Share

Sembilan

"Gani, seharusnya kalau hanya rokok, nggak usahlah diomongin di sini. Kamu, kan, bisa bayar sendiri?" sahut Mas Karim kesal. 

Mbak Sindi melotot," Ya nggak bisa gitu, Mas. Rokok itu untuk kepentingan selamatan juga. Apalagi ambilnya juga dua slop, sudah berapa duit itu?" 

"Ya udahlah, hitung saja semuanya. Nanti jadikan satu dengan utang utama yang sudah menjadi hampir 40 juta," jawab ibu. 

Mbak Sindi dan Mas Gani terlihat menghela napas bersamaan, mereka lega karena uang rokok tidak ditanggungnya sendiri seperti permintaan Mas Karim. 

"Kalau rokok itu juga masuk ke daftar utang yang harus kita tanggung bersama, aku juga mau lapor," sahut Mbak Vita semringah. 

Kami semua saling berpandangan. 

"Lapor apa lagi, Vit? Apakah kamu juga ikut utang di warung Bu Utami. Bilang saja, nanti akan kita bayar bersama," sahut ibu. 

"Jadi gini, tadi saat aku mengantar makanan ke luar desa, aku beli bensin dua liter dan itu pakai uangku sendiri, tetapi berhubung perjalanan ini dalam rangka kepentingan yang ada sangkut pautnya dengan acara selamatan, aku mau minta ganti rugi," ucap Mbak Vita. 

Suara istighfar menggema di ruangan ini. Ibu menggelengkan kepala, pun dengan Mas Ubay dan aku. Selama ini aku tahu kalau Mbak Vita memang perhitungan, tetapi tidak kusangka jika sampai separah ini. Kutekan dada perlahan untuk mengurangi rasa sesak yang mendera. 

"Iya, benar kata Vita, masukkan saja uang bensin ini, nanti kita akan tahu berapa semuanya," ucap Mas Karim. 

Mas Ubay menggenggam erat tanganku. Aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia sadar, di sini ia hanya menantu. 

"Oh, ya, selain bensin aku juga beli jajanan untuk Aru dan kami juga mampir beli bakso karena makanan yang kami antar sangat jauh sehingga lapar di perjalanan," ucap Mbak Vita lagi. 

Istighfar kembali menggema di ruangan ini. 

"Kenapa? Kalian nggak setuju? Aku beli jajan buat anak dalam rangka mengantar makanan dan yang dibeli Aru itu adalah makanan mahal karena ia mengambil kind*r j*y dengan harga dua belas ribu per biji, padahal ia mengambil tiga. Belum lagi ia juga mengambil banyak jajanan karena kami mampir ke mini market yang ada di kecamatan. Coba kalian pikir, kalau aku tidak diminta untuk mengantar makanan, tentu tidak akan ke sana, bukan?" Mbak Vita bercerita dengan semangat empat lima. 

Aku menghela napas, berulang kali aku mengorek telinga. Lama-lama berada di sini bisa membuat kepalaku pecah. Kulirik Mas Gani, ia sama sekali tidak memberi peringatan pada istrinya agar diam. Ia seperti malah mendukung sang istri.

"Iya, Vit. Hitung saja semuanya, nanti akan kita tanggung bersama," ucap Mas Karim setelah melirik pada ibu dan mengangguk. 

Mas Karim berkata begitu pasti karena sudah malas untuk debat. 

"Yes." Mbak Vita bersorak kegirangan seperti seorang anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru oleh ibunya. 

"Kamu catat saja, Vit. Nanti serahkan padaku agar kutotal semuanya." Mas Karim menyerahkan secarik kertas pada Mbak Vita.

Wanita berbulu mata lentik itu menerima kertas itu dengan semringah. 

"Bu, aku akan ke warung Bu Utami untuk membayar utangnya yang di sana." Mas Karim  mengulurkan tangan pada ibu dan aku tahu maksudnya minta uang pada iibu. Tentu saja uang itu adalah uang hasil sumbangan. 

