Share

Bab 4

 

 

Suasana heboh lagi karena ibu pingsan, bapak dan papa mertua mengangkat tubuh ibu dan membaringkannya di sofa.

 

Tak lama ia terbangun, matanya langsung melotot dan mengitari sekeliling rumah Feri.

 

"Bangun, Bu, ini di rumah orang," ucap bapak, dari suaranya ia seperti risih dengan sikap istrinya itu.

 

Ibu pun bangun dibantu oleh bapak.

 

"Ini tuh beneran rumah Feri, Pak?" tanya ibu.

 

"Iya bener. Udah itu duduknya yang bener."

 

Mama mertuaku tersenyum. "Gimana Bu besan? udah baikan?"

 

Ibu mengangguk. "Udah," jawabnya datar.

 

"Naura, ini Farhan kakaknya Feri, dan Jeni istrinya, kalian pasti belum saling kenal 'kan?" tanya ibu memperkenalkan anak dan menantunya.

 

Aku menatap mereka berdua sambil tersenyum, bahkan aku dan Kak Jeni saling berjabat tangan.

 

"Salam kenal ya, semoga betah di sini," ucap Kak Jeni ramah, sementara Kak Farhan hanya tersenyum sungkan.

 

"Iya, Kak," jawabku sungkan.

 

Meski mama mertua baik dan rumahnya bagus tetap saja rasanya sungkan tinggal dengan mereka, itu kata teman-teman yang sudah lama menikah, ternyata kata-kata itu tak salah.

 

Kami semua dijamu makanan enak oleh mama mertua, ia begitu ramah padaku, bahkan pada ibu yang terkesan jutek, aku jadi malu punya ibu sepertinya.

 

"Bu Besan, Anda ini kelihatannya orang berada, tapi kenapa ya nikahkan anak ga pakai pesta, saya sebagai ibunya Naura malu loh," celetuk ibu, sontak mama dan papa mertua meliriknya.

 

Duh bikin malu lagi.

 

Tapi mama mertua malah tersenyum. "Kita akan adakan pesta kok, Bu Rita, rencananya sih dua mingguan lagi."

 

Mama mertua beralih memandangku.

 

"Naura, kamu bisa undang teman-temanmu nanti ya, soal pesta itu biar kami yang urus," ucap ibu ramah.

 

"Kenapa ga kemarin aja sih barengan pas akad pestanya di rumah saya, jadi 'kan saya ga malu," celetuk ibu lagi.

 

Sepertinya bapak mencubit lengan ibu karena wanita itu sempat mengaduh.

 

Mama dan papa mertua saling pandang, seperti kebingungan menjawab argumen ibu yang menyakitkan.

 

Sebenarnya aku tak masalah menikah tanpa pesta, yang penting sah dan setelah itu aku dan suami bisa hidup sakinah mawadah warahmah.

 

"Begini, Bu, sebenarnya saya nyari calon istri itu sangat teliti, saya mencari istri itu yang baik dan salihah, saya bermaksud menguji Naura, kira-kira dia mau ga kalau pernikahann¹ya dibuat sederhana dan ternyata dia mau, berarti dari sini saja saya sudah menilai Naura itu wanita seperti apa," tutur Feri sangat hati-hati.

 

Oh jadi itu maksudnya tak mengadakan pesta, aku jadi curiga sebenarnya ia bukan karyawan di garmen tempatku bekerja, apa jangan-jangan ia menyembunyikan identitasnya agar tak terlihat kaya?

 

"Ya udah terserah kamu, tapi pesta resepsinya nanti diadakan di rumah saya ya, anggap aja itu pengobat rasa malu keluarga kami kemarin," sahut ibu dengan nada ketus.

 

"Bu, sudahlah." Bapak menegur terlihat malu sekali dengan sikap istrinya.

 

"Lah iya, Pak, emang kenapa ada yang salah?" Ibu melotot menatap bapak

 

Setelah itu ia beralih menatap besannya. "Anda harus tahu waktu akad kemarin, banyak tetangga bisik-bisik gosipin keluarga kami, katanya saya nikahkan janda lah, nikah karena hamil duluan, coba Ibu bayangkan jika posisinya ada di keluarga saya.'

