"Apa? Kamu mau minta dihubungkan dengan wifi milikku?" tanya Mbak Sindi sambil melotot.
"Iya, Mbak. Kali ini saja karena penting," jawabku seraya menyodorkan ponselku dengan harapan ia memberikan sandi wifi-nya.
"Makanya pasang wifi sendiri, dong. Jangan nebeng mulu. Kamu pikir wifi ini tidak bayar apa? Lagi pula siapa, sih, yang mau kamu hubungi? Nggak penting amat." Mbak Sindi--istri Mas Gani itu melengos.
Sudah beberapa hari ini aku di desa kelahiranku karena bapak sakit dan akhirnya kemarin meninggal . Aku ingin menghubungi salah seorang karyawan toko sekaligus orang kepercayaanku untuk bilang padanya kalau kami--aku dan Mas Ubay--suamiku belum bisa pulang.
Sayangnya, di desa ini susah signal sehingga aku tidak bisa menghubungi orang yang kumaksud. Kebanyakan orang di sini sudah pasang wifi karena tidak bisa menggunakan paket data apa pun kartunya termasuk punyaku yang hanya E sehingga tidak bisa mengirim maupun membalas pesan.
Di rumah ibu dan bapak juga tidak pasang wifi karena hanya ada mereka berdua yang tinggal di rumah ini.
"Kalau aku dan Mas Ubay menetap di desa ini sudah pasti pasang wifi, Mbak, tapi masalahnya aku tidak akan lama di sini karena setelah tujuh hari bapak, kami juga akan kembali ke kota." Ponselku masih menggantung di udara, tetapi tidak ada tanda-tanda kakak iparku itu berkenan mengambil untuk menyambungkan wifinya.
Bukannya menuruti permintaanku, kakak iparku malah ngeloyor pergi. Aku menggeleng, dari dulu wanita itu tidak pernah berubah, sombong. Bukan hanya dia yang sombong, kakak iparku yang lain juga seperti itu, mereka tidak tahu kami adalah pemilik toko terbesar di kota kami sehingga selalu dianggap tidak penting.
Syukurlah aku berhasil mengirim pesan berkat bantuan salah seorang tetangga yang berkenan menyambungkan wifinya untuk sementara. Ya, hanya sementara saat aku mengirim pesan saja karena setelah itu ia sudah ganti sandi lagi, tetapi masih mendinglah daripada Mbak Sindi yang tidak mengizinkan sama sekali.
Aku lega akhirnya bisa memberi tahu salah seorang karyawanku kalau kami akan balik seminggu lagi, mundur satu minggu dari jadwal yang direncanakan.
Tujuh hari sudah berlalu sejak meninggalnya bapak. Malam ini kami berkumpul di ruang keluarga bersama pasangan masing-masing, di sini ada juga ibu. Kami berkumpul untuk membahas biaya selamatan yang tentunya akan kami pikul berempat, aku, Mas Karim, Mas Gani, dan Mas Danang sebagai anak. Ya, aku adalah satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara di rumah ini.
"Biaya yang dikeluarkan sejak bapak meninggal sampai tujuh hari adalah 35 juta dan sumbangan dari para kerabat yang datang adalah 13 juta, itu artinya kita masih punya utang 22 juta," ucap Mas Karim yang merupakan anak pertama memulai pembicaraan.
Aku tidak kaget dengan nominal yang ia sebutkan karena di sini rata-rata memang habis segitu. Di tempat kami saat ada orang meninggal memang menghadirkan banyak tamu dan disuguhi dengan makanan berupa lauk yang beraneka ragam mulai dari daging sapi, ayam, telur, dan lain sebagainya. Belum lagi setiap hari ada acara mengaji hingga tujuh hari dan itu juga disuguhi makanan. Maka, tidak heran jika menelan biaya yang cukup banyak.
"Sebagai anak kita akan menanggung sama-sama, anak laki-laki mendapat bagian enam juta dan Asty sebagai anak perempuan dapat bagian empat juta," sambung Mas Karim.
