Sudah hampir sebulan aku tak pernah mengunjungi Ibu. Kejadian hari itu masih menyisakan kecewa, memaksaku menepikan rindu yang menggebu. Sebenarnya aku sangat khawatir dengan keadaan Bapak. Dia pasti sangat sedih dengan semua ini. Namun, aku enggan jika berkunjung ke sana. Pasangan benalu itu pasti menertawakan kekalahanku. “Pagi-pagi kok sudah melamun, Dek. Entar kesambet loh,” canda Mas Damar sembari memainkan telapak tangan di depan mataku. “Eh... iya, Mas. Sejak kapan Mas di sini?” sahutku tergagap. “Sejak tadi. Aku perhatikan akhir-akhir ini kamu sering murung di teras begini. Apa masih kepikiran rumah itu?” Ya. Sejak kejadian itu aku memang jadi hobi menyendiri. Sampai saat ini masih tak paham dengan jalan pikiran Ibu. Kok bisa ya dia sampai mengemis untuk Mas Rendy. “Enggak kok, Mas. Lagi suntuk saja,” jawabku bohong. “Kayaknya kamu perlu healing deh. Ikut yuk!” Ajak suamiku. “Ke mana, Mas?” tanyaku penasaran. Jika dilihat dari pakaiannya, aku yakin Mas Damar tak akan
Sepulang dari rumah Mas Rafly, aku mengajak Mas Damar mampir ke rumah Bude Sari, kakak perempuan Bapak. Sejak aku menikah sekalipun belum pernah ke sana padahal dulu kami lumayan dekat. Mobil yang kami kendarai meluncur deras membelah jalanan yang cukup sepi. Jarak rumah Bude yang cukup jauh membuat kami cukup lelah di perjalanan. Setelah satu jam berkendara, kami tiba di kampung halaman Bapak. “Itu rumahnya, Mas!” Aku mengacungkan jari menunjuk ke sebuah rumah bercat abu-abu. Perlahan Mas Damar membelokkan mobilnya ke rumah yang kutunjuk lalu mematikan mesin setelah parkir di bawah pohon peneduh. Kami segera turun, berjalan beriringan menuju rumah di hadapan kami. “Assalamu alaikum,” Aku mengucap salam sembari mengetuk pintu tiga kali. Lengang. Tak ada sahutan dari pemilik rumah sampai akhirnya aku mengulang salam dengan suara yang lebih keras. “Waalaikum salam.” Seorang perempuan berusia enam puluh tahunan menjawab salamku dari samping rumah. Dia mendekat ke arahku menatap lek
Sepulang dari rumah Bude, aku mengajak Mas Damar ke rumah orang tuaku. Selain rindu dengan mereka, aku juga tak sabar ingin mendengar pengakuan Bapak mengenai masa lalunya. Hati ini masih saja menolak percaya dengan kenyataan yang Bude ceritakan. Rasanya seperti bermimpi padahal jelas-jelas kedua mataku sedang melek. Ibu langsung menyambut hangat kehadiran kami. Setengah berlari dia mendekat mobil yang kami kendarai seolah tak sabar menungguku keluar. “Alhamdulillah..., Sekar. Akhirnya kamu ke sini juga. Ibu kangen, Nak!” Baru saja turun dari mobil Ibu langsung memelukku erat. “Sekar juga kangen, Bu,” sahutku setelah pelukan kami terurai. “Maafkan Ibu atas kejadian tempo hari. Ibu benar-benar tak bermaksud menyudutkanmu. Hanya saja Ibu tak sanggup melihat anak Ibu ada yang sengsara,” akunya. Sebisa mungkin aku memaksakan senyum meski hanya mampu membentuk lengkung patah. Jika mengingat hari itu, perih di hati kembali terasa. “Sudahlah, Bu. Aku juga sudah melupakannya,” jawabku
Keesokan harinya aku mengajak Mas Damar mencari alamat yang diberikan Bapak. Untung saja suamiku seorang petani, jadi bebas untuk libur tanpa harus terbentur aturan. Setelah lima jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Tadi kami sempat bertanya sana sini sampai akhirnya berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua yang cukup megah. Halamannya juga luas dengan sebuah taman bunga terletak di dekat pagar. Aku berteriak mengucap salam sambil mengedor pintu gerbang. Seorang perempuan paruh baya keluar dari rumah lalu berjalan mendekat ke arah kami. “Cari siapa ya?” tanya perempuan itu dari balik pintu gerbang. “Maaf, Bu. Apa benar ini kediaman keluarga bapak Sastro?” tanya Mas Damar sopan. “Iya benar. Kalian siapa?” jawab perempuan itu dengan ramah. Aku sedikit bingung harus jawab apa. Rasanya tak sopan jika menceritakan dalam posisi seperti ini apalagi menurut Bude dulu pernikahan Bapak tak direstui. “Apa kami bisa bertemu beliau? Ada yang penting yang harus kami sam
