu makan dulu,” saran Bude Herman. Aku mengangguk lalu segera beranjak menuju meja prasmanan. Mbak mela mengikuti di belakang. Mungkin mau ambil juga. Aku Mengambil sedikit nasi dan sayur nangka kesukaanku. Lauknya aku memilih tempe bacem saja. Meski ada daging ayam dan semur telur, tapi aku tak terlalu suka itu. Setelah selesai mengambil makanan, aku berniat
Mobil yang kami kendarai melaju pelan membelah jalanan yang ramai oleh hilir mudik kendaraan. Aku melempar pandangan ke luar jendela, menikmati perjalanan. “Sebenarnya kita mau ke mana, Mas? Kok lewat sini?” tanyaku penuh curiga. Aku terus menatap ke sekeliling dan meyakini ini bukan jalan pulang. “Nanti juga tahu,” sahut Mas Damar singkat. Aku tak lagi menanyakan apa pun. Ke mana pun Mas Damar membawaku, hati ini merasa tenang saat di dekatnya. Beberapa saat kemudian, Mas Damar menghentikan mobilnya di depan sebuah toko emas. Aku menatap heran pada suamiku. “Yuk turun, Dek!” ajak Mas Damar lalu membuka pintu mobil. Aku tak menurut, tapi justru mencekal lengan, mencegahnya turun.“Ngapain kita ke sini, Mas?” tanyaku.“Ya beli emas lah.” Dia tersenyum menatapku. Tunggu dulu! Tadi tiba-tiba Mas Damar datang bawa mobil ini dan sekarang mengajak beli emas. Dapat duit dari mana dia? “Kamu enggak habis Merampok kan, Mas?” Aku menatapnya penuh selidik. “Astaghfirulloh... ya enggak
Seminggu telah berlalu sejak kejadian itu. Sekalipun aku belum pernah datang lagi ke rumah Bapak. Rasa kecewa dengan kakak-kakakku membuatku merasa malas bertemu dengan mereka. Sebenarnya aku ingin menghubungi Bapak berniat mengabarkan kelakuan dua anak lelakinya. Namun Mas Damar mencegah. Katanya takut mengganggu ibadah bapak. Akhirnya aku menunggu sampai Bapak pulang. Siang ini Bapak mengabari kalau sudah ada di rumah. Aku langsung mengajak Mas Damar ke sana. Namun, karena Mas Damar ada kepentingan jadi sore ini kami baru bertandang ke rumah Bapak. “Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk pintu tiga kali. Tak berselang lama terdengar suara perempuan yang sangat kukenali menjawab salamku dari arah dalam. Derap langkah kakinya terburu mendekati pintu. “Sekar!” Ibu langsung memelukku erat seolah sudah lama enggak bertemu padahal dia hanya pergi kurang dari dua puluh hari. Mas Damar langsung mencium takdim punggung tangan Ibu setelah pelukan kami terurai. “Masuk yuk! Kakakmu j
Setelah huru-hara selesai, kami segera pamit pulang. Sebenarnya aku ingin menginap barang semalam di rumah Ibu, tapi karena Mas Damar ada keperluan, aku menunda keinginan. “Enggak nyangka ya, Mas. Dibalik gemerlapnya hidup Mbak Arum, ternyata hutang mereka bertumpuk.” Aku membuka percakapan saat tengah di perjalanan. “Makanya kamu jangan tiru dia. Hiduplah sesuai kemampuan.” Mas Damar menasihati.“Iya. Aku juga sudah hemat kok, Mas,” sahutku. Mas Damar tersenyum, tapi tatapannya lurus ke depan. Aku melempar pandangan ke luar jendela. Sekedar melihat-lihat deretan pertokoan yang mulai berdesakan di pinggir jalan. Tiba-tiba rasa khawatir menyapa hati ini. Aku takut kalau Mas Damar juga punya hutang yang menggunung. “Mas, kamu enggak punya hutang sebanyak mereka kan?” Aku menatap dalam-dalam wajah suamiku. “Tentu saja tidak, Dek,” jawabnya cepat. “Terus kamu dapat duit dari mana? Tiba-tiba bisa beli mobil begini,” cecarku. Mas Damar menarik nafas panjang kemudian menghembuskan pe
Akhir-akhir ini aku sering bolak-balik ke rumah Ibu. Selain karena tak punya kesibukan yang berarti, aku juga ingin mengawasi Mbak Arum. Siapa tahu dia masih seperti dulu. Menurut cerita Ibu, kakak iparku sekarang rajin. Memasak, membersihkan rumah dia semua yang kerjakan. Bahkan pakaian Bapak dan Ibu juga dia yang mencuci. Syukurlah ... akhirnya kakak iparku mengubah kebiasaan buruknya. Pagi ini aku berniat ke rumah Ibu sekalian membawa cabai untuk dibagikan sama saudara dan tetangga. Selesai memasak aku langsung berangkat sendiri karena Mas Damar pergi ke sawah. Aku membawa setengah karung cabai yang telah dibagi menjadi beberapa bungkus. Itu memudahkanku untuk membagikannya.Aku tak langsung ke rumah Ibu, tapi mampir ke rumah saudara-saudara dulu. Sekitar pukul setengah sepuluh aku hampir selesai membagikan pada saudara dan tetangga. Hanya tinggal dua bungkus saja. Satu untuk di rumah, satunya untuk Bu Ayu, tetangga sebelah. “Assalamu alaikum,” ucapku saat sampai di rumah Bu Ayu