Share

Bab 2

 

"Sah."

 

"Sah."

 

Usai kata itu menggema beberapa bait doa teruntai, mendoakan kami berdua yang sedang berbahagia. Namun, beberapa detik kemudian semua berubah kacau.

 

Ibu pingsan.

 

Semua orang berhamburan mengerubungi tubuh ibu untuk membangunkannya, aku sempat kesal karena momen hari ini harus dirusak olehnya.

 

"Pak! Bapak!" 

 

Akhirnya wanita cerewet itu membuka mata, ia panik mencari bapak.

 

"Beneran mahar Naura satu milyar?" tanya ibu dengan suara bergetar.

 

Aku melihat papa dan mama Feri saling lirik, mereka merasa aneh dengan kelakuan ibuku itu.

 

"Bener, Bu, kamu ini kenapa sih pakai pingsan segala, ayo bangun," jawab bapak dengan nada sedikit ketus.

 

"Kamu ... kamu dapat uang dari mana sebanyak itu hah? apa kamu minjam ke bank? atau ke rentenir?" tanya ibu sambil menatap suamiku.

 

"Sudah! Jangan tanyakan itu sama mantuku, ayo bangun!" Bapak terlihat ketus, ia pasti malu sekali.

 

Bapak segera minta maaf pada papa dan mama Feri, mereka tersenyum memaklumi, lalu selanjutnya dilanjutkan dengan acara sungkeman.

 

Ibu pun kembali bergabung dengan kami, saat aku ingin sungkem pada ibu hati ini sedikit ragu, entah kenapa rasanya malas saja meminta restu darinya jika teringat hal-hal kejam yang sering ia lakukan di masa lalu.

 

"Naura, uang satu milyarnya mana? uangnya biar Ibu yang pegang aja, kalau kamu yang pegang nanti habis pakai foya-foya ga jelas," bisik ibu saat aku memeluknya.

 

Momen haru berubah jadi menyebalkan, aku tak menjawab segera beralih sungkem pada ibu mertua.

 

"Naura, ini rekening atas nama kamu, mahar untukmu semua ada di situ ya, Nak." Ibu mertua memberikan satu kotak kecil berwarna merah, di dalamnya ada buku rekening dan sebuah ATM.

 

"Terima kasih, Bu. Terima kasih, Mas." Aku menatap ibu mertua dan Feri bergantian sambil tersenyum.

 

Canggung sekali memanggil Feri dengan sebutan mas.

 

"Dan ini cincinnya, pakaikan dong, Fer."

 

Suamiku itu malu-malu memasukkan cincin ke dalam jari manisku.

 

"Kalau gitu sekarang kalian poto dulu ya, baru nanti Poto sama keluarga," titah ibu lagi.

 

Ternyata Feri membawa satu orang potografer, lelaki yang memegang kamera itu mengaturku dan Feri untuk melukakan pose manis dan mesra.

 

Setelah puas Poto berdua dilanjut dengan Poto keluarga, betapa malunya aku melihat kehebohan ibu yang memakai banyak gelang emas di kedua tangannya, kalung rantai yang besar, juga cincin yang melingkar di jari manis, telunjuk dan jari tengah.

 

Ibu seperti toko emas berjalan.

 

"Eh, Mas, ambil Poto yang bener ya, ini nih kalung saya harus kelihatan."

 

Aku malu saat papa dan mama Feri melihat kekonyolan ibu, begitu pula dengan bapak, lelaki itu mencengkram lengan ibu memberi kode agar diam.

 

Acara selanjutnya yaitu makan-makan, segala hidangan yang kumasak semalam telah tersaji di hadapan, mama dan papa mertua menyantap dengan raut bahagia, apalagi suamiku, ia sampai nambah dua kali.

 

"Besan, enak 'kan masakan saya dan adiknya Naura?" tanya ibu membuatku menoleh, hampir saja aku tersedak jika tak secepatnya minum.

 

"Oh jadi ini buatan bu besan?" tanya mama dan papa Feri.

 

"Iyalah saya yang masak, abisnya Feri ngasih uang masak sedikit mana cukup buat bayar tukang masak," jawab ibu dibuat manis.

 

Aku yakin jika Feri tak memberikan mahar satu Milyar ibu takkan bersikap semanis ini.

 

"Yang masak ini semua Naura kok, Bu, Pak. Semalam dia asyik di dapur, saya ga bisa bantu karena lelah bantuin dia belanja ini itu seharian," sahut bapak.

 

Barusan ibu sudah menganga ingin bicara lagi, tapi keburu dipotong olehnya.

 

"Oh pantesan enak banget ya, Pa," ucap mama mertua sambil melirik suaminya.

