Share

5. Tawaran Mengejutkan

 Mei baru saja memasuki kamar saat ponselnya berdering.

“Halo, Jun?”

“Udah sampai rumah, Mei?”

Ada rasa hangat yang merambati perasaan Mei demi mendengar pertanyaan Juna. Sudah sangat lama tiada orang yang menanyakan hal sarat perhatian semacam itu padanya.

“Baru aja sampai nih.”

“Hah? Gila, baru aja sampai? Yang bener aja, Mei?”

Mei tertawa renyah mendengar suara Juna yang ramai.

“Apa gue bilang? Lu bisa sinting kalau nganterin gue pulang tadi. Nih buktinya, cuma dengar gue baru nyampe rumah jam segini aja lu udah gila, kan?”

“Masa? Tapi kok lu nggak gila, Mei? Padahal tiap hari lu bolak-balik Jakarta-Depok?”

“Belum aja.”

Juna terbahak-bahak hingga Mei harus menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara tawa Juna yang keras.

“Pindah sini aja ke apartemen gue sebelum lu beneran gila, Mei!”

“Kumpul kebo dong?”

“Gue kan ganteng, dan lu cakep. Masa visual kayak kita dibilang kumpulan kebo sih?”

Mei terkikik. Terhibur celotehan Juna.

“Mei, video call, yuk?”

“Nggak, ah.”

“Napa? Insecure lu, Mei? Kamar lu jorok berantakan ya?”

“Sembarangan!”

“Terus kenapa dong nggak mau video call?”

“Gue lagi di kamar dan ini area privasi gue.”

“Gue kan calon suami lu, Mei?”

“Baru calon, belum sah jadi suami.”

“Yaelah, Mei ....”

“Eh. Btw, Jun. Soal penawaran elu kemarin tentang rencana pernikahan kita. Better kita bikin kontrak pernikahan, hitam di atas putih. The point is, biar aturan dalam hubungan kita nanti jelas. Jangan sampai ada toxic relationship."

“Whatever you want, Mei. Selama kau merasa nyaman dengan hubungan kita."

Mei tersenyum mendengarnya. Ucapan Juna terasa menyenangkan hati. Jawaban lelaki itu tepat seperti yang diinginkannya. “Thank’s, Jun.” Mei berbisik dengan wajah tersipu, untung saja Juna tak melihatnya. Mei pun menjitak kepalanya sendiri. Kenapa sikapnya seperti orang sedang pacaran sungguhan saja? Jelas-jelas dia sadar dasar hubungan ini seperti apa. Sama sekali tak ada kaitannya dengan romantisme.

“MEILANI ...!” bentak tante Dilla sambil mendobrak pintu kamarnya.

“Eh, i-iya ..., Tan?”

“Budeg ya kamu? Dipanggilin dari tadi nggak nyahutin. Punya kuping tuh dipakai ...,” omel si tante sambil menjewer kuping Mei seperti anak kecil.

Mei meringis menahan sakit. “A-aduh ..., aww..., i-iya. Maaf ..., Tan.”

“Buruan bikin kopi sana, dua cangkir buat Om Danu dan tamunya! Ngapain aja kamu? Enak aja ..., malah ketawa-ketawa teleponan. Ingat ya ..., kamu tuh di sini numpang! Jangan sok-sokan capek mau istirahat segala kayak nyonya rumah aja. Kerja keras itu emang sudah kewajibanmu buat bayar utang pengobatan ibumu yang penyakitan itu. Jangan manja! Sisa utang kamu masih jauh dari lunas. Dah. Buruan sana bikin kopi.”

Mei mengangguk dan menunduk, menghindari pelototan tantenya yang mengerikan. Lalu mengelusi dadanya saat si tante menutup pintu kamarnya dengan membantingnya hingga menimbulkan suara berdebum keras yang tak enak.

Mei terduduk di tepi kasur dan memegangi telinganya yang sakit akibat jeweran tadi. Tapi hati dan perasaannya yang terasa lebih sakit. “I miss you, Mam ..., I miss you so much,” desahnya sambil terisak pelan. Ia merindukan ibu yang melahirkannya, yang tak pernah mengasarinya seperti ini, baik dengan kata-kata apalagi tindakan.

Mei buru-buru menghapus air mata dan bergegas ke dapur. Melupakan ponsel yang tadi ia geletakkan begitu saja saat si tante menyerbu masuk kamarnya. Ponsel itu masih aktif menyala tanpa Mei sadari. Sehingga Juna tanpa sengaja bisa ikut mendengar apa yang baru saja terjadi.  

***

Mei menuju ruang tamu dan menghidangkan dua cangkir kopi yang mengepulkan aroma segar dan khas. “Silakan diminum, Om.” Mei mempersilakan usai meletakkannya di meja.

“Wah. Siapa ini, Danu?” ujar si tamu seraya memandangi wanita cantik di depannya.

