Share

Bab 6

 

 

"Sebenarnya apa, Bu?" tanyaku makin penasaran.

 

Feri yang sedang memakai kemeja pun melirik, ia mengangkat dagunya kode bertanya.

 

"Dara sudah hamil, dia harus secepatnya nikah Ibu malu kalau tetangga tahu hal ini, pokoknya beri Ibu uang, ga mau tahu." Ibu terdengar ngotot.

 

Aneh juga bukannya calon suami Dara itu katanya kaya, kenapa minta uang padaku?

 

"Emang calon suami Dara ga ngasih uang buat acara nikahan, Bu? 'kan dia kaya?"

 

"Banyak tanya kamu ya, uang yang dikasih Alvin itu ga cukup buat pesta besar-besaran, pokoknya sekarang juga kamu transfer!" tegas ibu.

 

Aku mematikan panggilan secara sepihak, benar-benar pusing dengan tingkah laku ibu, ia benar-benar gila pujian.

 

"Kenapa sih?" tanya Feri.

 

"Ibu minta uang, Mas."

 

"Buat?" Dahi Feri mengerenyit.

 

"Acara pernikahan Dara."

 

Feri terlihat menghela napas.

 

"Terus kamu mau ngasih?" tanya Feri sambil menatapku.

 

"Kayaknya engga deh, lagian itu duit juga dipakai foya-foya," jawabku dengan malas.

 

Biarlah ibu semakin membenciku, lelah rasanya selalu menuruti keinginannya sejak dulu.

 

"Ya udah terserah kamu, aku berangkat kerja ya, pulang nanti kamu harus udah wangi." Ia terkekeh lalu mencubit pipiku.

 

Suamiku sudah pergi sambil mengendarai motornya, padahal di rumah ini ada mobil entah itu mobil siapa, yang jelas sejak kenal pertama kali dengannya Feri selalu mengenakan motor ke mana-mana.

 

Rutinitasku pagi ini yaitu mencuci piring usai sarapan, ternyata mama memiliki asisten rumah tangga, tapi ia hanya kerja sampai siang.

 

"Naura, Mama mau bicara."

 

Aku menoleh. Iya, bicara apa, Ma?" 

 

"Mama minta kamu jangan ngadu-ngadu ke Feri ya, jangan buat keretakan antara kami," ucapnya dengan suara pelan.

 

Kegiatanku yang sedang mencuci piring terhenti, karena aku tak merasa melakukan apa yang mama tuduhkan.

 

"Aku ga ngadu kok, Ma, waktu itu aku jelas banget denger Mama ngobrol sama Kak Jeni," jawabku masih lemah lembut juga 

 

Mama menghela napas lalu mengajakku duduk di ruang makan. "Cuci piring biar dilanjutkan Mbak Eka saja."

 

Mama menyebut nama pembantunya.

 

"Waktu itu Mama memang bicarakan kamu sama Jeni, kamu harus tahu sebenarnya Mama setuju-setuju aja Feri ngasih mahar satu milyar, hanya saja Farhan dan Jeni yang keberatan katanya mahar segitu kebanyakan."

 

Aku menelisik wajahnya baik-baik, tak bisa membaca apa isi kepalanya, kemarin saat bicara dengan Kak Jeni ia seolah membenciku, lalu sekarang malah berubah lembut.

 

"Gitu ya, Ma. Aku tanya Mama sebenarnya merestui pernikahanku dan Mas Feri ga sih?"

 

Mama menundukkan kepala, entah apa yang dipikirkannya.

 

"Mama sama papa ngerestui kalian, hanya saja kamu harus hati-hati di rumah ini, Jeni ga suka sama kamu."

 

Dahiku mengerenyit, kenapa mama seolah takut pada Kak Jeni, bukankah ini rumahnya?

 

"Memangnya kenapa kalau Kak Jeni ga suka sama aku, Ma?" tanyaku lagi.

 

"Pokoknya hati-hati saja ya, jangan sampai membuat Jeni marah, dia itu pendendam orangnya," ucap mama lagi.

 

"Dah ya Mama tinggal." Perempuan itu pun segera pergi.

 

Entahlah aku tak mengerti apa yang terjadi diantara mama dan Kak Jeni.

 

Tiba-tiba bapak menelpon, aku segera menggeser gambar gagang telpon berwarna hijau di layar ponsel.

 

"Naura, kamu ke sini ya, Bapak benar-benar ga kuat menghadapi ini sendirian," ucap bapak dengan suara parau.

 

"Emang kenapa, Pak? soal Dara ya?" tanyaku mulai gelisah.

 

"Pokoknya kamu ke sini, bisa 'kan?"

 

"Iya iya, Pak, aku ke sana."

 

Usai menutup panggilan aku menelpon Feri berpamitan, ia pun mengizinkan, karena mama tak ada aku hanya titip pesan pada Mbak Eka

 

Dari rumah mama mertua ke rumah bapak membutuhkan waktu empat puluh lima menit jika naik ojek beda lagi jika naik kendaraan roda empat 

 

Sambil mengucap salam aku nyelonong masuk ke rumah bapak, lelaki itu sedang termenung di kebun belakang rumah, entah ke mana ibu dan Dara.

