"Bukan begitu, Sin. Waktu itu aku beli di pasar harganya 130 ribu, tetapi di sini ditulis 135 ribu," jawab Mbak Nurma membela diri. Ia seolah tidak terima dibilang tidak mampu beli daging sapi.
"Hei, kamu beli 130 ribu itu kapan? Jangan-jangan belinya saat lebaran kemarin, sudah pasti harganya naik. Apalagi ini belinya tidak cash alias boleh utang sampai batas maksimal 40 hari, sudah pasti harganya agak mahalan dikit lah," ucap Mbak Sindi. Wanita itu memajukan bibir untuk mengejek kakak ipar suaminya.
Aku menelan ludah. Setelah melihat perincian tadi, harga yang dibanderol di toko itu lumayan tinggi, tentu saja lebih murah dengan di toko kami. Akan tetapi, itu wajar karena toko itu memberikan pinjaman yang menyebabkan harga menjadi lebih mahal. "Nurma, kamu pasti mau bilang kalau tahu harga daging sapi mahal begini, lebih baik pakai ayam saja, tetapi aku kasih tahu, ya, kemarin kita sudah sepakat untuk pakai daging sapi dan itu atas usul suamimu sendiri," ucap Mbak Sindi. Di desa ini, ada orang khusus yang selalu mendapat tugas untuk belanja saat ada orang meninggal karena tidak mungkin tuan rumah yang tertimpa musibah belanja sendiri. Biasanya yang belanja dua orang dan mereka sudah bermusyawarah dengan keluarga terlebih dahulu. Orang ini hanya akan berbelanja sesuai permintaan tuan rumah, seperti mau pakai daging sapi atau ayam, serta makanannya mau apa saja. "Benar. Tetapi, ini demi keluarga kita juga. Apa kata orang-orang nanti kalau kita hanya memberi suguhan daging ayam? Malu, kan? Tetapi kalian tidak usah khawatir, kita sudah dapat lima juta dari hasil menjual sembako hasil sumbangan." Mas Karim mengambil kembali kertas catatan setelah semua melihatnya secara bergantian. Tadi pagi orang suruhan pemilik toko 'Teratai' --toko yang memberikan pinjaman itu datang untuk mengambil sembako yang berupa beras dan kawan-kawan. Kata ibu, di sini memang begitu, sembako hasil sumbangan bisa dijadikan uang untuk bayar utang.Ibu hanya menyisakan sedikit untuk dimakan sampai beberapa hari ke depan dan menyisakan untuk selamatan 40 hari nanti yang tinggal sebulan lagi.
"Kita sudah sepakat untuk utang ini dibagi lima, kan?" tanya Mas Gani. "Lho, kok lima?" tanya Mas Karim dengan nada tinggi. "Memang benar lima, kan, ibu juga dapat bagian sama rata?" Mas Gani merentangkan tangan. Kami menatap ibu yang dari tadi hanya diam saat menyimak para anak dan menantunya berdiskusi. "Iya, nggak apa-apa dibagi lima dan bagian ibu biar nanti aku yang bayar," sahut Mas Ubay. "Bay." Ibu mendongak dan menatap suamiku itu. Mas Ubay tersenyum dan mengangguk. "Bagus lah kalau kamu sadar diri mau bayar bagian ibu. Itu sebagai ganti karena kalian berdua tidak pernah ikut merawat ibu padahal sebagai anak kita punya kewajiban yang sama," ucap Mbak Sindi yang rumahnya dekat dengan ibu. JlebMataku memanas mendengar ucapan Mbak Sindi, hatiku perih. Ya, kuakui sebagai anak, aku tidak bisa menemani bapak dan ibu sepanjang waktu, bahkan aku baru datang satu hari sebelum bapak meninggal. Mau bagaimana lagi, seorang istri harus ikut dengan suaminya dan qodarullah suamiku orang jauh. Akan tetapi, ini juga bukan atas kemauanku, bukan? Seandainya aku boleh memilih, sudah pasti aku akan memilih suami yang lebih dekat. "Sepakat, ya, setiap orang dapat bagian utang lima juta karena 43 juta dikurangi lima juta uang sembako dan sumbangan 13 juta, jadi hanya tinggal 25 juta. Khusus untuk Asty 10 juta." Mas Karim mengakhiri musyawarah siang ini dan sudah mendapat kata sepakat. Kami dikejutkan dengan sebuah pengumuman dari TOA masjid bahwa ada orang yang meninggal. Ucapan innalillahi wa inna liahi raji'un terucap di bibir kami. Baru sembilan hari bapak mdninggal, sudah ada orang yang meninggal lagi."Ayo, As, kita ke sana." Ibu menarik tanganku.
