Share

Dua

Suasana menjadi hening setelah mendengar ucapan Mas Ubay, tiba-tiba Mbak Sindi tertawa yang diikuti oleh yang lain. Hanya aku, Mas Karim, dan ibu yang tidak tertawa. Suasana di ruangan itu menjadi heboh dan aku hanya bisa geleng kepala melihatnya. 

"Ada apa ini? Kenapa kalian tertawa seperti ini?" tanyaku dengan dahi mengernyit. 

Mas Danang menghentikan tawanya, lalu mendekatiku. "Asty, bilang ke suamimu ini kalau mau bicara atau memberi tanggapan itu dengarkan dulu baik-baik apa yang dikatakan sebelumnya, jangan baru saja muncul langsung ngomong aja. Memangnya dia tahu berapa total utang yang harus dibayarkan?" 

Aku menatap lekat suamiku yang terlambat ikut musyawarah ini. "Mas, kamu sudah dengar berapa utang yang harus kami bayarkan?"

Suamiku yang merupakan satu-satunya menantu lelaki di rumah ini itu mengangguk. "Aku memang baru datang, Dek, karena tadi perutku mulas, tapi aku sudah dengar semuanya kalau utang biaya selamatan bapak sebesar_

Ucapan Mas Ubay dipotong oleh Mas Gani. "Ubay, Ubay, yang meninggal itu bapak kami dan kamu hanya menantu di sini, tetapi kenapa justru kamu yang begitu bersedih sehingga harus kehilangan kewarasan seperti ini?" 

Aku dan Mas Ubay mengernyitkan dahi mendengar pernyataan Mas Gani

"Kehilangan kewarasan? Siapa yang kehilangan kewarasan, Mas?" tanyaku. 

Mas Gani tertawa lagi. "Jelas suamimu ini lah. Dengan bilang kalau akan membayar semua biaya selamatan bapak ini sudah menunjukkan kalau ia tidak waras. Memangnya suamimu itu punya uang?" 

Lagi. Mereka tertawa riuh padahal tidak ada yang lucu. 

"Halumu itu terlalu tinggi, Bay. Biaya selamatan bapak adalah sebesar 22 juta dan kamu tidak mungkin akan sanggup membayarnya sendiri," sahut Mas Danang sambil menyesap rokoknya sehingga ruangan ini dipenuhi dengan asap. 

"Namanya juga halu, jadi, ya bebas mau ngomong apa saja termasuk bilang mau bayar utang sebanyak 22 juta. Ingat, Bay, dua puluh dua." Mas Gani menatap tajam suamiku seraya menunjukkan jari tengah dan jari manisnya. 

Aku menggenggam erat tangan suamiku untuk memberi isyarat agar tidak perlu membantah ucapan Mas Gani lagi. Dihina seperti ini sudah biasa di sini. Itulah yang membuat kami jarang pulang ke sini karena hanya hinaan yang akan kami dapatkan. 

Mendengar ucapan Mas Gani semua kembali tertawa, astaghfirullah, baru tujuh hari bapak meninggalkan kami semua, kenapa tidak ada rasa sedih sama sekali di wajah para kakakku itu? Mereka bahkan bisa tertawa lepas seperti tanpa beban. 

"Ubay, kamu boleh bilang kalau mau bayar utang bapak yang sebenarnya ini adalah tanggung jawab kita bersama, tetapi sebagai anak laki-laki dan tertua di rumah ini, aku tidak setuju jika kamu yang menanggung semuanya," kata Mas Karim setelah semuanya kembali tenang. 

"Kenapa, Mas? Kamu juga tidak percaya kalau Mas Ubay sanggup membayarnya?" tanyaku. 

Mas Karim tersenyum dan menatap lekat wajahku. "Maafkan aku, As. Bukannya aku tidak percaya dengan kemampuan kalian, tetapi kami malu jika sampai tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk biasa selamatan bapak ini. Ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai anak. Jadi, sudah kuputuskan untuk tetap membagi rata semuanya," 

"Aku juga tidak setuju jika Ubay yang harus menanggung semunya. Kita bisa kehilangan harga diri jika sampai melimpahkan tanggung jawab padanya," sahut Mas Gani--anak kedua ibu. 

"Betul itu, Mas. Mau ditaruh di mana muka kita ini kalau sampai biaya selamatan bapak yang tidak seberapa itu harus ditanggung sendiri oleh Ubay? Bisa besar kepala dia nanti. Biar adil, 22 juta itu kita bagi rata saja jadi semuanya dapat bagian lima setengah juta. Bagaimana? Setuju, kan?" tanya Mas Danang. 

Beberapa saat kami terdiam dan saling pandang serta saling memberi isyarat dengan kedipan mata. 

"Bagaimana, As? Kamu tidak keberatan, kan, kalau dapat bagian sama dengan kami yang anak laki-laki?" tanya Mas Karim. 

Aku memandang Mas Ubay dan lelaki pemilik senyum manis itu mengangguk. "Iya, aku tadi juga ingin bicara begitu karena tadi kalian ribut." 

"Sudah kuduga kalau sebenarnya kamu juga tidak akan mampu membayar semuanya. Jadi, sepakat, ya, kita akan bagi rata?" tanya Mbak Sindi. 

"Eh, tunggu!" seru Mbak Nurma memecah keheningan. 

"Ada apa lagi, Mbak?" tanya Mas Gani mengurungkan niatnya untuk berdiri setelah mendengar seruan Nurma. 

"Kalau utangnya dibagi rata, itu artinya semua sembako hasil sumbangan yang ada di kamar itu juga harus dibagi, kan?" Istri Mas Karim itu menunjuk sebuah kamar yang terbuka sedikit.

Di sini, saat ada orang meninggal, selain ada yang menyumbang uang, ada juga yang menyumbang berupa sembako seperti beras, gula pasir, tepung terigu, minyak goreng, mie kering dan lainnya. 

Mas Karim menyenggol lengan sang istri, pipinya mendadak semerah tomat, jelas kalau ia malu dengan ucapan istrinya barusan. "Kamu ini apa-apaan, sih, Dek?"

Wanita yang memakai kerudung instan warna biru itu melotot. 

"Kenapa, Mas? Aku benar, kan? Kalau utangnya dibagi, ya, sembako yang banyak itu harus dibagi juga, kan? Kalau tidak, lalu itu milik siapa?" seru Mbak Nurma dengan napas terengah-engah. 

"Benar itu, Mbak. Tidak mungkin sembako sebanyak itu menjadi milik Ibu sedangkan ibu tidak ikut menanggung biaya selamatan ini," ucap Mbak Vita yang yang merupakan istri Mas Danang. 

"Ah, ya, aku baru ingat, kenapa ibu nggak ikut dapat bagian utang ini?" tanya Mbak Sindi. 

Semua orang saling berpandangan mendengar ucapan Mbak Sindi. 

"Maksudmu apa, Sin?" Mas Gani balik bertanya. 

"Seharusnya utang 22 juta itu dibagi lima bukan empat karena ada ibu," papar Mbak Sindi dengan tangan bersedekap. 

"Apa? Ibu juga harus dapat bagian bayar utang?" tanya Ibu sambil menggeleng. 

Aduh, Lama-lama aku bisa gila jika terus-terusan berada di sini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status