Share

Bab 7

Ibu melirik Dara sambil melotot, sedangkan Dara merenggut menahan jengkel, sesekali menatap kesal calon suaminya.

"Berarti kamu bohongi kami selama ini ya, Alvin, kamu bilangnya punya usaha, ke sini suka bawa makanan mahal, suka bawa mobil lagi," gerutu ibu, bibir merahnya seperti komat-kamit saat bicara.

Sedangkan kedua orang tua Alvin saling lirik keheranan, mungkin baru tahu kelakuan besannya seperti mahluk jadi-jadian.

"Bohong apa, Bu? 'kan emang bener saya punya usaha, usahanya bikin cilok, abis itu saya nyuruh orang buat jual keliling, Ibu berdoa saja biar usaha saya makin sukses setelah nikah nanti," sahut Alvin biasa saja.

Benar juga lelaki itu, sekecil apapun usaha yang kita miliki tetap saja kita akan dibilang pengusaha.

"Lalu itu mobil yang kamu pakai punya siapa?" tanya ibu lagi.

Bapak geleng-geleng kepala menahan malu dengan kelakuan ibu yang matrenya ga ketulungan.

"Ibu jangan banyak tanya ke mana-mana, sekarang kita pokus ke pernikahan, ga usah ngadain pesta segala, kayak Naura aja kemarin gitu," jawab Alvin.

Lelaki itu sekarang berubah, dulu sangat berwibawa dan berkelas, dari segi bicara dan penampilan, sekarang setelah mau menikah ia jadi kelihatan buriknya.

Ibu cemberut sambil meraih amplop coklat pemberian besannya, mata bulat ibu hampir keluar dari tempatnya saat ia berhasil menghitung uang pemberian Alvin.

"Kamu ga salah ngasih uang lima juta?" tanya ibu sambil melempar amplop itu ke atas meja.

"Hah lima juta? yang bener aja, Vin." Kali ini Dara bersuara.

Aku mengulum senyum, rasanya puas sekali melihat Dara terjatuh dari langit, karena biasanya ia selalu sombong dan merasa di atas awan.

Pendidikan tinggi dan memiliki kekasih yang royal menjadikannya sombong, ditambah dengan sikap ibu yang selalu memanjakan.

Walaupun lulus kuliah dengan nilai pas-pasan, tapi wanita itu enggan bekerja, ijazahnya nganggur di lemari, karena setiap bulan Alvin selalu memberikannya uang jajan.

Berbeda denganku, lulus SMA langsung bekerja di garmen, berangkat pagi pulang kadang malam, dan jika waktu gajian maka ibu sudah standby minta bagian.

Bukan minta bagian lebih tepatnya merampas bagian, jika aku tak sembunyi-sembunyi nyimpan uang mungkin pertengahan bulan aku sudah tak memegang uang.

"Uangku 'kan selalu dikasih ke kamu tiap bulan, masa uang yang sering kukasih ga pernah ditabung buat tambahan biaya pernikahan kita," sahut Alvin tak mau kalah.

"Enak aja, itu jatah uang jajanku. Harusnya kamu inisiatif nabung sendiri, aku ga mau ya pernikahan kita diadakan sederhana." Dara mendelik angkuh.

"Halaah banyak gaya, kamu itu udah hamil sudah untung mau kunikahi, ga usah banyak minta!" tegas Alvin.

Aku menganga, baru pertama kali lihat Dara diremehkan, oleh calon suaminya pula, salah dia sendiri sih tak bisa jaga kehormatan, jadinya begitu ujung-ujungnya direndahkan lelaki.

"Cukup, Alvin! Kamu menghina anak saya?! Kamu lupa dia itu berkelas, pendidikannya tinggi, cantik. Jangan macam-macam kamu ya!" Ibu menunjuk wajah calon menantunya.

"Ngapain pendidikan tinggi tapi ga punya akhlak, harusnya dia hargai saya yang berjuang mau menikahinya, bukan kaya gini, ditinggalin baru tahu rasa." Alvin terlihat kesal.

Kulihat bapak menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, acara lamaran Alvin tak semulus waktu lamaran Mas Feri, lebih banyak perdebatan dan penghinaan.