"Ke mana, Bu." Aku menahan tangan ibu.
"Kita harus ke rumah duka sekarang juga."
Aku ikut saja dengan ibu karena yang lain juga sudah pergi semua. Ya, saat ada pengumuman orang meninggal, warga desa seperti dikomando, mereka berbondong-bondong datang ke rumah duka. Tidak butuh waktu lama, kayu bakar mulai berdatangan dari warga. Ya, untuk masak besar ini masih menggunakan tungku bukan kompor gas.Sebagian orang membantu mengurus jenazah mulai dari memandikan hingga mengkafani dan sebagian pria bertugas ke makam untuk menggalinya. Aku juga baru tahu kalau di desa ini tidak ada petugas penggali makam khusus seperti di kota. Menggali makam dilakukan secara gotong royong saja sesuai RT masing-masing.
Ada satu yang membuatku heran, saat datang ke sini ibu memintaku untuk membawa pisau dan anehnya aku manut saja tanpa banyak tanya dan setelah sampai di sini, ternyata hampir semua orang datang dengan menenteng pisau di tangan masing-masing.Rumah duka yang terletak di ujung jalan itu seketika dipenuhi warga. Isak tangis terdengar dari dalam sana. "Sabar, ikhlaskan dia, Nak. Ini sudah takdir yang Maha Kuasa," ucap ibu. Aku dan ibu mendekati seorang wanita yang sedang terduduk lemas di samping jenazah. Wanita itu masih sangat muda dan yang meninggal adalah suaminya. Ia meninggal karena serangan jantung. Mataku tiba-tiba menganak sungai saat melihat anak-anak kecil yang berada di pangkuan wanita yang kini sudah menjadi janda itu. Anak-anak itu menangis sesenggukan.Ya, wanita itu menjadi janda dengan dua orang anak yang masih balita.
Jika seperti ini, apakah selamatan juga akan diadakan seperti halnya bapak yang harus menelan biaya hingga 40 juta lebih? Lalu bagaimana dengan anak-anaknya nanti? Sedangkan keluarga ini juga bukan golongan orang mampu jika dilihat dari kondisi rumahnya yang masih biasa?
Mata yang berembun, kini sudah tidak tahan untuk tidak menangis melihat wanita yang terus menunduk sambil terus memeluk jenazah yang sudah tertutup kain itu. Ia menangis sampai tidak mengeluarkan suara, sementara dua anak yang berada di sampingnya juga menangis semakin kencang apalagi saat melihat banyak orang yang memenuhi rumahnya. Tangis wanita itu semakin terdengar pilu saat jenazah suaminya diangkat untuk dimandikan dan selanjutnya dikafani, disalatkan, dan dikuburkan nanti siang. Aku mengulurkan tangan untuk mengajak anak-anak yang kuperkirakan masih berusia empat dan dua tahun itu. Aku ingin mengajak yang sudah besar dan ibu mengajak yang masih kecill. Namun, bocah itu menggeleng, apalagi belum pernah melihatku sebelumnya. Ia justru semakin nempel dengan ibunya. "Kita pulang dulu sebentar, As." Ibu berbisik dan menggandeng tanganku. Saat aku sampai di luar, sebuah mobil pikap berwarna hitam berhenti di halaman. Dua orang wanita turun dari mobil. Itu adalah mobil yang membaw
Bukan tanpa alasan jika aku tidak mengenal Rida karena dia sudah banyak berubah. Dulu, ia adalah siswa paling populer di kelas karena kecantikannya, bahkan menjadi rebutan para cowok meski pada saat itu masih cinta monyet. Namun, sekarang ia hanyalah seorang wanita biasa dengan pakaian ala kadarnya. Satu hal yang membuatku yakin kalau itu Rida adalah tahi lalat di atas bibir yang menjadi ciri khasnya. Wanita itu mendongak dan mengusap air matanya yang sudah membengkak karena terus menangis tiada henti." Kamu siapa? Sepertinya bukan orang sini?" Aku tersenyum," Rida, ini aku, Asty. Apakah kamu sudah lupa?" Keningnya berkerut lalu mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia menggeleng. "Makan dulu, Mbak." Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan saat aku menoleh ia memberiku sebuah piring yang sudah berisi nasi, satu potong ayam, separuh telur, sambal goreng kentang, dan kerupuk. "Saya nggak lapar, Mbak." Aku menolak pemberiannya. "Enggak boleh begitu. Kita semua sedan