Gema azan Magrib terdengar, kami bubar dan akan dilanjutkan nanti. 

"Kita salat dulu, Dek." Mas Ubay membantuku bangun. 

"Iya, Mas."

Aku jadi kepikiran dengan kebiasaan warga desa ini yang mengadakan makan besar saat ada orang meninggal, bahkan seperti acara pernikahan. Bagaimana jika orang uang meninggal itu tidak memiliki ahli waris? Atau dia orang yang nggak mampu secara finansial? Apakah tetap ada acara seperti ini juga? Kalau iya, sungguh kasihan. 

Di tempat tinggal kami, tidak pernah ada acara seperti ini. Jika ada orang meninggal, cukup menyediakan air minum kemasan dan permen. Itu pun jarang ada yang mau minum. Para pelayat datang hanya salat jenazah, menghibur yang sedang berduka cita dan memasukkan amplop ke dalam kotak yang sudah disediakan. 

Acara musyawarah tidak jadi dilanjutkan malam ini karena peralatan makan seperti piring, gelas, toples, dan lainnya belum dikembalikan dan baru akan beres besok. 

"Bu, apakah semua orang yang meninggal, harus, mengadakan acara seperti ini?" tanyaku saat kami sudah mau tidur. 

"Enggak ada yang mengharuskan, tetapi sudah menjadi kebiasaan," jawab ibu. 

Aku mengangguk," Gitu, ya, Bu." 

"Iya, sekarang kita tidur. Bukankah besok kamu akan pulang? Setelah  ini jangan lama-lama kalau ke sini, ya? Ibu pasti akan merindukan kalian." Ibu membelai rambutku. 

"Bukankah ibu juga mau kuajak untuk tinggal bersama kami di kota? Mau, ya, Bu? Dari pada tinggal di sini sendiri," sahut Mas Ubay. 

Aku menoleh dan tersenyum," Kok masih bisa nyaut, Mas. Aku pikir kamu sudah tidur?" 

"Gimana mau tidur kalau kalian berdua berisik terus." Mas Ubay memiringkan tubuhnya lalu menyangga kepala dengan tangannya.

Aku melirik lalu tersenyum dan kembali menatap suamiku lagi. 

"Biasanya setiap ada bantal langsung aja terlelap tanpa peduli dengan suara berisik." Aku tersenyum menggoda. 

"Ish, kenapa kamu buka aibku dengan ibu? Aku, kan, jadi malu." Mas Ubay mencubit hidungku. 

Ibu bangun dari tidurnya lalu mengambil selimut," Sepertinya ibu sudah salah tidur di sini. Mengganggu kalian." 

Aku menarik selimut yang dibawa ibu dan tertawa pelan," Justru Ibu sudah membantu menyelamatkan aku dari pria nakal ini, Bu. Ibu di sini saja." 

Aku membaringkan tubuh ibu lagi, lalu kami tertawa bersama. 

"Asty, saat seperti ini, Ibu jadi ingat dengan almarhum bapak." Ibu yang tadinya tersenyum mendadak sendu. Tiba-tiba air mata itu luruh dari sudut matanya yang sudah mulai berkeriput. 

"Ibu, bapak sudah bahagia di alam sana. Tugas kita sekarang adalah mendoakan bapak agar amal ibadahnya diterima Allah SWT." Aku mengusap air mata yang semakin deras itu. 

"Amiin." Kami bertiga berseru serempak. 

Kami sudah siap untuk tidur saat tiba-tiba Mas Ubay berseru," Tadi ibu belum jawab dengan ajakan kami untuk tinggal di kota. Jadi, bagaimana, Bu? Apakah ibu bersedia?" 

"Lihat, sekarang sudah jam berapa? Sekarang waktunya istirahat. Itu kita bahas besok." Ibu berbalik dan menutup wajahnya dengan selimut. 

Aku dan Mas Ubay hanya mengendikkan bahu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status