"Sudah sudah, Alvin benar, Bu, Dara itu sedang hamil jadi ga usah neko-neko, sudah untung Alvin mau tanggung jawab," sahut bapak menengahi perdebatan memalukan ini.

"Loh kok malah bela dia, bukannya bela Dara anak Bapak sendiri." Ibu ngotot tak terima.

Aku geleng-geleng kepala, jika aku yang di posisi Dara mungkin sudah habis dicaci olehnya, bahkan bisa jadi ibu mengusirku dari rumah.

"Jadi ini mau gimana, Bu besan? jadi ga nikahnya? kalau Anda ga mau nerima uang masak segitu ya ga apa-apa, kita ambil kembali, dan silakan cari lelaki lain yang mau tanggung jawab terhadap bayi yang dikandung Dara," sahut bapaknya Alvin.

Aku langsung menelan saliva, Dara yang cantik dan berpendidikan benar-benar hina sekarang.

"Gimana ini, Dara? kamu sih mau aja dibodohi lelaki?" Ibu melirik putri kesayangannya.

"Tau ah, Bu, aku mau nikah secepatnya tapi ga mau sederhana mauanya adakan pesta mewah." Dara cemberut sambil melipat tangan di dada.

"Beneran kamu mau nikah sama Alvin yang hanya jualan cilok?" tanya ibu, seketika Alvin dan keluarganya melirik tak suka.

"Iya lah, gimana lagi mana ada lelaki yang mau nikah sama aku sekarang, tapi tetep aku mau nikahnya ada pesta, harus mewah dan ada hiburan orkes dangdut juga," jawab Dara keukeuh

Aku memijat kening, entah apa isinya otak Dara, sudah hamil malah mikirin pesta mewah, kalau aku jadi dia udah malu sama tamu-tamu.

"Ya sudah kalau gitu ini uang lima jutanya saya terima, soal mas kawin kamu tambahin lagi jangan segitu," ujar ibu ketus.

Padahal saat masih pacaran ia selalu baik dan bersikap lebay jika Alvin datang membawa makanan enak dan mobil bagus.

"Baik, nanti Ibu kabari saja tanggal pernikahannya," sahut bapaknya Alvin.

"Terus pesta resepsinya gimana, Bu?" tanya Dara dengan nada manja.

"Aku ga mau acara nikahannya sederhana kaya Naura."

Ah ia memang tak pernah memanggilku kakak, sekali pun di hadapan orang lain, dasar adik minim akhlak.

"Iya Dara, pernikahan kamu tetep akan ada pesta besar-besaran seperti yang kamu inginkan, soal biaya 'kan ada Naura." Ibu melirikku.

Aku langsung melotot tanda protes, selalu seperti itu ibu menjadikan aku mesin ATM untuk anak kesayangannya.

"Ya sudah kalau gitu kami pulang sekarang, nanti kabari saja ya, Bu."

"Iya," jawab ibu ketus.

Keluarga Alvin pulang, bapak memaksa ibu mengantarkan ke depan, sambil ogah-ogahan wanita itu berjalan menuruti titah bapak.

Tiba-tiba suamiku datang dengan motor maticnya, ini sudah masuk waktu istirahat, karena letak pabrik garmen berdekatan dengan rumah bapak makanya ia bisa menyusul kemari, karena tadi kami sempat saling kirim pesan.

Aku tersenyum melihatnya turun dari motor.

"Loh Pak Anwar," ucap suamiku sambil nunjuk calon besan ibu.

"Mas kamu kenal sama calon mertua Dara ini?" tanyaku, bapak dan ibu sepertinya tertarik dengan pertanyaanku.

"Tentu aja kenal, Pak Anwar ini sopir papa. Dan ini mobilnya, kenapa ga dibawa pulang, Pak? papa nungguin loh."

Semua mata menatap penuh tanya pada suamiku itu termasuk aku yang ikutan penasaran.

"Ma-maksudnya ini ... bukan mobil Alvin gitu?" tanya Dara sambil jalan dua langkah.

"Iya bukan, ini mobil papaku dan Pak Anwar sering minjem kalau mau pulang ke rumahnya."

Wajah ibu dan Dara langsung pucat, sukurin kena tipu kalian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status