"Lapor apa lagi, Vit? Apakah kamu juga ikut utang di warung Bu Utami. Bilang saja, nanti akan kita bayar bersama," sahut ibu.
"Jadi gini, tadi saat aku mengantar makanan ke luar desa, aku beli bensin dua liter dan itu pakai uangku sendiri, tetapi berhubung perjalanan ini dalam rangka kepentingan yang ada sangkut pautnya dengan acara selamatan, aku mau minta ganti rugi," ucap Mbak Vita. Suara istighfar menggema di ruangan ini. Ibu menggelengkan kepala, pun dengan Mas Ubay dan aku. Selama ini aku tahu kalau Mbak Vita memang perhitungan, tetapi tidak kusangka jika sampai separah ini. Kutekan dada perlahan untuk mengurangi rasa sesak yang mendera. "Iya, benar kata Vita, masukkan saja uang bensin ini, nanti kita akan tahu berapa semuanya," ucap Mas Karim. Mas Ubay menggenggam erat tanganku. Aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia sadar, di sini ia hanya menantu. "Oh, ya, selain bensin aku juga beli jajanan untuk Aru dan kami juga mampir beli bakso karena makanan yang kami antar sangat jauh sehingga lapar di perjalanan," ucap Mbak Vita lagi. Istighfar kembali menggema di ruangan ini. "Kenapa? Kalian nggak setuju? Aku beli jajan buat anak dalam rangka mengantar makanan dan yang dibeli Aru itu adalah makanan mahal karena ia mengambil kind*r j*y dengan harga dua belas ribu per biji, padahal ia mengambil tiga. Belum lagi ia juga mengambil banyak jajanan karena kami mampir ke mini market yang ada di kecamatan. Coba kalian pikir, kalau aku tidak diminta untuk mengantar makanan, tentu tidak akan ke sana, bukan?" Mbak Vita bercerita dengan semangat empat lima. Aku menghela napas, berulang kali aku mengorek telinga. Lama-lama berada di sini bisa membuat kepalaku pecah. Kulirik Mas Gani, ia sama sekali tidak memberi peringatan pada istrinya agar diam. Ia seperti malah mendukung sang istri."Iya, Vit. Hitung saja semuanya, nanti akan kita tanggung bersama," ucap Mas Karim setelah melirik pada ibu dan mengangguk. Mas Karim berkata begitu pasti karena sudah malas untuk debat. "Yes." Mbak Vita bersorak kegirangan seperti seorang anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru oleh ibunya. "Kamu catat saja, Vit. Nanti serahkan padaku agar kutotal semuanya." Mas Karim menyerahkan secarik kertas pada Mbak Vita.Wanita berbulu mata lentik itu menerima kertas itu dengan semringah. "Bu, aku akan ke warung Bu Utami untuk membayar utangnya yang di sana." Mas Karim mengulurkan tangan pada ibu dan aku tahu maksudnya minta uang pada iibu. Tentu saja uang itu adalah uang hasil sumbangan. Gema azan Magrib terdengar, kami bubar dan akan dilanjutkan nanti. "Kita salat dulu, Dek." Mas Ubay membantuku bangun. "Iya, Mas."Aku jadi kepikiran dengan kebiasaan warga desa ini yang mengadakan makan besar saat ada orang meninggal, bahkan seperti acara pernikahan. Bagaimana jika orang uang meninggal itu tidak memiliki ahli waris? Atau dia orang yang nggak mampu secara finansial? Apakah tetap ada acara seperti ini juga? Kalau iya, sungguh kasihan.