 

Ibu makin ngotot, alhasil makanan yang tersaji jadi nganggur karena tak disantap.

 

"Kalau saya sih terserah Feri sama Naura mau di mana saja, di sini boleh di gedung atau hotel juga boleh, di rumah Bu besan juga boleh."

 

Aku langsung melongo masa iya mau ngadakan resepsi di hotel? apa mereka sanggup bayar?

 

"Pokoknya harus di rumah saya." Ibu keukeuh.

 

"Soal itu saya akan bicarakan dulu sama Naura, Bu," timpal Feri hingga tak ada lagi yang bicara.

 

Usai makan keluargaku istirahat di ruang tamu, kulihat Dara poto-poto di rumah itu, mama dan papa mertua yang memperhatikan dari jauh menatap tak suka pada adikku itu 

 

"Kita lihat kamar kamu ya, letaknya di atas," ajak Feri.

 

Aku takjub kamar Feri ternyata dua kali lipat luasnya dari kamarku, di dalamnya juga ada kamar mandi dan AC, berbeda denganku yang selalu memakai kipas angin.

 

"Sebelum punya rumah kita tinggal di sini dulu ya, aku tuh pengennya bangun rumah dari awal bukan beli jadi, kamu setuju ga?" tanya Feri lagi.

 

"Emang kamu punya uang buat bangun rumah?"

 

Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang menumpuk di kepala, tapi aku belum berani bertanya lebih banyak.

 

"Ada lah, nanti kita cari tanahnya sama-sama ya, yang cocok sama kamu."

 

Aku mengangguk.

 

Ada yang mengetuk pintu, aku berjalan membukanya ternyata itu mama mertua memberitahu jika ibu dan bapak akan pulang sekarang.

 

"Bapak pulang dulu ya, kamu baik-baik di sini, jadilah istri dan menantu yang baik." Pesan bapak sebelum pergi.

 

Setelah kedua mobil yang tadi mengantarkanku tak terlihat lagi kami semua masuk ke dalam, aku sebenarnya sungkan harus ke mana, ke kamar merasa tak enak karena di dapur piring kotor bekas makan kami tadi masih menumpuk.

 

Tapi jika kukerjakan sekarang tubuh ini rasanya lelah ingin rebahan, ternyata beginilah dilemanya tinggal dengan mertua.

 

Apalagi mama mertua tak lagi menyapa, ia nyelonong masuk ke kamarnya sedangkan papa mertua entah ke mana, dan Feri pamit keluar membeli sesuatu.

 

Terpaksa aku ke dapur cuci piring, karena sepertinya di rumah ini tak ada pembantu.

 

Usai mencuci piring aku langsung masuk ke kamar, dan untuk menuju tangga aku melewati sebuah kamar, di dalam sana terdengar suara Kak Jeni menyebut-nyebut namaku.

 

"Duit satu milyar itu terlalu gede buat gadis kampung rendahan kaya dia, Bu, Feri emang bo*oh." Itu suara Kak Jeni.

 

Tubuhku langsung lemas, apa dua wanita itu tak menyukaiku? tapi kenapa mereka bersikap baik dan ramah di hadapan semua orang?

 

"Mama juga sebenarnya ga setuju, Jeni, tapi gimana lagi." Itu suara mama mertua.

 

Ya Tuhan, ternyata mereka bermuka dua, di hadapan manis tapi dibelakang menghina.

 

"Atau jangan-jangan dia lagi yang meminta mahar sebanyak itu?" tanya Kak Jeni.

 

Mereka berdua bicara keras sekali, seolah tak takut aku mendengarkan.

 

"Ga tahu, Jen, Mama juga kesel Feri ngasih mahar sebanyak itu."

 

"Ibunya aja kayaknya mata duitan, anaknya juga pasti gitu, Ma, aku kasihan sama Feri, baru mulai aja udah minta mahar satu milyar, apalagi nanti." 

 

"Kayaknya Feri salah milih istri, Jen." Mama bersuara kembali.

 

Air mataku tak terasa menetes, jika begini lebih baik aku tak diberi mahar uang sebanyak itu, hati ini benar-benar sakit.

 

"Kita harus lakukan sesuatu, Ma, supaya Feri benci sama istrinya dan setelah itu Feri akan menceraikan perempuan kampung itu."

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status