Share

Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak
Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak
Penulis: Siti Aisyah

Satu

"Apa? Kamu mau minta dihubungkan dengan wifi milikku?" tanya Mbak Sindi sambil melotot. 

"Iya, Mbak. Kali ini saja karena penting," jawabku seraya menyodorkan ponselku dengan harapan ia memberikan sandi wifi-nya. 

"Makanya pasang wifi sendiri, dong. Jangan nebeng mulu. Kamu pikir wifi ini tidak bayar apa? Lagi pula siapa, sih, yang mau kamu hubungi? Nggak penting amat." Mbak Sindi--istri Mas Gani itu melengos. 

Sudah beberapa hari ini aku di desa kelahiranku karena bapak sakit dan akhirnya kemarin meninggal . Aku ingin menghubungi salah seorang karyawan toko sekaligus orang kepercayaanku  untuk bilang padanya kalau kami--aku dan Mas Ubay--suamiku belum bisa pulang. 

Sayangnya, di desa ini susah signal sehingga aku tidak bisa menghubungi orang yang kumaksud. Kebanyakan orang di sini sudah pasang wifi karena tidak bisa menggunakan paket data apa pun kartunya termasuk punyaku yang hanya E sehingga tidak bisa mengirim maupun membalas pesan. 

Di rumah ibu dan bapak juga tidak pasang wifi karena hanya ada mereka berdua yang tinggal di rumah ini. 

"Kalau aku dan Mas Ubay menetap di desa ini sudah pasti pasang wifi, Mbak, tapi masalahnya aku tidak akan lama di sini karena setelah tujuh hari bapak, kami juga akan kembali ke kota." Ponselku masih menggantung di udara, tetapi tidak ada tanda-tanda kakak iparku itu berkenan mengambil untuk menyambungkan wifinya. 

Bukannya menuruti permintaanku, kakak iparku malah ngeloyor pergi. Aku menggeleng, dari dulu wanita itu tidak pernah berubah, sombong. Bukan hanya dia yang sombong, kakak iparku yang lain juga seperti itu, mereka tidak tahu kami adalah pemilik toko terbesar di kota kami sehingga selalu dianggap tidak penting. 

Syukurlah aku berhasil mengirim pesan berkat bantuan salah seorang tetangga yang berkenan menyambungkan wifinya untuk sementara. Ya, hanya sementara saat aku mengirim pesan saja karena setelah itu ia sudah ganti sandi lagi, tetapi masih mendinglah daripada Mbak Sindi yang tidak mengizinkan sama sekali. 

Aku lega akhirnya bisa memberi tahu salah seorang karyawanku kalau kami akan balik seminggu lagi, mundur satu minggu dari jadwal yang direncanakan. 

Tujuh hari sudah berlalu sejak meninggalnya bapak. Malam ini kami berkumpul di ruang keluarga bersama pasangan masing-masing, di sini ada juga ibu. Kami berkumpul untuk membahas biaya selamatan yang tentunya akan kami pikul berempat, aku, Mas Karim, Mas Gani, dan Mas Danang sebagai anak. Ya, aku adalah satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara di rumah ini. 

"Biaya yang dikeluarkan sejak bapak meninggal sampai tujuh hari adalah 35 juta dan sumbangan dari para kerabat yang datang adalah 13 juta, itu artinya kita masih punya utang 22 juta," ucap Mas Karim yang merupakan anak pertama memulai pembicaraan. 

Aku tidak kaget dengan nominal yang ia sebutkan karena di sini rata-rata memang habis segitu. Di tempat kami saat ada orang meninggal memang menghadirkan banyak tamu dan disuguhi dengan makanan berupa lauk yang beraneka ragam mulai dari daging sapi, ayam, telur, dan lain sebagainya. Belum lagi setiap hari ada acara mengaji hingga tujuh hari dan itu juga disuguhi makanan. Maka, tidak heran jika menelan biaya yang cukup banyak. 

"Sebagai anak kita akan menanggung sama-sama, anak laki-laki mendapat bagian enam juta dan Asty sebagai anak perempuan dapat bagian empat juta," sambung Mas Karim. 

"Enggak setuju. Kita harus bagi rata, dong. Lagi pula aku juga tidak punya uang segitu. Ini semua salah Mas Karim yang punya ide harus menghidangkan daging sapi," sanggah Mas Danang

"Di sini sudah biasa pakai daging sapi, kalau tidak nanti kita jadi bahan gunjingan tetangga," sahut Mas Karim. 

"Iya, tetapi seharusnya lihat dengan keuangan yang ada, kan?" ucap Mas Danang dengan nada tinggi. 

"Tenang, itu tidak harus dibayar sekarang juga karena kita sudah dapat pinjaman dari pemilik toko tempat kita belanja dan kita diberi waktu sampai 40 hari," papar Mas Gani. 

"Iya, tetapi aku tetap tidak setuju jika Asty hanya dapat bagian empat juta, seharusnya dia yang paling banyak karena selama ini jarang pulang sehingga tidak pernah mengeluarkan uang untuk bapak, kan," ucap Mas Danang. 

Aku menghela napas, selama ini aku memang jarang pulang ke desa untuk menjenguk bapak dan ibu di desa karena kami tinggal di luar provinsi, tetapi tidak pernah sekali pun lupa mengirim uang untuk orang tuaku setiap bulannya. Ya, Mas Ubay adalah seorang suami yang tidak perhitungan pada mertuanya apalagi orang tuanya sendiri sudah tiada sehingga menganggap orang tuaku sebagai orang tuanya juga. 

"Danang, Asty itu anak perempuan, jadi dia harus dapat bagian utang paling sedikit," kata Mas Karim. Ia memang kakak yang paling pengertian. 

Perdebatan untuk membayar utang biaya selamatan bapak tidak terelakkan hingga akhirnya semua terdiam saat suamiku yang yang baru saja muncul dari kamar mandi angkat bicara. "Stop! Kasihan bapak kalau kita ribut masalah utang untuk selamatan beliau seperti ini. Aku dan Asty yang akan membayar  semua utangnya."

Semua orang di ruangan yang masih dalam suasana duka itu terperangah," Semuanya?" tanya Mbak Sindi. 

Mas Ubay mengangguk. 

"Mas." Aku menggengam erat tangan Mas Ubay dan semua orang yang ada di ruangan itu memandang ke arah kami. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status