Di tempat tinggal kami, tidak pernah ada acara seperti ini. Jika ada orang meninggal, cukup menyediakan air minum kemasan dan permen. Itu pun jarang ada yang mau minum. Para pelayat datang hanya salat jenazah, menghibur yang sedang berduka cita dan memasukkan amplop ke dalam kotak yang sudah disediakan. Acara musyawarah tidak jadi dilanjutkan malam ini karena peralatan makan seperti piring, gelas, toples, dan lainnya belum dikembalikan dan baru akan beres besok. "Bu, apakah semua orang yang meninggal, harus, mengadakan acara seperti ini?" tanyaku saat kami sudah mau tidur. "Enggak ada yang mengharuskan, tetapi sudah menjadi kebiasaan," jawab ibu. Aku mengangguk," Gitu, ya, Bu." "Iya, sekarang kita tidur. Bukankah besok kamu akan pulang? Setelah ini jangan lama-lama kalau ke sini, ya? Ibu pasti akan merindukan kalian." Ibu membelai rambutku. "Bukankah ibu juga mau kuajak untuk tinggal bersama kami di kota? Mau, ya, Bu? Dari pada tinggal di sini sendiri," sahut Mas Ubay. Aku menoleh dan tersenyum," Kok masih bisa nyaut, Mas. Aku pikir kamu sudah tidur?" "Gimana mau tidur kalau kalian berdua berisik terus." Mas Ubay memiringkan tubuhnya lalu menyangga kepala dengan tangannya.Aku melirik lalu tersenyum dan kembali menatap suamiku lagi. "Biasanya setiap ada bantal langsung aja terlelap tanpa peduli dengan suara berisik." Aku tersenyum menggoda. "Ish, kenapa kamu buka aibku dengan ibu? Aku, kan, jadi malu." Mas Ubay mencubit hidungku. Ibu bangun dari tidurnya lalu mengambil selimut," Sepertinya ibu sudah salah tidur di sini. Mengganggu kalian." Aku menarik selimut yang dibawa ibu dan tertawa pelan," Justru Ibu sudah membantu menyelamatkan aku dari pria nakal ini, Bu. Ibu di sini saja." Aku membaringkan tubuh ibu lagi, lalu kami tertawa bersama. "Asty, saat seperti ini, Ibu jadi ingat dengan almarhum bapak." Ibu yang tadinya tersenyum mendadak sendu. Tiba-tiba air mata itu luruh dari sudut matanya yang sudah mulai berkeriput."Ibu, bapak sudah bahagia di alam sana. Tugas kita sekarang adalah mendoakan bapak agar amal ibadahnya diterima Allah SWT." Aku mengusap air mata yang semakin deras itu.
"Amiin." Kami bertiga berseru serempak.Kami sudah siap untuk tidur saat tiba-tiba Mas Ubay berseru," Tadi ibu belum jawab dengan ajakan kami untuk tinggal di kota. Jadi, bagaimana, Bu? Apakah ibu bersedia?"
"Lihat, sekarang sudah jam berapa? Sekarang waktunya istirahat. Itu kita bahas besok." Ibu berbalik dan menutup wajahnya dengan selimut. Aku dan Mas Ubay hanya mengendikkan bahu.Mbak Sindi menggebrak meja setelah Mas Karim membacakan berapa utang yang harus kami bayar. Ia merebut kertas yang dibawa Mas Karim. "Coba dihitung sekali lagi, Mas? Barangkali ada yang salah," sahut Mas Danang. Wajahnya terlihat sangat tegang. "Itu lihat saja sendiri." Mas Karim menunjuk kertas catatan yang sekarang ada di tangan Mbak Sindi dan segera diambil oleh Mas Danang untuk dilihat secara seksama. "Mas, apa benar harga daging sapi totalnya segini?" tanya Mas Nurma dengan dahi berkerut. Ia ikut membaca tulisan itu. "Daging sapi memang mahal, Mbak. Sekilo nya selalu di atas seratus ribu. Ya, aku tahu kamu pasti kaget saat melihat kenyataan bahwa daging sapi adalah pengeluaran yang paling banyak karena habis satu kwintal sampai kemarin. Wajar saja kalau lebih dari sepuluh juta hanya untuk beli daging sapi saja," ucap Mbak Sindi. "Maklum, lah, Mbak, kalau Mbak Nurma tidak tahu harga daging sapi karena memang tidak pernah beli, tidak seperti kita yang memang sudah biasa beli