“Kenapa marah? Faktanya memang begitu. Yang dikatakan Mas Rafly pasti benar!” tuduh Mas Rendy. Tanpa banyak bicara, Mas Damar bangkit lalu melayangkan tinju tepat di wajah Mas Rendy sampai dia tersungkur. Sedikit pun aku tak ingin mencegah apalagi membantunya berdiri. Mbak Arum, Mbak Mela dan Ibu menjerit bersamaan. Mereka mendekat berusaha melerai. Mungkin mereka tak menyangka suamiku seliar itu. “Sekali lagi kalian menuduh kami. Akan kurobek mulut kalian!” Mas Damar mundur kembali ke tempat semula. Namun dia tak duduk. Hanya berdiri berkacak pinggang. Ibu dan Mbak Arum membantu Mas Rendy berdiri. Ibu menyeka darah segar mengucur deras dari sudut bibir kakakku. Hening sesaat. Kami larut dalam suasana tegang yang mencekam hingga deru nafas kami yang memburu terdengar jelas. Aku menyeka sudut mata, menata hati mengontrol emosi. Apa yang mereka tuduhkan terlampau menyakitkan. Mungkin ini saatnya aku harus bertindak tegas agar mereka sadar diri. “Kemasi barang kalian! Aku tak sudi
Sekarang hari pertama Bapak dan Ibu tinggal di rumah kami. Mereka terlihat tak enak hati dengan Ibu mertuaku.Aku cukup paham dengan keadaan ini. Biar bagaimanapun, tinggal serumah dengan besan pasti tak nyaman apalagi ini masih terhitung rumah mertuaku. Rumah ini memang tak terlalu besar. Hanya memilik tiga kamar tidur tanpa kamar tamu. Untung saja kakaknya Mas Damar sudah punya rumah sendiri. Jadi kamar yang dulu dia tinggali sekarang bisa dipakai oleh orang tuaku. Pagi ini Mas Damar sengaja enggak ke sawah. Katanya ingin menemani Bapak dan Ibu dulu biar kerasan. Kalau ditinggal takutnya mereka malah merasa diabaikan. Aku berjalan menuju teras, membawa nampan berisi dua gelas kopi lalu meletakkan di hadapan Mas Damar dan Bapak. Mereka sedang mengobrol seputar pekerjaan suamiku. “Di minum dulu, Pak kopinya,” tawarku. “Terima kasih, Sekar. Maaf ya Bapak merepotkan kalian,” ucap Bapak. “Enggak apa-apa, Pak. Sudah kewajiban kami sebagai anak,” tukas Mas Damar.Bapak tersenyum, men
Aku mematut diri di depan cermin, memindai penampilan seusai berdandan. Make up tipis yang kugunakan aku rasa sudah cukup. Hari ini aku mau kondangan. Ada tetangga sebelah rumah yang dulu sedang hajatan.Semula aku ingin Mas Damar mengantar, tapi karena sepertinya dia sibuk, aku membatalkan niat. Rencananya aku mau mengajak Mbak Mela saja. Dia kan juga diundang. Dengan menggunakan sepeda motor aku bertandang ke tempat tinggal kakakku. Aku cukup takjub karena rumah yang dulu terkesan kumuh kini terlihat lebih rapi. Hanya saja masih tetap memprihatinkan.“Assalamu alaikum, Mbak!” teriakku di depan pintu. Pintu terbuka. Mbak Mela menyembul, menatap heran pada penampilanku. “Kamu cantik banget, Sekar. Mau ke mana?” puji Mbak Mela. Aku tak kaget dengan pujian yang dia ucapkan. Sejak tinggal di sini perangainya berubah menjadi lebih baik, meski kadang kalau ngomong masih suka asal ceplos. “Kan mau kondangan ke rumah Bik Inah. Mbak juga di undang kan?” tanyaku balik. Entah kenapa Mbak
Setelah melewati banyak pertimbangan, akhirnya aku dan Mas Damar memutuskan untuk berkisah pada Bapak dan Ibu mengenai apa yang kulihat bersama Mbak Mela. Kami sengaja mencari waktu yang tepat agar Ibu mertua tak tahu perihal ini semua. Biar bagaimanapun ini aib keluargaku. Ibu tertunduk penuh sesal sedangkan Bapak tertegun menatap gambar di layar ponselku. Meski gambarnya tak terlalu jelas, tapi aku yakin mereka masih mengenali wajah di foto itu. Aku yakin mereka terpukul, tak menyangka bakal setragis ini jalan hidup anak kedua mereka. “Jadi bagaimana, Pak? Apa aku harus memberi tahu pada Mas Rendy?” tanyaku. “Harus! Rendy harus tahu!” ucap Ibu berapi-api. Perempuan yang biasa sabar itu kini memperlihatkan sesuatu yang beda. Aku bisa melihat kilat kemarahan dari sorot matanya. Mungkin saja dia kecewa dengan fakta yang ada. Aku meminta ponsel dari tangan Bapak. Membuka kontak kemudian menghubungi Mas Rafly. Nomornya aktif, tapi panggilan ini tak kunjung tersambung. Kembali aku