Reza berjalan menghampiriku dan menyerahkan dua benda tipis dan sebuah kunci ke tanganku. Aku menelan saliva dengan sangat susah. Aku terus memandangi kedua jenis benda di tanganku.
‘Kenapa ini ada pada Reza?’ batinku.
“Aletta, ada apa?” Aku tersadar saat Kak Rasyid memanggilku. Dia turun kembali dari mobil dan menghampiriku yang mematung.
“Itu milik siapa, punya Mirza? Kenapa ada padamu?” tanya Kak Rasyid pada Reza.
“Seminggu yang lalu dia mengirimnya lewat ekspedisi. Aku tidak tahu kalau akhirnya dia akan meninggalkan Aletta,” ucap Reza.
“Kenapa dikembalikan? Bukankah ini akan sangat berguna untuk menghidupi wanita simpanannya?” Aku bertanya dengan sinis.
“Oh, simpanan ya? Ok, karena simpanan Mirza jauh lebih tajir darimu. So, dia sudah tidak membutuhkan itu lagi. Bawalah, dan jangan pernah terus mencari Kakakku. Aku harap, kamu segera mengurus perceraianmu ke pengadilan. Agar Kakakku bisa menikahi simpanannya secara negara.” Reza menekankan kata ‘simpanan’ pada setiap ucapannya.
Bugh!
“Kak!” jeritku saat Kak Rasyid memukul wajah Reza, hingga dia terhuyung.
“Katakan pada Kakakmu itu. Jangan terus bersembunyi jika dia masih laki-laki. Temui aku jika dia masih memiliki muka!”
“Ok, akan aku sampaikan.” Reza masuk ke dalam mobilnya dan pergi mendahului kami.
“Ayo Aletta, sebaiknya kita juga pergi dari sini.” Kak Rasyid menggiringku masuk ke dalam mobil. Aku melihat ke atas, dan menghembuskan napas kasar. Mobil membawaku menjauh dari rumah Mama, tapi serasa ada yang tertinggal di sana.
Aku masih menggenggam kedua kartu yang sering digunakan Mas Mirza. Satu kartu ATM, satunya lagi kartu kredit yang dia pakai untuk keperluan kantor. Dan, kunci vila yang berada di dekat kantor cabang.
“Itu kartu atas nama siapa? Kamu apa Mirza?” tanya Kak Rasyid.
“ATM atas nama Mas Mirza, untuk kartu kredit itu milikku. ATM ini, dia bikin waktu pertama bekerja sebagai direktur, lima tahun yang lalu.”
Kak Rasyid manggut-manggut mendengar penjelasanku. Pandangannya lurus ke depan memperhatikan jalan.
“Kamu tahu, berapa saldo terakhir ATM itu?” tanya Kak Rasyid lagi.
Aku mengingat-ngingat kapan Mas Mirza menggunakan kartu itu. Setahu aku, Mas Mirza hanya menggunakan kartu itu untuk menyimpan sebagian gajinya. Dan untuk laba perusahaan, semuanya memang masuk ke dalam rekeningku.
“Aku tidak tahu, mungkin tidak terlalu banyak karena Mas Mirza hanya menyimpan sebagian gajinya di kartu ini. Dan sebagiannya lagi, dia berikan padaku.”
“Mau mengeceknya?” tawar Kakakku.
“Tidak usahlah, Kak. Mau ada ataupun tidak ada isinya, tidak penting bagiku. Toh, itu haknya dia, upahnya dia dalam bekerja,” kataku menolak.
Namun, untuk kartu kredit, Kak Rasyid menyarankan agar aku memeriksanya. Kak Rasyid bilang, takutnya Mas Mirza menggunakan uang kantor untuk keperluan pribadinya. Aku pun mengiyakan, tapi tidak sekarang. Aku merasa sangat lelah harus terus berinteraksi dengan orang. Bukan tubuhku, melainkan hati dan pikiranku.
