Share

Bab 2

Namun, ternyata dia bukan suamiku.

“Bu, sebaiknya Ibu pindah tidur di kamar, di sini udara semakin dingin.” Niar mengelus kembali pundakku.

“Pukul berapa ini, Ni?”

“Sudah jam sembilan malam, Bu.”

Aku terhenyak dan mengumpulkan ingatanku. Tadi aku sedang menunggu suamiku dan aku malah ketiduran di sini?

“Apa, Mas Mirza sudah pulang saat aku tidur, Ni?” tanyaku pada wanita muda itu. 

Niar menggeleng, itu artinya tidak ada Mas Mirza di rumah ini. Aku melihat kembali ponsel yang tergeletak di sampingku, tidak ada pesan atau panggilan dari Mas Mirza.

“Thalita sudah tidur?”

“Sudah, Bu.”

“Sudah makan?”

“Sudah, Bu. Apa Makanan ini perlu saya hangatkan kembali, Bu?” Niar menunjuk hidangan yang masih utuh di atas meja. Hanya berkurang sedikit, mungkin Niar yang mengambil waktu memberi Thalita makan.

Hatiku kembali seperti disayat pisau. Perih dan pedih merajai sanubari. Aku menggigit bibir, meredam sakit saat kembali mengingat pesan terakhir suamiku.

“Terserah, mau kamu apakan makanan itu,” ucapku sendu.

Aku berdiri dan pergi ke kamarku. Membanting tubuhku ke atas ranjang besar tempat ternyamanku jika bersama Mas Mirza. Aku menangis sejadi-jadinya, menumpahkan amarah lewat air mata.

Jadi pesan yang tadi pagi dia kirim untukku memang nyata dari Mas Mirza? Dia tidak sedang mengerjaiku dan bukan memberi kejutan padaku. Apa yang membuat Mas Mirza dengan berani menceraikanku? Mungkinkah di luar sana Mas Mirza memiliki wanita lain, dan aku tersisih oleh wanita yang baru?

“Tidak, ini tidak mungkin, TIDAK!!”

Aku menjambak rambutku frustrasi. Kembali aku mencoba menghubungi nomor Mas Mirza. Namun, hasilnya tetap sama. Hanya operator yang selalu menjawab panggilanku.

*

Pagi ini aku bangun dengan keadaan yang memprihatinkan. Mataku membengkak dan menghitam karena terlalu banyak menangis. Kepalaku berat dan sedikit sakit. Hal pertama yang aku lakukan, mengecek ponsel untuk melihat mungkin ada satu pesan dari suamiku. Masih sama, tidak ada pesan maupun panggilan darinya.

Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini, aku akan pergi ke rumah Mama mertua, untuk menanyakan putra pertamanya.

Setelah beberapa saat bersiap, aku turun ke bawah mencari Niar yang mungkin sedang di dapur. Benar, wanita muda itu masih berkutat dengan alat masak. Niar menghangatkan makanan yang kemarin aku masak.

“Ni, saya akan pergi ke rumah Mama. Titip Thalita, ya. Jangan bilang aku pergi ke rumah Oma-nya, dia akan ngambek jika aku pergi tanpa mengajaknya.”

“Iya, Bu. Apa sebaiknya Ibu sarapan dulu?” tawar Niar.

“Tidak usah, Ni. Saya harus buru-buru, takut Thalita keburu bangun.”

Setelah berucap demikian, aku berlalu dari hadapan Niar. Hari masih terlalu pagi untuk berkunjung. Namun, aku tidak punya pilihan lain selain menemui Mama untuk mendapatkan penjelasan dari pesan yang dikirim Mas Mirza.

Aku menghela napas panjang saat tubuh ini duduk di belakang kemudi. Menyalakan mobil dan langsung melesat membelah jalan di pagi hari.

Tiga puluh menit berlalu, kini mobilku sudah terparkir di halaman rumah bernuansa pedesaan. Tumbuhan hias dan bunga menjadi pelengkap keasrian rumah yang sudah tua dimakan usia. Namun, tidak sedikit pun mengurangi keindahan dari tempat dilahirkannya suamiku.

“Eh, Non Aletta, silahkan masuk?” Bibi yang bekerja untuk Mama membukakan pintu dan menyuruhku masuk.

“Mama ada, Bi?”

“Ada, Non. Sedang sarapan. Silahkan duduk, biar saya panggilkan dulu,” ucap Bibi.

Aku menggelengkan kepala. Aku bukan tamu di rumah ini, melainkan menantu yang bisa masuk kapan saja. 

“Gak papa, Bi. Biar saya temui Mama saja di ruang makan,” kataku dengan terus melangkah masuk.

“Tapi, Non ....”

“Kenapa?” tanyaku heran. Tidak biasanya si Bibi bersikap begini.

Biasanya aku selalu masuk dan menemui Mama di mana saja. Dia juga tahu itu. Tapi, sekarang dia aneh dan menunjukkan kekhawatiran di wajahnya. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.