"Enggak setuju. Kita harus bagi rata, dong. Lagi pula aku juga tidak punya uang segitu. Ini semua salah Mas Karim yang punya ide harus menghidangkan daging sapi," sanggah Mas Danang
"Di sini sudah biasa pakai daging sapi, kalau tidak nanti kita jadi bahan gunjingan tetangga," sahut Mas Karim.
"Iya, tetapi seharusnya lihat dengan keuangan yang ada, kan?" ucap Mas Danang dengan nada tinggi.
"Tenang, itu tidak harus dibayar sekarang juga karena kita sudah dapat pinjaman dari pemilik toko tempat kita belanja dan kita diberi waktu sampai 40 hari," papar Mas Gani.
"Iya, tetapi aku tetap tidak setuju jika Asty hanya dapat bagian empat juta, seharusnya dia yang paling banyak karena selama ini jarang pulang sehingga tidak pernah mengeluarkan uang untuk bapak, kan," ucap Mas Danang.
Aku menghela napas, selama ini aku memang jarang pulang ke desa untuk menjenguk bapak dan ibu di desa karena kami tinggal di luar provinsi, tetapi tidak pernah sekali pun lupa mengirim uang untuk orang tuaku setiap bulannya. Ya, Mas Ubay adalah seorang suami yang tidak perhitungan pada mertuanya apalagi orang tuanya sendiri sudah tiada sehingga menganggap orang tuaku sebagai orang tuanya juga.
"Danang, Asty itu anak perempuan, jadi dia harus dapat bagian utang paling sedikit," kata Mas Karim. Ia memang kakak yang paling pengertian.
Perdebatan untuk membayar utang biaya selamatan bapak tidak terelakkan hingga akhirnya semua terdiam saat suamiku yang yang baru saja muncul dari kamar mandi angkat bicara. "Stop! Kasihan bapak kalau kita ribut masalah utang untuk selamatan beliau seperti ini. Aku dan Asty yang akan membayar semua utangnya."
Semua orang di ruangan yang masih dalam suasana duka itu terperangah," Semuanya?" tanya Mbak Sindi.
Mas Ubay mengangguk.
"Mas." Aku menggengam erat tangan Mas Ubay dan semua orang yang ada di ruangan itu memandang ke arah kami.
Suasana menjadi hening setelah mendengar ucapan Mas Ubay, tiba-tiba Mbak Sindi tertawa yang diikuti oleh yang lain. Hanya aku, Mas Karim, dan ibu yang tidak tertawa. Suasana di ruangan itu menjadi heboh dan aku hanya bisa geleng kepala melihatnya. "Ada apa ini? Kenapa kalian tertawa seperti ini?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Mas Danang menghentikan tawanya, lalu mendekatiku. "Asty, bilang ke suamimu ini kalau mau bicara atau memberi tanggapan itu dengarkan dulu baik-baik apa yang dikatakan sebelumnya, jangan baru saja muncul langsung ngomong aja. Memangnya dia tahu berapa total utang yang harus dibayarkan?" Aku menatap lekat suamiku yang terlambat ikut musyawarah ini. "Mas, kamu sudah dengar berapa utang yang harus kami bayarkan?"Suamiku yang merupakan satu-satunya menantu lelaki di rumah ini itu mengangguk. "Aku memang baru datang, Dek, karena tadi perutku mulas, tapi aku sudah dengar semuanya kalau utang biaya selamatan bapak sebesar_Ucapan Mas Ubay dipotong oleh Mas Gani. "
Kami bergegas masuk ke kamar yang penuh dengan kardus berisi sembako sumbangan dari para pelayat. "Lihat! Berasnya saja sebanyak ini. Mau buat apa coba kalau tidak dibagi rata?" tanya Mbak Sindi seraya menunjuk dua karung besar yang teronggok di sudut ruangan. Menurut perkiraanku beras itu lebih dari dua kwintal. "Belum lagi sembako yang lainnya," sahut Mbak Vita. Ia mulai membuka tali rafia pengikat kardus. Mbak Sindi mengikuti jejak Mbak Vita, pun Mbak Nurma dan aku. Para perempuan membuka satu per satu kardus dan mengeluarkan isinya lalu memisahnya, gula dengan gula, minyak dengan minyak, dan lainnya. Ibu ikut membuka salah satu kardus dan menurunkan isinya yang berupa minyak goreng, tepung terigu, dan mie kering. Wanita yang sudah melahirkan kami berempat itu mengangkat minyak goreng dan berkata. "Tadi ibu sudah bilang kalau musyawarahnya jangan sekarang karena sebenarnya urusan kita belum selesai, tetapi Sindi yang sudah mendesak ibu untuk melakukan musyawarah malam ini juga.
