Share

Bab 3

Reza, berdiri tidak jauh dariku. Dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam saku celana, seorang dokter muda itu melihatku dengan datar tanpa ekspresi.

“Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan, Za. Makanya kamu bisa berkata seperti itu,” ucapku ketus. Aku mengusap pipiku yang basah dengan kasar. Berdiri dan duduk kembali di sofa.

Reza pun melakukan hal yang sama. Dia duduk di sofa tepat di depanku.

“Kamu itu terlalu manja, terlalu bucin, hingga diceraikan kakakku saja, kau anggap sebagai bencana besar.” Dengan melipat kedua tangannya di dada, dia terkekeh mengejekku.

Perbedaan yang sangat kontras antara Mas Mirza dengan Reza adiknya. Mas Mirza orangnya supel, memiliki kelembutan yang mampu membuat siapa pun jatuh hati. Sedangkan Reza, dia laki-laki es yang menurutku sangat kaku. Itu juga yang membuat dia sampai hari ini belum memiliki kekasih.

“Perceraian bagiku adalah bencana besar, karena aku tidak pernah berpikir menikah untuk berpisah. Aku selalu membayangkan akan hidup selamanya dengan Mas Mirza ....”

“Dan, bayanganmu tidak seindah kenyataan, bukan? Heh, menangis pun percuma. Karena kenyataannya, kau sudah bukan lagi istri kakakku.”

Benar, memang benar. Aku bukan istri Mas Mirza lagi. Alasan Mas Mirza menalakku pun sulit aku percaya. Tidak ada tanda-tanda kalau suamiku telah memiliki wanita lain di luar sana. Dia selalu bersikap manis dan mesra padaku.

Tidak ada wangi parfum wanita lain yang menempel di bajunya saat pulang kerja. Tidak ada noda bekas lipstik ataupun lipstik yang terbawa ke rumahku. Tidak ada pesan aneh yang masuk ke gawainya selama ini. Tidak pernah juga aku menemukan nota belanja atau makan malam romantis di restoran mewah.

Semuanya normal dan aku tidak pernah menaruh curiga sedikit pun pada Mas Mirza. Karena memang tidak ada yang mencurigakan. Namun, nyatanya aku telah tertipu. Dia begitu rapi menyimpan kebusukkannya.

"Kenapa diam? Ucapanku benar, 'kan?" ujar Reza membuatku geram. 

"Aku akan mencari tahu semuanya sendiri," kataku dengan ketus. 

Aku menyugar rambut. Sepertinya sudah cukup aku mencari-cari alasan kenapa Mas Mirza menceraikanku. Aku sudah tahu dan sangat menyakitkan.

Aku bangkit dari dudukku, mengambil tas dan pergi melenggang keluar dari rumah mertuaku. Percuma aku di sini, semuanya sudah usai. Aku telah kalah dari wanita yang baru saja dikenal Mas Mirza.

Aku duduk di belakang kemudi, menjalankan mobil untuk kembali ke rumah. Apa yang harus aku jelaskan pada Thalita, bahwa ayah yang selalu dirindukannya sudah tidak lagi peduli padanya. Kembali air mataku merembes keluar menghalangi pandangan. Cepat aku mengusapnya, agar bisa melihat dengan normal. 

"Ya Tuhan ... sakit sekali." Aku berujar sendirian.

Saat aku tiba di rumah, Thalita sudah siap dengan seragam sekolahnya. Dia yang duduk di bangku TK, terlihat manis dan cantik. Senyumnya yang khas mengingatkanku pada Papanya.

‘Kenapa kamu tega, Mas. Apa kamu tidak mengingat Thalita?’ gumaku dalam hati.

“Mama, Mama dari mana, kok kayak nangis?”

Gadis kecilku memang pintar, dia selalu tahu kondisi hatiku.

“Iya, Sayang. Tadi, Mama habis jenguk teman yang sakit. Jadinya Mama sedih, deh. Thalita mau berangkat ke sekolah, ya? Jangan nakal, ya Sayang. Belajar yang baik, oke?” Aku menempelkan ibu jari dan telunjukku membentuk huruf O.

“Iya, Mama,” ujarnya dengan menangkup dan mengusap kedua pipiku.

‘Lihatlah, Mas. Putrimu sangat manis, sama sepertimu.’

Setelah kepergian Thalita yang diantar Niar, aku hanya berdiam diri di atas pembaringan. Sungguh, aku tidak memiliki gairah hidup. Aku memang terlalu mencintai suamiku. Aku menyerahkan seluruh hatiku untuknya.

Aku tidak pernah menyangka jika dia akan menjatuhkan hatiku dari ketinggian hingga menjadi hancur berkeping-keping.

*

Di sini aku sekarang, di kantor tempat Mas Mirza bekerja. Sebenarnya, ini adalah kantor peninggalan Papaku. Mas Mirza bisa menempati posisi sebagai direktur, atas rekomendasi dari Papa.