Mata yang berembun, kini sudah tidak tahan untuk tidak menangis melihat wanita yang terus menunduk sambil terus memeluk jenazah yang sudah tertutup kain itu. Ia menangis sampai tidak mengeluarkan suara, sementara dua anak yang berada di sampingnya juga menangis semakin kencang apalagi saat melihat banyak orang yang memenuhi rumahnya. Tangis wanita itu semakin terdengar pilu saat jenazah suaminya diangkat untuk dimandikan dan selanjutnya dikafani, disalatkan, dan dikuburkan nanti siang. Aku mengulurkan tangan untuk mengajak anak-anak yang kuperkirakan masih berusia empat dan dua tahun itu. Aku ingin mengajak yang sudah besar dan ibu mengajak yang masih kecill. Namun, bocah itu menggeleng, apalagi belum pernah melihatku sebelumnya. Ia justru semakin nempel dengan ibunya. "Kita pulang dulu sebentar, As." Ibu berbisik dan menggandeng tanganku. Saat aku sampai di luar, sebuah mobil pikap berwarna hitam berhenti di halaman. Dua orang wanita turun dari mobil. Itu adalah mobil yang membaw
Bukan tanpa alasan jika aku tidak mengenal Rida karena dia sudah banyak berubah. Dulu, ia adalah siswa paling populer di kelas karena kecantikannya, bahkan menjadi rebutan para cowok meski pada saat itu masih cinta monyet. Namun, sekarang ia hanyalah seorang wanita biasa dengan pakaian ala kadarnya. Satu hal yang membuatku yakin kalau itu Rida adalah tahi lalat di atas bibir yang menjadi ciri khasnya. Wanita itu mendongak dan mengusap air matanya yang sudah membengkak karena terus menangis tiada henti." Kamu siapa? Sepertinya bukan orang sini?" Aku tersenyum," Rida, ini aku, Asty. Apakah kamu sudah lupa?" Keningnya berkerut lalu mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia menggeleng. "Makan dulu, Mbak." Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan saat aku menoleh ia memberiku sebuah piring yang sudah berisi nasi, satu potong ayam, separuh telur, sambal goreng kentang, dan kerupuk. "Saya nggak lapar, Mbak." Aku menolak pemberiannya. "Enggak boleh begitu. Kita semua sedan
Awalnya aku kesal saat melihat wanita yang ada di hadapanku ini adalah orang yang sudah membuatku malas ke sekolah karena perbuatannya. Ingatanku kembali melayang di masa saat aku masih memakai seragam putih biru. "Asty, kenapa kamu belum bangun juga? Ini sudah siang, Nak." Ibu menarik selimut yang masih menutupi tubuhku. Aku memejamkan mata dan memiringkan tubuh untuk membelakangi ibu, tetapi ibu menarik pundakku." Ini sudah siang, As. Waktunya berangkat sekolah, mentang-mentang sedang libur salat terus jam segini belum bangun?" Aku bangun dan mendongak menatap ibu," Bu, apa boleh aku pindah sekolah saja? Aku malas sekolah di sana lagi," Dahi ibu berkerut," Pindah? Asty, pindah sekolah itu tidak mudah, harus mengurus surat-surat dan tentunya harus menbayar di sekolah yang baru nanti. Sebaiknya kamu bertahan sekolah di sana saja, ya?" "Ta--tapi, Bu... " "Enggak ada tapi-tapian, kamu bisa pindah nanti setelah SMA." Ibu tersenyum seraya melangkahkan kakinya keluar. Aku menelan l