Tiba-tiba semua orang di ruangan itu kembali tertawa menggelegar. "Kamu lihat sendiri, kan, Bu, kalau menantumu yang paling kau sayang itu punya tingkat kehaluan yang luar biasa. Tadi ia bilang mau bayar utang selamatan bapak dan sekarang ia bilang ingin bicara dengan orang kepercayaannya di toko? Toko apa? Toko halu? Hahahaha." Mas Gani tertawa lebar. Bukan hanya Mas Gani yang tidak percaya jika kami punya toko. Bahkan Mbak Sindi maju beberapa langkah lalu tangannya terulur dan menyentuh kening suamiku. "Panas, pantas saja dari tadi bicaranya ngelantur." Aku melirik Mas Ubay yang raut wajahnya terlihat kesal, tetapi mau bagaimana lagi, mau dijelaskan panjang kali lebar juga tidak akan yang percaya dengan apa yang kami miliki. "Sudahlah, sini ponselnya biar kukasih sandi wifinya dan setelah ini kita akan tahu sebenarnya ia telepon siapa." Mas Gani mengambil ponsel dari tangan Mas Ubay lalu mengotak-atiknya sebentar dan setelah itu ia berikan lagi pada suamiku. "Ini sudah kusambun
"Alhamdulillah, berkat doa ibu, kami sudah punya toko sendiri dan besok Mas Ubay akan bertemu dengan seorang pemilik usaha keripik yang akan menjual produknya di toko kami," ucapku. Sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi dari ibu. Ibu membelai rambutku dan tersenyum. "Syukur Alhamdulillah kalau begitu, As. Ibu selalu berdo'a agar kamu selalu sehat dan dilimpahkan rezeki. Ibu senang kehidupan ekonomi tidak seburuk yang kakak kalian kira selama ini.""Ibu percaya kalau kami punya toko sendiri atau seperti yang lain yang menganggap kami hanya berkhayal saja?" tanya Mas Ubay. "Ibu percaya, Bay. Kalau ekonomi kalian tidak mapan, mana mungkin setiap bulan mengirim ibu uang. Maafkan ibu yang tidak pernah berkunjung ke rumah kamu, As. Bukannya tidak mau, tetapi kamu tahu sendiri bapak kamu, kan? Dia tidak mau diajak dan ibu juga tidak mungkin akan pergi seorang diri," ucap ibu. Sejak awal menikah hingga sekarang, bapak dan ibu belum pernah sekali pun berkunjung ke rumahku dengan alasan
Matahari sudah mulai mengeluarkan cahaya keemasan. Hari belum terlalu siang, tetapi di rumah ibu ini sudah banyak orang. Setelah tujuh hari yang kukira sepi malah lebih ramai dari kemarin. Para ibu sibuk memasak di dapur dan para bapak serta pemuda membongkar tenda dan mengumpulkan meja kursi yang digunakan kemarin sampai acara tujuh hari. Acara ini memang seperti pesta pernikahan, bedanya hanya tidak ada acara hiburan dan tidak ada sound system. "Bu, daging sapinya masih kurang lagi." Seorang wanita setengah baya yang memakai celemek berwarna oranye datang menghadap ibu. Ibu yang sedang menata sembako yang akan dibagikan nanti menghentikan gerakan tangannya. "Oh, ya, suruh seseorang untuk beli. Orang yang akan diberi berkat sudah ada daftarnya, kan? Minta sama Sindi. Jangan sampai ada yang terlewat, ya.""Baik.Uangnya mana, Bu?" Wanita yang rambutnya diikat asal itu mengulurkan tangannya pada ibu. Ibu berdiri dan berjalan menuju kamar, tidak lama kemudian ia sudah keluar lagi de