 

"Assalamualaikum, Pak. Bapak kenapa?"

 

Ia berbalik badan lalu aku mencium punggung tangannya.

 

"Bilang dulu ga sama Feri kamu mau ke sini?" tanya Bapak.

 

"Udah kok, Pak. Emang kenapa?"

 

Lelaki yang berumur lima puluh tahun lebih itu mengembuskan napas.

 

"Bapak ga tahan sama sikap ibumu dan Dara, mereka mau bikin pesta pernikahan besar-besaran, ibumu juga ngotot suruh jual tanah warisan bagian kamu." Bapak tertunduk.

 

Aku menyenderkan punggung ke dinding, kali ini ibu memang keterlaluan, dan aku tak ingin lagi mengalah demi Dara.

 

"Jangan jual dulu, Pak, itu tanah bagianku."

 

Bapak mengangguk, pria ini sejak dulu selalu kalah dengan istrinya, aku jadi heran mengapa ia tak memiliki kekuatan untuk melawan.

 

"Bapak akan serahkan sertifikatnya sama kamu kalau gitu, biar tenang, biar ibumu ga minta terus."

 

Aku menganggukkan kepala, tak lama ibu dan Dara datang, wajahnya merah karena kepanasan, sepertinya mereka habis dari luar.

 

"Pak, sebentar lagi keluarga calon suami Dara mau ke sini, ayo kita bersiap, mereka itu bukan keluarga sembarangan, mereka pengusaha ga kaya besan Bapak yang satu itu." Ibu mendelik ke arahku 

 

"Bu, Dara hamil berapa bulan sih?" tanyaku sambil menatapnya.

 

"Belum periksa, Naura, katanya baru beberapa minggu telat datang bulannya." Kali ini nada bicaranya tak lagi angkuh.

 

"Anak itu, sudah buat keluarga malu!" sahut bapak kesal 

 

Ibu langsung melotot ke bapak. "Yang bikin malu itu Naura, nikah tanpa pesta, kalau Dara keluarga calon suaminya itu kaya mana mungkin ngasih uang masak sedikit."

 

Aku dan bapak geleng-geleng kepala melihat keangkuhan wanita ini.

 

"Anak berzina kamu biasa aja, Bu? harusnya itu anak dicambuk, bukan terus dimanjakan!" tegas bapak

 

"Sudah sudah. Bu, pokoknya nanti kalau anak itu udah lahir Dara harus akad lagi karena menikah dalam keadaan hamil ga sah," sahutku, wajah ibu langsung manyun.

 

"So tahu kamu, ga usah ceramah! Sebagai kakak kamu harus bantu biaya pernikahan adikmu, biar duit satu milyarmu itu berkah."

 

Usai berkata begitu, ibu meninggalkan kami, tak berselang lama keluarga calon suami Dara datang menggunakan sebuah mobil, ibu langsung heboh menyuruhku dan bapak ke depan untuk menyambut.

 

"Soal tanggal biar keluarga di sini saja yang menentukan, kami siap kapan pun acara pernikahannya dilaksanakan," ujar seorang wanita berhijab yang kutaksir ibunya Alvin.

 

"Yang pasti lebih cepat lebih baik, Bu," sahut ibu.

 

"Ya, saya juga maunya begitu," timpal bapaknya Alvin, sedikit lebih tua dari bapak.

 

"Lalu uang masaknya mana? mau saya belanjakan untuk keperluan pesta nanti, oh ya satu lagi Nak Alvin harus kasih mahar yang fantastis, kaya Naura kemarin, maharnya satu milyar, bisa 'kan?" ibu terkekeh sedangkan keluarga Alvin saling pandang.

 

Wajah bapak terlihat malu sekali.

 

"Maaf, Bu, untuk uang masak kita hanya bisa ngasih segini, soalnya buru-buru sih." Bapaknya Alvin menyerahkan sebuah amplop yang tak terlalu tebal.

 

Ibu langsung melongo memandang pemberian besannya itu.

 

"Dan untuk mahar saya cuma bisa kasih lima ratus ribu, ga apa-apa 'kan, Bu? lagian Dara udah hamil ini."

 

Aku mengulum senyum mendengar ucapan kekasih Dara itu, masa pengusaha cuma ngasih mahar lima ratus ribu 

 

"Lima ratus? ya ga bisa, Nak Alvin, Naura aja yang suaminya cuma buruh biasa ngasih mahar satu milyar, kamu ini 'kan pengusaha," sergah ibu dengan melotot.

 

"Tapi usaha Alvin ini belum besar, Bu Besan, masih merintis," sahut ibunya Alvin memancing rasa penasaranku.

 

"Emang Alvin punya usaha apa, Tante?" tanyaku memberanikan diri.

 

Ibunya Alvin melirik suaminya. "Usaha jualan cilok, Nak, masih kecil-kecilan belum memiliki banyak pedagang."

 

"Apa?! Jualan cilok?!" sahut ibu dengan nada tinggi, sejujurnya aku ingin terbahak tapi susah payah ditahan.

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status