Kusam? Iya, kulit dan wajah Rida memang kusam, tidak bersih seperti yang ia banggakan dulu. Kata ibu, Rida sering ikut suaminya ke sawah meski harus membawa serta anaknya yang masih kecil-kecil. Aku yang tidak pernah ke sawah saja tidak bisa membayangkan betapa repotnya ke sawah bersama anak kecil. "Maafkan aku, As, kalau malah curhat sama kamu. Habis aku bingung mau curhat sama siapa lagi. Aku tidak tahu harus membagi beban ini pada siapa? Tidak ada yang peduli denganku, bahkan ibuku sendiri. " Ia mulai sesenggukan. "Iya, enggak apa-apa. Aku juga nggak keberatan, kok. Jadi, kamu sudah bayar utang buat selamatan suami kamu? Kenapa terlihat sedih begitu?" tanyaku dengan dahi mengernyit. "Iya, mau tidak mau aku harus membayar utang ini karena aku kasihan dengan suamiku jika utangnya tidak segera dibayar, tapi untuk bayar utang itu aku harus_," Wanita yang memakai kerudung panjang itu mendongak dengan tatapan menerawang. Ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya lagi. Segera ku usap pun
Aku menatap lekat mata Mbak Sindi yang telah dikuasai amarah yang tidak kutahu apa penyebabnya. Aku yang memberi pinjaman dan sama sekali tidak merugikannya, kenapa harus dia yang marah? "Duduk dulu, Mbak, Mas. Syukurlah kalian berdua datang ke sini. Ibu sudah sangat merindukan kalian." Kupaksakan diri untuk tersenyum setelah sekian detik kami saling tatap tanpa mengucap sepatah kata pun. "Aku ke sini bukan karena mau ketemu ibu, tetapi hanya ingin meminta agar kamu tidak usah ikut campur dengan urusan utangnya si Rida. Biarkan saja ia punya utang dengan menggadaikan sawah miliknya, toh, kamu juga tidak rugi!" Mbak Sindi berjalan dengan angkuh. Ia kini menunjuk mukaku dengan jari telunjuknya hingga jarak wajah dan jari tangannya hanya beberapa inci saja. Aku menggeleng, dia bilang aku tidak boleh ikut campur, tetapi ia sendiri juga ikut campur dengan masalah ini. "Mbak, aku memang tidak rugi jika Rida menggadaikan sawahnya pada juragan yang entah siapa namanya itu," "Namanya jur
Ibu bilang, Mas Gani dan Mbak Sindi bekerja di sawah milik Juragan Jaya karena saking luasnya sawah yang ia garap. Ya, Juragan Jaya menggarap sawah yang sangat luas dari hasil menggadai dari orang-orang yang membutuhkan uang. Jika Rida menggadaikan sawah padanya, tentu garapan Mas Gani semakin luas. Kira-kira seperti itu lah yang membuat Mbak Sindi marah. "Ya udahlah nggak apa-apa. Aku juga nggak mungkin sanggup menggarap sawah itu. Mungkin dengan uang ini aku bisa jualan, tetapi jualan apa, ya, Kira-kira yang belum ada di desa ini?" Rida menopang dagunya dengan tangan kanannya. Matanya bergerak ke kiri dan kanan sebagai tanda kalau ia sedang berpikir keras. "Aku tadi sudah bilang kalau kamu nggak boleh jualan karena mulai hari ini aku juga mau jualan dan aku paling anti dengan yang namanya saingan. Yah, kalian harus tahu kalau aku adalah tipe orang pekerja keras sehingga tidak ada waktu bagiku untuk berpangku tangan atau ongkang-ongkang kaki karena akan banyak waktu yang terbuang.
Selama beberapa hari berada di sini, aku sama sekali tidak bisa menggunakan ponsel meski kuota internet masih ada. Untung Rida memberi tahu kalau di area makam biasanya ada jaringan. Benar saja, aku hanya bisa mengirim maupun menerima pesan saat berada di makam. Makam itu posisinya memang lebih tinggi dari desa ini sehingga masih ada jaringan di sana meski tidak 4G, tetapi lumayan dari pada tidak ada sekali seperti di rumah. "Jangan bilang kalau kamu mau balas dendam karena aku tidak mau menyambungkan wifi padamu, ya, As? Bukankah Mas Gani pernah menyambungkan wifi pada Ubay? Ya, aku masih ingat Ubay menyambung wifi untuk menelepon orang kepercayaan di toko khayalan kalian itu, kan?" seru Mbak Sindi. Ibu menggeleng dan berdecak, pun denganku. Baru sekali menyambung wifi itu pun langsung ganti sandi lagi, masih saja diingat sampai sekarang. Aku malah jadi bersyukur karena selama ini tidak nebeng wifi padanya. Kalau iya, pasti sudah diungkit-ungkit terus. Aku tersenyum," Tidak ada