Beberapa orang yang lewat ikut membantu kami. Syukurlah kami tidak apa-apa karena Mas Karim mengemudikan motornya pelan. Hanya makanan yang tumpah dan tidak terselamatkan. Kami menatap nanar makanan yang sudah tumpah dan kotor itu. Lelaki bertubuh tinggi itu mengambil makanan itu dan memang sudah tidak ada yang bisa dimakan karena sudah bercampur tanah. "Kita buang saja." Mas Karim mengambil makanan itu dan menepikan di tepi jalan. "Lalu bagaimana dengan orang-orang yang akan kita beri makanan ini?" tanyaku. "Kita pulang dan minta lagi, yuk." Mas Karim kembali men-starter motor dan memintaku untuk duduk di belakangnya. "Apakah kita akan bilang kalau makanan ini tumpah sebelum sampai tujuan?" tanyaku dengan perasaan was-was. Bayangan omelan dari kakak ipar sudah menari-nari di pelupuk mata. "Tentu saja, As. Kalau kita nggak bilang, otomatis orang-orang ini tidak akan mendapat nasi berkat dan sudah pasti ibu yang akan terkena sasaran gunjingan orang. Kita pulang dan minta ganti."
"Utang di warung Bu Utami? Utang apa, Bu? Dan kapan? Kalau utang itu ibu yang ambil sebelum Bapak meninggal, jelas itu bukan tanggungan kami lagi. Itu tanggungan ibu sendiri, jangan bawa-bawa kami. Pokoknya kami hanya akan menanggung biaya mulai dari Bapak meninggal hingga hari ini!" kata Mbak Sindi dengan nada tinggi. Mbak Sindi ini hanya menantu di sini, tetapi gayanya ... "Iya, benar kata Mbak Sindi. Kalau memang utang itu diambil bukan untuk keperluan biaya selamatan bapak, jelas itu sudah beda jalur," sahut Vita—istrinya Mas Danang yang merupakan kakakku langsung. Ibu menatap kedua menantu perempuannya itu, lalu mengendikkan bahu. "Iya, Bu. Lagi pula ibu utang di sana buat apa? Bukankah uang pensiunan bapak itu cukup kalau hanya untuk kalian berdua, ya?" timpal Mas Gani. Ibu masih terdiam dan sesekali melirikku. Aku juga tidak habis pikir, ibu utang di warung Bu Utami itu untuk apa? Benar kata Mas Gani kalau bapak punya uang pensiunan. Ya, dulu bapak adalah seorang guru ne
"Gani, seharusnya kalau hanya rokok, nggak usahlah diomongin di sini. Kamu, kan, bisa bayar sendiri?" sahut Mas Karim kesal. Mbak Sindi melotot," Ya nggak bisa gitu, Mas. Rokok itu untuk kepentingan selamatan juga. Apalagi ambilnya juga dua slop, sudah berapa duit itu?" "Ya udahlah, hitung saja semuanya. Nanti jadikan satu dengan utang utama yang sudah menjadi hampir 40 juta," jawab ibu. Mbak Sindi dan Mas Gani terlihat menghela napas bersamaan, mereka lega karena uang rokok tidak ditanggungnya sendiri seperti permintaan Mas Karim. "Kalau rokok itu juga masuk ke daftar utang yang harus kita tanggung bersama, aku juga mau lapor," sahut Mbak Vita semringah. Kami semua saling berpandangan. "Lapor apa lagi, Vit? Apakah kamu juga ikut utang di warung Bu Utami. Bilang saja, nanti akan kita bayar bersama," sahut ibu. "Jadi gini, tadi saat aku mengantar makanan ke luar desa, aku beli bensin dua liter dan itu pakai uangku sendiri, tetapi berhubung perjalanan ini dalam rangka kepentingan