Share

8. Simpati Berbuah Benci

Pada mulanya Mei justru sangat tidak menyukai Kevin. Cowok itu benar-benar dingin padanya. Padahal Mei sering berbaik-baik menyapa dan bersikap ramah. “Kev, ini buku elu jatuh,” katanya saat melihat sebuah komik meluncur dari meja Kevin lalu tergeletak di kaki kursi cowok itu. Mei memungut dan mengulurkannya pada si pemilik. Dan Kevin menyambarnya dengan cepat tanpa berterima kasih. Bahkan menoleh padanya saja tidak.

“Lu punya utang yang belum dibayar ya ke dia?” seloroh Raya yang menjadi teman sebangkunya saat itu. Mei pun menggeleng lugu.

Raya terkekeh pelan. “Perasaan tuh cowok sengak mulu deh sama lu, ada masalah apa sih kalian?” celetuk Raya membuat Mei kebingungan. 

Memangnya apa salah Mei?

Lalu Mei teringat pada momen pertemuan tak sengaja antara dirinya dengan Kevin di TPU Tanah Kusir. Saat itu Mei ikut maminya berziarah ke sana. Di tengah rapalan doanya untuk mendiang sang nenek, Mei mendengar isak tangis yang mengganggu kekhusyukannya berdoa. Diapun menoleh ke sumber suara. Tak jauh dari tempatnya, terlihat cowok sebaya dirinya tengah bersimpuh di depan pusara dengan bahu terkulai lemah, “Mama ...,” isaknya terdengar menyedihkan. 

Tangis cowok itu meremas perasaan Mei, ratapan itu menggugah rasa simpatinya.

“Ayo, Sayang. Kita pulang,” ajak maminya sambil merangkul pundak Mei.

Mei menurut dan mengikuti maminya. Tapi ada sesuatu yang terasa memberati langkah gadis remaja itu. “Mami duluan aja, ntar Mei nyusul. Sebentar kok,” katanya sambil merogoh isi tas sembari berbalik badan, ingin menemui cowok tadi.

Cowok yang menutupi kepalanya dengan tudung hoodie itu masih tergugu di tempatnya. Mei membaca tulisan yang terpatri di batu nisan. Tanggal kematian sudah setahun berlalu, tapi tangisan cowok itu seperti orang yang baru saja ditinggal pergi.

“Aku turut berduka. Semoga mamamu baik-baik di sana. Kamu juga harus baik-baik di sini ya, supaya mamamu tenang,” ucap Mei seraya meletakkan sebungkus tisu untuknya.

Seketika bahu cowok tadi menegang, serta merta isak tangisnya terhenti. Lalu cowok itu mendongak cepat padanya dengan mata sembab karena kebanyakan menangis. 

“Ke-Kevin?” Mei terkejut begitu mengenali cowok yang ternyata teman sekelasnya.

Dan sejak saat itu, sikap Kevin yang semula biasa-biasa saja mulai berubah dingin kepadanya. Namun Mei tak tega membalas ketidakramahan cowok itu dengan sikap yang sama, karena Mei pernah mendengar suara tangisnya yang menyedihkan. Mei justru merasa kasihan, tapi sepertinya Kevin jenis orang yang gengsi dikasihani.

Mei menerima saja sikap jutek Kevin padanya. Sampai suatu ketika di tengah masa datang bulannya, Mei tak mampu lagi mengontrol emosi karena pengaruh hormon.

“Kev, cuma elu yang belum ngumpulin tugas kelompok kita, padahal hari ini jadwal kita presentasi,” tegur Mei saat menjadi ketua kelompok. Dia harus menegur jika ada yang lalai melaksanakan tugas.

“Gue lupa,” sahut cowok itu seenaknya.

“W-what? Say it again,” ucap Mei menahan dongkol. Lalu mendengkus sebal saat Kevin tak jua merespons. “Paling nggak, minta maaf kek!” ketusnya kesal. Mei pun membuang napas jengkel karena dicueki. Oke, lu lihat aja ntar,”

ancamnya sambil berlalu pergi.

Saat guru mulai memanggil Mei untuk mewakili kelompoknya presentasi, Mei mengabsen seluruh anggota kelompoknya kecuali Kevin. “Loh. Bukannya Kevin masuk kelompok kalian?” tegur gurunya.

“Maaf, Bu. Saya lupa. Saya cuma mencatat nama-nama orang yang mengumpulkan tugas. Dan dia tak pernah bekerja sama mengumpulkan tugas. Jadi saya pikir ..., Kevin memang bukan kelompok kami.”