Setelah sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar setelah menyapa Kakak ipar dan keponakanku. Thalita tidak ada, kata Kak Melati, sedang pergi ke sekolah dengan Niar. Beruntung, sekolah Thalita tidak jauh dari rumah, jadi aku tidak terlalu khawatir.
Aku merebahkan tubuhku di atas pembaringan, menutup kepala dengan bantal.
“Aletta, bangun dan siapkan ini semua.”
Baru saja tubuhku merasa rileks, kini dibuat kembali tegang dengan permintaan Kak Rasyid.
“Apa ini, Kak?” tanyaku. Aku bangun dan mengambil ponsel dari Kakakku.
Aku menyugar rambutku, dan menggaruknya.
“Kumpulkan persyaratan ini dan segera ajukan gugatan ceraimu ke pengadilan. Akan Kakak kirimkan ini ke ponselmu,” ujarnya. Setelah beberapa saat, ponselku berbunyi menandakan ada pesan baru yang masuk. Tidak perlu aku lihat, itu pasti pesan dari Kak Rasyid tadi.
Di sana ada beberapa berkas yang harus aku siapkan agar bisa menggugat cerai Mas Mirza. Aku berdecak malas, karena ini pasti akan membuatku harus bolak-balik ke pengadilan nantinya.
Setelah menyiapkan yang dibutuhkan, aku menyerahkan berkas itu pada Kak Rasyid. Kak Rasyid bilang, biar pengacara yang akan mengurus itu semua. Meskipun nantinya aku akan tetap datang untuk mempercepat jalannya persidangan.
Selama satu minggu ini Kak Rasyid terus mendampingiku yang kembali bekerja di perusahaan. Dia terus mendorong dan mengajariku agar lebih tahu tugas dari seorang direktur.Sulit, lelah, takut, itu yang aku rasakan saat tahu semua kendali ada di tanganku. Aku adalah nahkoda untuk perusahaan ini. Aku pemimpin untuk seluruh karyawanku. Nasib mereka dan nasib perusahaan ada pada diriku.“Al, besok Kakak harus pulang. Kakak bukan tidak ingin mendampingimu, tapi Kakak juga punya tanggung jawab di sana. Kakak harap, kamu bisa bekerja dengan baik di sini.”“Secepat itu? Terus aku gimana, Kak? Aku belum siap memegang kendali perusahaan sebesar ini. Aku takut kalau aku gagal dan—““Aletta. Kamu tinggal menjalankan tugasmu sesuai dengan apa yang telah Kakak arahkan kemarin. Kamu tidak sendiri. Kamu punya tim kerja yang sangat bagus. Para staf yang sangat kompeten dalam bidang mereka masing-masing. Karyawan yang berdedikasi tinggi pada perusahaan. Apa yang kamu takutkan? Kebangkrutan? No Aletta. J
Perasaanku berkata kalau sebenarnya Reza tahu di mana Mas Mirza berada. Atau, hanya perasaanku saja?“Perlihatkan?” Aku memiringkan kepala dan menatap Reza penuh selidik.Raut wajah Reza berubah dari yang tadinya santai menjadi sedikit tegang. Namun, dia pandai menyembunyikan ketegangannya.“Iya, jika Om, ketemu nanti.” Dia membalas tatapanku dengan lebih tajam.Sepertinya aku harus menyelidiki Reza juga. Apa mungkin kepergian Mas Mirza ada kaitannya dengan Reza, atau Reza yang membantu kakaknya untuk pergi.Setelah hampir dua jam lamanya Reza berada di rumahku, dan bermain dengan putriku, akhirnya dia pamit pulang setelah Thalita tertidur karena kelelahan setelah bermain.Sepertinya ini kesempatanku untuk menginterogasi dia. Mencari tahu tentang Mas Mirza melalui adiknya.“Za, tunggu!” Aku menghentikan langkah kakinya yang hampir mendekati pintu.“Ada apa?” tanyanya jutek.“Sebenarnya, kamu tahu, ‘kan di mana Mas Mirza berada? Tapi kamu menutupi semuanya dariku. Iya, ‘kan?”Reza mena
