Share

Enam

Matahari sudah mulai mengeluarkan cahaya keemasan. Hari belum terlalu siang, tetapi di rumah ibu ini sudah  banyak orang. Setelah tujuh hari yang kukira sepi malah lebih ramai dari kemarin. Para ibu sibuk memasak di dapur dan para bapak serta pemuda membongkar tenda dan mengumpulkan meja kursi yang digunakan kemarin sampai acara tujuh hari. 

Acara ini memang seperti pesta pernikahan, bedanya hanya tidak ada acara hiburan dan tidak ada sound system. 

"Bu, daging sapinya masih kurang lagi." Seorang wanita setengah baya yang memakai celemek berwarna oranye datang menghadap ibu. 

Ibu yang sedang menata sembako yang akan dibagikan nanti menghentikan gerakan tangannya. "Oh, ya, suruh seseorang untuk beli. Orang yang akan diberi berkat sudah ada daftarnya, kan? Minta sama Sindi. Jangan sampai ada yang terlewat, ya."

"Baik.Uangnya mana, Bu?" Wanita yang rambutnya diikat asal itu mengulurkan tangannya pada ibu. 

Ibu berdiri dan berjalan menuju kamar, tidak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan membawa uang yang cukup tebal karena kulihat berupa pecahan dua puluh ribuan dan memberikannya pada wanita itu. 

Ibu kembali menata sembako dan aku mendekatinya. "Semua ini buat siapa, Bu?" Aku menunjuk bungkusan plastik yang masing-masing berisi satu kilo gula pasir, dua buah teh, dan setengah liter minyak goreng. 

"Ini untuk yang rewang masak sampai dengan hari ini, As. Coba kamu hitung sudah dapat berapa," ucap ibu. Tangannya sibuk memasukkan teh ke dalam plastik berwarna hitam itu. 

Aku melaksanakan perintah ibu dan ternyata bungkusan sembako iitu sudah ada dua puluh bungkus, tetapi ibu masih saja mengambil plastik untuk diisi sembako. Entah berapa yang dibutuhkan. 

"Ini hanya sebagai ucapan terimakasih karena mereka sudah berkenan membantu kita memasak dengan meninggalkan pekerjaan rumah masing-masing," ucap ibu. 

"Jadi, nanti selain dapat berkat makanan, mereka juga dapat ini, Bu?" Aku memasukkan bungkusan plastik itu ke dalam kardus besar agar nanti lebih mudah saat membaginya. 

"Iya,"

"Ibu masih punya uang?" tanyaku lagi. Entahlah di sini jiwa kekepoanku meronta-ronta. 

"Itu uang sumbangan yang dapat digunakan untuk meringankan beban kita, tetapi ternyata masih harus beli daging sapi lagi. Kemungkinan kekurangan biayanya nggak jadi 22 juta, tapi lebih," 

"Memangnya nasi berkat itu isinya apa, Bu?" 

"Nanti kamu akan tahu sendiri, As. Oh, ya, sudah ada berapa tadi?" Ibu menunjukkan kardus yang berisi bungkusan sembako. 

"Em, ada berapa, ya, Bu. Aduh lupa karena tadi ngobrol sama ibu." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. 

Ibu tersenyum lalu memintaku untuk menghitung kembali bungkusan itu. Terpaksa aku harus menurunkan kembali barang yang sudah ada di dalam kardus. 

Suasana di dapur sangat ramai. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang memarut kelapa, memotong kentang, dan ada juga yang bertugas menggoreng serta menanak nasi. 

Ada satu yang menarik perhatianku yaitu Mbak Sindi yang sedang berdiri di depan seorang ibu yang sedang memotong daging sapi. Kakak iparku itu berseru. 'Memotong daging sapinya jangan telalu kecil, Bu." 

"Ini sudah standar, Mbak," jawab wanita itu tanpa sedikitpun menoleh. Tangannya memegang pisau besar mengkilap dan sudah pasti pisau itu sangat tajam. Terlihat betapa mudahnya ia memotong daging sapi, seperti memotong sayuran saja, kres, kres. 

Mbak Sindi berjongkok lalu mengambil satu potong daging sapi dan menelitinya dengan seksama. "Aku maunya ukurannya ditambah, Bu," 

"Baiklah kalau itu memang maunya Mbak Sindi." 

Di dapur ini sangatlah berisik, bau harum dari masakan yang baru saja matang begitu menusuk hidung. Di sebuah ruangan sudah matang beberapa wadah besar nasi serta satu baskom besar berisi sambal goreng kentang plus tahu, mie goreng, dan telur yang dimasak semur. 

Aku menghela napas perlahan, melihat makanan yang begitu banyak membuatku keheranan. 

"Sini, As. Kamu membantu memasukkan makanan ini ke dalam plastik saja," seru ibu. Ia menggandeng tanganku dan mengajakku ke ruangan yang sudah berisi banyak makanan siap santap. Di sana sudah ada dua orang wanita yang sedang memasukkan nasi ke dalam sebuah bakul plastik. 

"Apa yang bisa saya bantu, Bu?" tanyaku sambil duduk dekat wanita itu. 

"Masukkan sambal goreng dan mie ini ke dalam plastik," jawabnya tanpa menghentikan pekerjaannya. 

Aku mengangguk dan melakukan apa yang ia katakan meski aku harus sering bertanya seberapa memasukkannya karena sungguh aku tidak pernah tahu hal seperti ini. 

Nasi berkat itu berisi nasi yang di atasnya ada lauk daging sapi sepuluh potong, telur lima biji, mie goreng, sambal goreng kentang, wajik, roti kering, emping, dan kerupuk. Semua itu dimasukkan ke dalam plastik berwarna putih susu. 

Hampir tengah hari pekerjaan itu selesai. Makanan yang banyak itu sudah habis karena setiap kali masakan matang langsung dikemas dan diantar ke orang-orang. 

Aku cukup lelah hari ini karena ibu memberiku tugas untuk mengantar makanan itu kepada pada kerabat, bahkan ada yang ke luar desa dan harus ditempuh dengan kendaraan bermotor. Aku berboncengan dengan Mas Karim dengan membawa empat kantong plastik yang dimasukkan ke dalam sebuah keranjang plastik yang biasa dipakai ibu-ibu berbelanja ke pasar. 

Untung tak dapat diraih, malang gak dapat ditolak,  motor yang kami tumpangi oleng sehingga makanan itu jatuh dari motor. Plastiknya pecah dan makanannya keluar. Ya, jalan yang kami lalui memang bukan jalan beraspal yang mulus, melainkan bebatuan yang tidak rata. 

"Bagaimana ini, Mas? Tidak mungkin kita akan memberikan makanan kalau keadaannya seperti ini, kan?" tanyaku panik saat melihat makanan itu sudah tumpah ke jalanan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status