Jawaban Mei sontak menggegerkan seisi kelas. “Waaah, savage juga lu, Mei!” celetuk seseorang. Tak mengira seorang Mei yang pendiam bisa juga bersikap seperti itu.

Mei menyeringai puas kala tatapannya berbenturan dengan sepasang manik gelap Kevin yang menyorotkan kekesalan teramat sangat padanya. ‘Rasain lu!’ dalam hati Mei bersorak penuh kemenangan. 

“Heran. Ada masalah apa sih sebenarnya lu berdua?” bisik Raya saat Mei menduduki kembali bangkunya usai presentasi.

Well, lu tadi kan dengar sendiri. Dia nggak kerjain bagian tugasnya. So, bukan salah gue dong kalau mencoret nama dia dari kelompok. Nggak adil buat yang lain kalau dia cuma numpang nama buat dapat nilai, padahal yang lainnya sudah kerja keras.” Mei menyahut dengan santai. Pura-pura tak menangkap maksud pertanyaan Raya.

Raya geleng-geleng. “Ckckck. Poor Kevin,” gumam gadis berambut panjang itu sambil menoleh ke meja di sebelah mereka, mengasihani Kevin yang terus-terusan menekuk wajah gantengnya sejak Mei mempermalukan dirinya secara telak di depan kelas.

Kevin pun semakin dingin terhadap Mei, tapi Mei tak ambil pusing. Keduanya saling tak mengacuhkan sampai kenaikan kelas. Mei bernapas lega karena di kelas 12 tak lagi menjadi teman sekelas Kevin. Hatinya betul-betul plong. Perasaannya senang bukan main. Kevin tak ubahnya bisul yang selama ini tumbuh dan membesar di pikirannya, mengganggu kenyamanan. Dan pada kenaikan kelas itu akhirnya si bisul pecah dan menyingkir juga darinya. 

“Mei, lu kok kayaknya seneng banget pisah kelas sama gue?” Raya cemberut kehilangan teman sebangku seperti Mei, yang loyal berbagi contekan. 

“Gue seneng bukan karena pisah kelas sama lu kok, tapi sama ... ah, you knowlah!”

Raya terkekeh pelan. “Awas loh, Mei. Antara benci dan cinta itu kadang suka beda tipis.”

Bahu Mei berkedik. “Amit-amit, deh!” 

“Kenapa sih, Mei? Kok bisa-bisanya lu sebel sama good boy secakep Kevin?” tegur Sarah.

“Yup, dilihat dari segi manapun Kevin nggak kelihatan ada jelek-jeleknya. Sayangnya dia anak rumahan. Coba kalau anak basket atau anak futsal, udah gue samber!” Tania ikut menyahut.

Raya menyikut Mei yang cuek-cuek saja. “Daripada dimusuhin, pacarin aja kenapa sih, Mei? Mau gue bantuin? Jiwa mak comblang gue terpanggil nih,” ocehnya.

Mei mencebik. “Dih! Lu semua pada kenapa sih? Nyebelin, tahu nggak?” sahutnya sewot.

“Justru elu yang nyebelin, Mei. Sikap lu ke Kevin itu bikin kita semua penasaran tahu nggak? Nggak ada asap kalau nggak ada api. Lu berdua nggak mungkin mendadak perang dingin kalau nggak ada sebabnya. Ye, kan? Ngaku? Kenapa? Apa jangan-jangan … lu berdua pernah pacaran diam-diam di belakang kita, terus putusnya nggak baik-baik ya?” desak Sarah terasa menginterogasi.

"Pernah pacaran apanya!" semprot Mei sambil geleng-geleng kepala.

“Terus, apa dong masalah yang jadi gara-gara perang dingin kalian?” desak Tania.

Ah. Mei memang jengkel dengan sikap Kevin, tapi Mei masih punya hati. Mei pikir Kevin kesal padanya karena kepergok sedang menangis dan Mei malah memberinya tisu segala. ‘Mungkin gengsinya sedang merasa terhina,’ pikir Mei mencoba maklum. Maka Mei tak pernah membocorkan pertemuan mereka di TPU Tanah Kusir itu pada siapapun, yang menjadi asal muasal kebencian Kevin padanya dan memicu perang dingin mereka. Demi gengsi dan harga diri Kevin, Mei berbaik hati tutup mulut.

“Awas loh, Mei. Naksir Kevin tahu rasa lu!” 

Mei tak habis pikir, tega banget teman-temannya itu malah menyumpahinya. Dan secepat itu pula sumpah mereka jadi kenyataan.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dyah Anggrahini
jalan critanya bagus,kreatif n ga garing
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status