Pagi ini sebelum aku pergi ke kantor, aku berniat akan mampir ke rumah Mama Marta terlebih dulu. Aku membawa semua barang milik Mas Mirza dan akan aku berikan pada keluarganya.Mungkin nanti mereka akan merasa sakit hati, karena kesannya aku telah mengusir putranya. Padahal, Mas Mirza sendirilah yang pergi terlebih dulu.Saat aku masuk ke dalam komplek perumahan Mama Marta, aku berpapasan dengan mobil ambulan yang melaju sangat cepat. Aku menghentikan laju mobilku, melihat mobil itu ke belakang yang sudah hilang membelah jalan.Aku meraba dadaku. Ada yang berdenyut saat aku berpapasan dengan ambulan itu. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Mungkin aku teringat Papa dulu, yang pulang ke rumah dengan kendaraan itu.Setelah sedikit tenang, aku kembali melajukan mobilku dan berhenti di halaman rumah Mama. Aku turun, kemudian menurunkan dua koper berisi pakaian Mas Mirza.Rumah Mama sepi, bak tek berpenghuni. Aku menekan bel dan mengucapkan salam.“Assalamualaikum.”“Wa
Jika kemarin-kemarin aku diam saja dan pasrah, tapi tidak untuk sekarang. Apalagi setelah aku menemukan beberapa bukti yang berkaitan dengan perginya Mas Mirza. Aku menyimpulkan kalau Mas Mirza tidak pergi keluar negeri bersama kekasihnya. Melainkan masih ada di sini, di sekitarku.“Nah, itu dia.” Aku berbicara sendiri.Aku pakai kaca mata hitamku, memakai sabuk pengaman, dan siap tancap gas mengikuti laki-laki itu pergi.“Kau bisa membohongiku, aku pun bisa menangkap basah dirimu,” gumamku.Mobil yang ditumpangi seorang pria dengan gelar dokter itu kini memasuki halaman rumah sakit. Aku menghentikan mobilku tidak jauh dari belakangnya. Untungnya aku sengaja memakai mobil kantor agar dia tidak curiga aku ikuti.Satu lagi, kejanggalan mengenai Reza. Dia seorang dokter yang sudah memiliki klinik sendiri, tapi kenapa dia harus pergi ke rumah sakit? Apa dia bekerja di dua tempat? Tidak masalah memang, tapi mungkin akan membuatnya lelah.Setelah Reza masuk ke dalam rumah sakit, aku pun tur
Ah, tidak mungkin Mas Mirza melakukan hal menjijikkan itu di kantor. Kalaupun iya, dengan siapa dia melakukannya? Karyawan di sini juga, kah? Aku benci pikiran burukku.Aku membawa pil itu dan memasukkannya ke dalam tasku. Sepertinya ini bukan sembarang obat.Setelah pulang dari kantor, aku mampir terlebih dahulu ke sebuah kafe tempat biasa aku menghilangkan penat sewaktu masih gadis dulu.“Aletta!”Aku menoleh saat seseorang memanggil namaku. Aku pun melambaikan tangan pada wanita yang berjalan anggun menghampiriku.“Hay, Ai. Apa kabar?” tanyaku, menyapanya terlebih dahulu.“Seperti yang kamu lihat, Al. Kabarku baik, kamu sendiri? Kalau dilihat dari penampilannya, sekarang kamu kembali bekerja?” Aira berucap dengan memindai penampilanku dari atas hingga bawah.“Heem, mari duduk.” Kami pun duduk berhadapan.“Ada hal apa, yang membuatmu ingin kita bertemu di sini? Kamu tidak sedang sakit, kan?” tanya Aira.“Ini.” Aku menyerahkan plastik kecil berisi satu pil yang aku bawa tadi.“Apa ka
