Share

Tiga

Kami bergegas masuk ke kamar yang penuh dengan kardus berisi sembako sumbangan dari para pelayat. 

"Lihat! Berasnya saja sebanyak ini. Mau buat apa coba kalau tidak dibagi rata?" tanya Mbak Sindi seraya menunjuk dua karung besar yang teronggok di sudut ruangan. Menurut perkiraanku beras itu lebih dari dua kwintal. 

"Belum lagi sembako yang lainnya," sahut Mbak Vita. Ia mulai membuka tali rafia pengikat kardus. 

Mbak Sindi mengikuti jejak Mbak Vita, pun Mbak Nurma dan aku. Para perempuan membuka satu per satu kardus dan mengeluarkan isinya lalu memisahnya, gula dengan gula, minyak dengan minyak, dan lainnya. 

Ibu ikut membuka salah satu kardus dan menurunkan isinya yang berupa minyak goreng, tepung terigu, dan mie kering. Wanita yang sudah melahirkan kami berempat itu mengangkat minyak goreng dan berkata. "Tadi ibu sudah bilang kalau musyawarahnya jangan sekarang karena sebenarnya urusan kita belum selesai, tetapi Sindi yang sudah mendesak ibu untuk melakukan musyawarah malam ini juga." 

"Lho, kok aku?" tanya Mbak Sindi. Ia menghentikan gerakan tangannya yang sedang menurunkan gula pasir dari kardus dan menatap ibu. 

"Memang kamu yang sudah mendesak ibu untuk melakukan musyawarah ini secepatnya, kan? Padahal ibu sudah bilang kalau seharusnya musyawarah itu dilakukan besok malam karena masih ada urusan yang harus kita selesaikan, salah satunya, ini," tukas ibu. 

"Ini semua karena Asty yang sok penting itu." Mbak Sindi menunjukku. 

"Aku?" Aku menunjuk dadaku sendiri. 

"Ya, kamu bilang ingin pulang setelah tujuh hari bapak. Makanya aku meminta ibu untuk melakukan musyawarah malam ini juga agar kamu bisa mengikutinya. Kalau aku, sih, mau musyawarah kapan aja juga nggak masalah karena tidak akan pergi ke manapun." Mbak Sindi membela diri. 

"Asty, apa benar kamu ingin pulang besok?" tanya ibu. 

Wanita yang sudah melahirkanku itu menghentikan gerakan tangannya yang sedang menata gula pasir lalu menatapku. 

"Iya, Bu." Aku mengangguk. 

"Tangguhkan lah dulu sampai dua hari lagi karena besok kita masih ada acara masak-masak," ucap ibu. 

"Masak buat apa lagi, Bu? Bukankah acara tahlilan hanya sampai tujuh hari, ya?" tanyaku. 

"Hadeh, kamu tidak paham dengan kebiasaan di desa ini, As. Jadi, setelah acara tujuh hari, kita akan memasak lagi untuk diantar kepada pada tamu yang sudah menyumbang sembako ini dan juga para tetangga yang sudah ikut rewang masak selama tujuh hari. Biasanya mereka akan dapat nasi beserta lauknya." Mbak Vita menjelaskan panjang lebar. 

Aku mengangguk seolah paham dengan apa yang dikatakan sang kakak ipar padahal sebenarnya tidak. Ya, aku memang tidak paham dengan kebiasaan warga sini saat ada orang meninggal karena sudah lama aku tidak  ke sini, apalagi sebelum menikah, aku juga jarang di rumah karena aku bekerja di kota. 

Aku mengamati sembako yang kini sudah dipisah-pisah dan ternyata sangat banyak. Gula pasir ada satu karung besar, beberapa kardus minyak goreng kemasan, teh juga berpak-pak, tepung terigu satu karung, dan tumpukan mie kering yang sudah diikat dengan tali rafia. 

"Em, tadi Mbak Vita bilang yang menyumbang sembako ini nanti dapat makanan, memangnya kita tahu siapa saja yang membawanya sedangkan yang membawanya cukup banyak?" tanyaku penasaran. 

Ibu tersenyum padaku dan berkata, "Iya, As. Di hari pertama ada orang yang bertugas mencatat siapa saja yang membawa kardus agar jangan ada yang terlewat saat mengantar makanan nanti," 

"Benarkah?" tanyaku seolah tidak percaya karena di daerah suamiku tinggal tidak pernah seperti ini. 

Ibu mengangguk. 

"Ya, benar lah dan akulah petugas yang ibu maksud." Mbak Sindi mengedipkan mata seolah ia begitu bangga menjadi petugas pencatat itu. 

"Makanya besok jangan buru-buru pulang agar tahu kebiasaan di desa kita ini." Ibu merangkul pundakku. 

"Iya, Bu. Nanti aku bilang ke Mas Ubay agar jangan pulang dulu." Aku tersenyum. 

Kami keluar kamar setelah selesai membongkar kardus sumbangan sembako itu dan kembali pada para lelaki yang masih berkumpul di ruang tamu. Ruangan itu kini sudah sudah dipenuhi asap rokok lalu aku membuka semua jendela agar ada pergantian udara. 

"Mas." Aku kembali duduk di samping Mas Ubay. 

"Ya." Suamiku itu menoleh. 

"Sepertinya kita tidak bisa pulang besok karena ternyata belum selesai. Maaf, aku pikir setelah tujuh hari sudah selesai, ternyata belum," ucapku nyengir. 

"Enggak apa-apa, Dek. Nanti aku bilang pada Kevin kalau kita mundur lagi pulangnya." Mas Ubay tersenyum. 

Ia mulai mengotak-atik ponselnya, tetapi sesaat kemudian ia menghela napas perlahan. Aku tahu ia tidak akan bisa menghubungi kevin kali ini karena kendala jaringan. 

"Mas, apa boleh aku minta sandi wifinya?" ucap Mas Ubay. Ia mengulurkan ponsel pada Mas Gani. Apa yang ia lakukan kali ini sama persis dengan yang aku lakukan beberapa hari yang lalu saat minta sandi wifi Mbak Sindi. 

"Memangnya kamu mau menghubungi siapa, Bay? Sepertinya penting?" tanya Mas Gani. 

"Aku mau menghubungi Kevin--karyawan di toko sekaligus orang kepercayaan. Aku cuma mau bilang agar ia mewakiliku untuk bertemu klien yang akan bekerja sama dengan toko kami karena aku nggak bisa pulang besok," jawab Mas Ubay serius. 

"Toko? Orang kepercayaan? Bertemu klien? Maksudnya apa?" tanya Mas Danang dengan dahi berkerut. 

Mas Ubay menatapku. Aku tepuk jidat, ia sudah keceplosan kalau kami punya toko. 

Semua orang di ruangan itu saling berpandangan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wanda Natasya
lanjut bosssssssssssssss_sssssssss
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status