 

"Kamu ga salah pilih calon istri Fer. Pinter masak, cantik dan ga matre," sahut papa mertua.

 

Aku jadi malu.

 

Ujung mataku melihat wajah ibu dan Dara, mereka terlihat memajukan bibir, sepertinya ia tak terima dengan pujian tulus papa mertua.

 

Usai makan keluarga besar Feri pulang, mereka membiarkan Feri menginap di sini semalam.

 

"Pengantin baru jangan ke mana-mana dulu, pamali, besok kami bawakan mobil ke sini untuk jemput kalian." Pesan terakhir papa mertua sebelum pergi.

 

Aku langsung masuk ke kamar setelah keluarga besar mertua pergi, lalu membuka kebaya dan segala riasan yang menempel di badan.

 

"Make up-nya ga usah dihapus, aku suka lihatnya," goda Feri sambil rebahan di kasur.

 

Aku tersenyum malu sekali.

 

"Udah ah, aku mau ke dapur.

 

Langkah kakiku terhenti karena tubuh Feri menghalangi.

 

"Ngapain ke dapur? kamu itu udah jadi nyonya Feri bukan Upik abu lagi, masa nyonya harus beres-beres dan cuci piring." Ia mulai menatap nakal.

 

Padahal sebelum menikah lelaki ini kalem sekali, belum pernah bicara menggoda, kenapa sekarang berubah? 'kan aku jadi salah tingkah.

 

"Ih Mas apa-apaan sih, cuci piring itu udah tugas perempuan." Aku mesem-mesem.

 

"Udahlah, sekali ini aja biar adikmu yang kerjakan, sekarang duduk sini." Feri menuntunku duduk di kasur 

 

Aku baru ingat seumur hidup belum pernah lihat Dara mengerjakan pekerjaan rumah, ia anak pemalas, bahkan bajunya saja aku yang mencuci.

 

"Mau apa sih, Mas?" tanyaku, antara malu dan takut campur jadi satu.

 

Takut saja lelaki itu meminta haknya sekarang, aku belum siap.

 

"Kamu berhenti kerja ya, aku ga mau kamu capek," pinta Feri, aku sedikit lega kukira ia meminta hak sekarang.

 

Saat ingin menjawab pintu kamarku terbuka, wajah Dara langsung terlihat di balik pintu.

 

"Dipanggil Ibu tuh," ucap Dara tak sopan.

 

Sekarang ia sudah ganti baju, memaki celana pendek sekali serta tangtop mini, bahkan pusarnya yang putih kelihatan, untung suamiku buang pandangan.

 

"Kak Feri juga dipanggil bapak di depan," ucap Dara sambil menatap suamiku.

 

Feri segera ke luar kamar sambil menundukkan wajah, setelah itu ibu dan Dara nyelonong masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu buru-buru.

 

"Naura, mana duit satu milyar itu siniin, biar Ibu aja yang pegang," pinta ibu maksa 

 

"Itu uangku! Dan aku ini udah gede, udah bisa nyimpen uang."

 

Rasanya kesal sekali, selama aku bekerja ibu selalu minta semua gajiku, lalu sekarang uang mahar pun diminta juga.

 

"Oh udah berani ngebantah kamu ya, mau jadi anak durhaka? mentang-mentang punya duit banyak berani ngelawan orang tua," sergah ibu dengan tatapan sinis.

 

"Kalau iya Ibu mau apa? udah cukup selama ini Ibu nikmati hasil kerja kerasku, bahkan saat Ibu dan Dara memperlakukanku tidak adil pun aku diam aja," balasku dengan tatapan menantang.

 

"Kalau kamu ga mau ngasih, maka Dara akan menggoda Feri, dia pasti jatuh cinta sama Dara, mau kamu kaya gitu?" 

 

Aku geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan jalan pikir wanita tua ini.

 

"Oh kamu mau goda suamiku, silakan!"

 

Mata ibu membeliak, mungkin tak menyangka untuk pertama kalinya aku membangkang.

 

"Itu kotaknya, Bu, ambil ajalah, banyak drama." Tatapan mereka berdua tertuju pada kotak merah yang berisi rekening dan ATM dari suamiku.

 

Dengan kecepatan kilat ibu mengambil kotak itu lalu menyembunyikannya di belakang punggung.

 

"Balikin, Bu!" teriakku kalap.

 

"Uang ini hanya disimpan, Naura, kebangetan kamu ya."

 

"Ayo buruan keluar, Bu, aku udah ga sabar pengen hape baru," ucap Dara sambil narik tangan ibu untuk keluar kamar 

 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status