“Aletta!”“Apa yang kau lakukan di sini?”Aku menggelengkan kepala. Air mata yang sedari tadi berjatuhan, kini berhenti dengan tiba-tiba. Aku mengusap pipiku dengan kasar.“Mana Mas Mirza?” Kening Reza berkerut, dia menatapku dengan penuh tanda tanya.“Apa maksudmu, menanyakan Mirza di sini?” tanyanya lagi.“Kata suster tadi, kamu masuk ke ruang di mana Mas Mirza di rawat, tapi di mana dia? Kenapa di sini tidak ada. Dan dia siapa?”Dadaku naik turun, mataku menatap Reza dengan tajam.“Dia, Mirza, pasienku. Lalu siapa yang kau cari?” Ucapan Reza membuat otakku bekerja lebih keras. Aku melihat pada orang yang terbaring di atas ranjang. Dia bukan Mas Mirza.Aku mengingat kembali ucapan suster di luar tadi. Aku tidak mungkin salah dengar kalau Reza memiliki pasien yang bernama Mirza. Tapi kenapa dia bukan Mas Mirzaku. Laki-laki yang tengah terbaring lemah di atas ranjang dengan tangan yang terpasang jarum infus, hanya melihatku dengan bingung.Mana mungkin aku salah lihat, dia bukan Mas M
Rapat yang aku pimpin sudah selesai. Untung saja aku bisa datang tepat waktu dan tidak membuat klien harus menunggu. Kalau saja itu terjadi, akan membuat citra perusahaan sedikit menurun.“Kamu tadi dari mana? Kenapa bisa datang siang ke kantor?” tanya Dion. Saat ini aku dan Dion sedang makan siang bersama di restoran yang tidak jauh dari kantor.“Aku mencari Mas Mirza,” jawabku tanpa menoleh pada Dion.“Bukannya kamu bilang, kalau Mirza berada di luar negeri bersama kekasih barunya? Lalu untuk apa kamu mencarinya di sini?”Aku menyimpan sendok dan mengambil gelas berisi jus mangga kesukaanku. Meminumnya sedikit, lalu menyimpannya kembali.“Aku menemukan beberapa bukti kejanggalan tentang perginya Mas Mirza. Entahlah, aku merasa kalau Mas Mirza tidak mengkhianatiku.”“Kamu terlalu mencintainya, Al.”Ya, benar yang dikatakan Dion. Aku sangat mencintai Mas Mirza. Dia tidak memiliki celah untuk aku membencinya. Selama hidup enam tahun dengannya, Mas Mirza tidak pernah meninggikan suara d
Seandainya aku bisa memutar waktu, ‘tak akan aku ijinkan dia pergi. Seandainya aku tahu yang akan terjadi, ‘ku akan terus berada di sampingnya hingga matahari tidak bersinar lagi.Kupandangi satu persatu gambar dia dalam album foto pernikahan kami. Semuanya sangat nyata tanpa rekayasa. Senyumnya, sorot matanya yang selalu berbinar bahagia.Aku sudah menghilangkan sebagian kenangannya dari kamar ini. Namun, aku tetap tidak bisa melupakan Mas Mirza. Bucin, itu yang selalu mereka katakan jika kita terlalu mencintai pasangan kita. Dan aku, adalah salah satunya.“Bu, maaf ... di luar ada tamu yang ingin bertemu dengan, Ibu.” Niar mengetuk pintu lalu bicara memanggilku.“Siapa, Ni?” tanyaku dari dalam.“Temannya, Bapak. Teman kerjanya,” ujar Niar.Aku menutup Album foto dan menyimpannya kembali ke tempat semula. Aku ke luar dari kamar, menemui si tamu yang datang.“Dion? Ada apa kamu datang ke sini malam-malam?” Rupanya Dion yang datang bertamu malam ini.“Maaf, Al mungkin aku tidak sopan b