“Ini Meilani keponakanku. Mei, kenalin ini teman Om, namanya Hans,” kata Om Danu memperkenalkan tamunya.

“Hans ini pengusaha sukses loh, Mei,” celetuk tante Dilla.

Mei mengulurkan tangan kepada Hans dan pria berkumis itu menyambut uluran tangannya sambil tersenyum, menatap Mei lurus-lurus. Mei buru-buru menarik tangannya, jengah mendapati kilatan mata Hans yang memandanginya seperti sedang melihat sepotong kue yang lezat.

“Oh, jadi ini yang namanya Meilani? Dilla memang pernah cerita soal kamu. Katanya dia punya keponakan yang cantik dan juga pintar. Kupikir tantemu cuma membual, karena cantik dan pintar itu jarang sekali kutemui dalam satu paket. Sekarang aku percaya,” kata Hans sambil terkekeh hingga sekumpulan lemak di perutnya ikut bergoyang.

Mei risih dipuji sedemikian oleh pria yang sudah menjadi om-om. Apalagi sepanjang bicara, tatapan Hans yang berkilat nakal tak henti-hentinya memindai Mei dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan berhenti cukup lama di sepasang tungkai Mei yang indah.

“Nah. Sekarang baru percaya kau, Hans? Aku tak omong kosong 'kan?” cecar Dilla dengan mata berkilat puas.

“Iya, Dilla. Percaya. Kan sudah kubilang tadi.”

“Eh. Bisakah kau pekerjakan Mei di kantormu, Hans? Dia sudah 5 tahun bekerja di perusahaan kecil, dan posisinya masih saja mentok sebagai staf purchasing,"desak Dilla lekas mengambil kesempatan. Mumpung dia bertemu langsung dengan Hans sekarang. Kalau titip omongan ini lewat Danu, suaminya, Dilla tak yakin bakal disampaikan.

"Oya? Wah, tahu begitu aku pasti akan menempatkan Mei di kantorku sejak dulu. Kenapa kamu baru bilang sekkarang?"

Dilla tersenyum seraya melirik dongkol pada suaminya karena tak pernah meminta langsung kepada Hans untuk mempekerjaan Mei di perusahaannya sejak dulu.

"Kenapa tak kau jadikan Mei sekretarismu saja, Hans? Kau sendiri yang bilang kalau Mei cantik dan juga pintar. Cocok banget kan buat posisi sekretaris presiden direktur?"

Mei menelan ludah gugup mendengar ucapan tantenya, 'Apa dipikir jadi sekretaris itu hanya perlu modal cantik dan pintar saja?' pikirnya sebal. Mei tentu tahu seperti apa beban kerja sekretaris seorang presiden direktur. Sedangkan Mei sama sekali tak berpengalaman sebagai sekretaris.

“Sayangnya aku sudah punya sekretaris,” sahut Hans seraya tersenyum sejenak pada Dilla. Lalu pria bertubuh tambun itu menjentikkkan jarinya, “Ah kebetulan ..., aku sedang butuh personal assistant. Nah, kau bisa mengisi posisi itu, Mei," lanjut Hans seraya menoleh dan menganguk kepada Mei yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Nah!” Dilla ikut-ikut menjentikkan jarinya dengan mata berbinar senang.

Mei justru lekas menggeleng. “Terima kasih, Om. Ta-tapi maaf, saya sudah telanjur nyaman dengan lingkungan kerja saya,” jawabnya terasa naif.

Dilla mengatupkan bibir rapat-rapat dan rahangnya tampak mengeras menahan kesal.

Hans tergelak. “Jangan terjebak dalam zona nyaman terus, Mei. Itu tak akan membuatmu cepat sukses dan banyak uang. Sesekali kau perlu move on, cari peluang gaji yang lebih tinggi, lalu ciptakan lagi suasana kerja yang nyaman di tempat barumu.” Pria itu malah menasihatinya.

Mei tak menampik kebenaran dalam kata-kata Hans, dia hanya enggan bekerja bersama pria yang terkesan mesum itu.

“Ah, sebut saja berapa gaji yang kau minta,” desak Hans sambil tak henti-hentinya menatap Mei. Meski berpakaian rumahan sederhana dan tanpa riasan, tapi kecantikan alami Mei memenuhi seleranya.

Melihat Mei terdiam, Hans terkekeh. “Baiklah. Bagaimana kalau kau jadi istriku saja, Cantik?”

Mei tercekat. Sedangkan tantenya menyahut dengan cepat, “Wah. Kenapa tidak, Hans? Kau sudah lama menduda dan Mei lama sekali menjomblo. Pas!” Lalu Dilla tersenyum penuh arti kepada Mei.

Seketika Mei memucat.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
ati2 kmu dgn tante mu .jangan2 tante mau menjodohin kmu dgn om2 itu jangan mau .hrs berani bilang kmu udah punya pacar ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status