“Aletta!” Mama memanggilku dari ambang pintu ruang makan. “Ada apa, Sayang pagi-pagi sudah ke sini. Apa Thalita sakit, mana cucu Mama?” tanyanya lagi penuh dengan kelembutan. 

Melihat Mama, aku semakin merindukan sosok putra pertamanya. Mas Mirza mewarisi kelembutan dan rasa penuh kasih dari Mamanya ini.

Mama berjalan dari tempatnya berdiri, lalu menggiringku untuk duduk di sofa ruang tengah.

“Thalita tidak ikut, Ma. Ada yang ingin Letta tanyakan pada Mama.”

“Apa?”

“Ini tentang Mas Mirza, Ma. Apa dia ada menghubungi, Mama?” Aku menatap lekat mata indah wanita yang telah melahirkan suamiku.

Bibirku tertarik ke atas saat Mama menganggukkan kepala.

“Kapan, Ma? Apa yang dia katakan sama Mama?” tanyaku antusias.

“Hanya menanyakan tentang kesehatan Mama, Papa juga adiknya. Tidak ada yang terlalu serius dengan percakapan kami.”

Hatiku lega mendengar suamiku ada menghubungi keluarganya. Setidaknya, mungkin mereka akan bisa menjawab kegundahan hatiku.

“Kapan?” Lagi aku bertanya.

Mama seperti mengingat-ngingat lalu berkata, “Tadi malam.”

Deg!

Tadi malam Mas Mirza ada menghubungi Mama, tapi dia tidak menghubungiku yang selalu menunggunya untuk menjelaskan maksud dari kata talak yang dikirim padaku.

Itu artinya, Mas Mirza memang sengaja mendiamkanku setelah mengirim pesan singkat itu. Itu artinya juga, dia benar-benar menceraikanku?

“Kenapa, Letta?” tanya Mama melihat kebisuanku.

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Membuka pesan Mas Mirza dan memperlihatkannya pada Mama.

“Dia menceraikanku lewat pesan, Ma.” Aku berkata dengan menahan tangis. Tidak, jangan menangis di sini, mungkin saja itu bukan dari Mas Mirza. Tapi, dari orang yang iseng.

“Jadi ... Mirza sudah mengatakannya?” Pertanyaan Mama bagaikan bongkahan batu yang mengimpit dadaku.

“Ma-maksud, Mama ... jadi benar, Mas Mirza menceraikanku, begitu?”

Mama menggenggam tanganku, matanya menatapku sendu.

“Maafkan, Mirza, Aletta. Mungkin ini yang terbaik buat kalian.”

“Maksud Mama apa, bicara seperti itu? Tidak mungkin Mas Mirza menceraikanku, kita tidak punya masalah, Ma. Kita baik-baik saja,” sergahku.

Mama hanya menatapku iba. Aku mencekal lengan Mama yang hendak pergi meninggalkanku.

“Ma, jangan pergi. Jelaskan dulu kenapa Mas Mirza menceraikanku. Apa dia juga cerita ke Mama untuk bercerai dariku?”

“Iya, Aletta iya. Dia bilang akan menceraikanmu, dan sekarang kamu sudah bukan istri dari putraku lagi. Puas kamu?!” Mama menghempaskan tanganku yang mencekalnya.

Mama pergi meninggalkanku dengan sejuta tanya. Aku berusaha mengejarnya, aku butuh penjelasan kenapa Mas Mirza tega menceraikanku, sedangkan kita tidak punya masalah apa pun.

“Ma, tunggu! Aletta belum selesai, kenapa Mas Mirza menceraikanku, Ma? Setidaknya, beri satu alasan kenapa dia meninggalkan aku dan Thalita!” ujarku lagi memohon.

Mama tidak menggubris teriakanku. Dia berjalan setengah berlari menaiki anak tangga satu persatu.

“Ma, tolong jawab!” Aku tidak bisa membendung air mataku. Kini aku sudah menangis dengan terus memanggil Mama mertuaku.

“Ma ...!”

Setelah di ujung tangga paling atas, Mama berbalik dan melihatku yang berdiri penuh harap.

“Apakah Mas Mirza meninggalkanku karena wanita lain, dia memiliki—“

Tenggorokanku tercekat, tidak bisa aku selesaikan kata-kataku saat Mama menganggukkan kepala. Sebilah pisau kembali menggores luka hati yang masih basah. Lalu Mama berjalan dan hilang di balik pintu kamarnya.

Brukk!

Aku menjatuhkan bobot tubuhku ke lantai. Aku tertunduk bersimpuh. Air mataku kian deras berjatuhan ke pangkuan. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menangis sesegukkan melepaskan kesakitan. Tapi, sayangnya semakin aku menangis, semakin sakit pula aku rasakan.

“Bangunlah, Letta. Tidak ada gunanya kamu menangis.”

Aku melihat ke samping, pada orang yang berdiri tidak jauh dariku. Dia ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Mampir thoorr
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status