Papa meninggal dua tahun yang lalu, menyusul Mama yang telah berpulang terlebih dahulu. Aku memiliki saudara laki-laki yang tinggal jauh di luar kota. Sedangkan di sini, aku hanya tinggal seorang diri.

Aku selalu mengandalkan Mas Mirza dalam segala hal. Dari mulai perusahaan sampai perasaan. Aku sangat mempercayainya, tapi dia malah mengkhianatiku.

“Selamat siang, Bu. Apa ada yang bisa saya bantu?” ucap seorang perempuan saat aku hendak masuk ke ruangan Mas Mirza.

Aku memindai dia dari atas hingga bawah. Sepertinya aku baru melihatnya di sini.

“Kamu siapa?” Aku balik bertanya pada wanita berusia sekitar dua puluh tahunan ini.

“Saya, sekertaris yang baru di sini, Bu.”

“Oh, pantas aku baru melihatmu. Cantika?” tanyaku.

Cantika adalah sekertaris lama suamiku. Dia sudah bekerja sangat lama di sini, dari mulai magang, sampai jadi sekertaris direktur.

“Oh, Mbak Cantika mengundurkan diri karena ikut suaminya ke luar kota,” ujar perempuan yang aku tahu bernama Sandra itu.

“Menikah? Kapan?” tanyaku pada Sandra.

Mas Mirza tidak pernah cerita kalau Cantika menikah dan memilih ikut dengan suaminya.

“Emm, hampir satu bulan yang lalu, Bu. Suaminya juga bekerja di perusahaan ini, tapi dia ditugaskan di kantor cabang yang berada di luar kota.”

Luar kota, satu bulan yang lalu? Ini aneh, Mas Mirza pergi ke luar kota satu bulan yang lalu. Dan Cantika menikah juga satu bulan yang lalu. Mas Mirza juga bilang akan berangkat dengan sekertarisnya. Apa mereka ...?

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Menepis segala kemungkinan yang ada di depan mata. Jika dugaanku benar mereka berdua mengkhianatiku, aku tidak akan mengampuni mereka.

“Letta!”

Panggilan dari seseorang mengalihkan bayanganku dari Cantika dan Mas Mirza. Rupanya dia Dion—sahabat sekaligus wakil direktur yang membantu pekerjaan Mas Mirza di perusahaan ini.

“Dion, apa kabar?” tanyaku pada pria itu. 

“Aku baik, kamu sendiri? Tumben mau main ke kantor, biasanya juga ogah-ogahan.”

“Aku baik juga,” kataku. “Ya ... mau liat-liat aja, sudah lama juga tidak main ke sini.” Dion manggut-manggut mendengarkan jawabanku.

Dion mengajakku ke ruangan Mas Mirza. Harum parfum Mas Mirza masih bisa tercium saat aku masuk ke dalam. Membuatku semakin merindukan pemiliknya. Namun, rinduku harus kukubur mengingat statusku yang sudah menjadi mantan.

“Mirza apa kabar?” tanya Dion.

Aku berdiam. Jangankan tahu kabarnya, dia makan atau tidak saja, aku tidak tahu. Aku menggeleng tanda tidak punya jawaban.

“Kok, geleng-geleng kepala. Oh, kebetulan nih kamu datang ke kantor ini. Aku mau tanya, kenapa Mirza bisa mengundurkan diri dari perusahaan?”

Deg!

Mengundurkan diri? Aku menatap lekat manik hitam Dion yang juga menatapku.

“Ma-maksud kamu apa, bilang kalau Mas Mirza mengundurkan diri?” tanyaku penasaran.

Dion memilih duduk di sofa tempat istirahat Mas Mirza. Sedangkanku, duduk di kursi kebesaran Mas Mirza.

“Loh, masa kamu gak tahu kalau Mirza, sudah mengundurkan diri satu bulan yang lalu. Aku sampai kebingungan mencari ganti dia dan pekerjaanku jadi sangat banyak. Mumpung kamu ada di sini, sekalian aja aku mau minta saranmu. Sebagai pemilik perusahaan ini, menurutmu siapa yang pantas menggantikan posisi suamimu itu?”

Aku bergeming, mencerna semua yang diucapkan Dion. Aku sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan ini. Ini aku yang tidak konsen, atau Dion yang salah bicara? Aku tidak tahu.

Tubuhku tiba-tiba sangat lemas, hatiku kembali berdenyut. Banyak sekali rahasia yang disembunyikan Mas Mirza dariku.

“Aletta, are you ok?”

Aku tidak menjawab, menutup wajah dengan kedua tanganku.

“Aletta. Kenapa malah menangis?”

“Aku diceraikan suamiku.”

“What?!”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
kayaknya bukan pelakor deh kayaknya murza sakit dan di senbubyikab
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu liat d flm rusngsn Mirza ada yg d bw g aset2 mu ada yg mencurigakan g dn kmu hrs urus kantor cabang yg d dtngin Mirza .kmu bikin dia dn s pelakor sengsara dn g dpt pekerjaan d mana2 ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status