Awalnya aku kesal saat melihat wanita yang ada di hadapanku ini adalah orang yang sudah membuatku malas ke sekolah karena perbuatannya. Ingatanku kembali melayang di masa saat aku masih memakai seragam putih biru. "Asty, kenapa kamu belum bangun juga? Ini sudah siang, Nak." Ibu menarik selimut yang masih menutupi tubuhku. Aku memejamkan mata dan memiringkan tubuh untuk membelakangi ibu, tetapi ibu menarik pundakku." Ini sudah siang, As. Waktunya berangkat sekolah, mentang-mentang sedang libur salat terus jam segini belum bangun?" Aku bangun dan mendongak menatap ibu," Bu, apa boleh aku pindah sekolah saja? Aku malas sekolah di sana lagi," Dahi ibu berkerut," Pindah? Asty, pindah sekolah itu tidak mudah, harus mengurus surat-surat dan tentunya harus menbayar di sekolah yang baru nanti. Sebaiknya kamu bertahan sekolah di sana saja, ya?" "Ta--tapi, Bu... " "Enggak ada tapi-tapian, kamu bisa pindah nanti setelah SMA." Ibu tersenyum seraya melangkahkan kakinya keluar. Aku menelan l
Kusam? Iya, kulit dan wajah Rida memang kusam, tidak bersih seperti yang ia banggakan dulu. Kata ibu, Rida sering ikut suaminya ke sawah meski harus membawa serta anaknya yang masih kecil-kecil. Aku yang tidak pernah ke sawah saja tidak bisa membayangkan betapa repotnya ke sawah bersama anak kecil. "Maafkan aku, As, kalau malah curhat sama kamu. Habis aku bingung mau curhat sama siapa lagi. Aku tidak tahu harus membagi beban ini pada siapa? Tidak ada yang peduli denganku, bahkan ibuku sendiri. " Ia mulai sesenggukan. "Iya, enggak apa-apa. Aku juga nggak keberatan, kok. Jadi, kamu sudah bayar utang buat selamatan suami kamu? Kenapa terlihat sedih begitu?" tanyaku dengan dahi mengernyit. "Iya, mau tidak mau aku harus membayar utang ini karena aku kasihan dengan suamiku jika utangnya tidak segera dibayar, tapi untuk bayar utang itu aku harus_," Wanita yang memakai kerudung panjang itu mendongak dengan tatapan menerawang. Ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya lagi. Segera ku usap pun
Aku menatap lekat mata Mbak Sindi yang telah dikuasai amarah yang tidak kutahu apa penyebabnya. Aku yang memberi pinjaman dan sama sekali tidak merugikannya, kenapa harus dia yang marah? "Duduk dulu, Mbak, Mas. Syukurlah kalian berdua datang ke sini. Ibu sudah sangat merindukan kalian." Kupaksakan diri untuk tersenyum setelah sekian detik kami saling tatap tanpa mengucap sepatah kata pun. "Aku ke sini bukan karena mau ketemu ibu, tetapi hanya ingin meminta agar kamu tidak usah ikut campur dengan urusan utangnya si Rida. Biarkan saja ia punya utang dengan menggadaikan sawah miliknya, toh, kamu juga tidak rugi!" Mbak Sindi berjalan dengan angkuh. Ia kini menunjuk mukaku dengan jari telunjuknya hingga jarak wajah dan jari tangannya hanya beberapa inci saja. Aku menggeleng, dia bilang aku tidak boleh ikut campur, tetapi ia sendiri juga ikut campur dengan masalah ini. "Mbak, aku memang tidak rugi jika Rida menggadaikan sawahnya pada juragan yang entah siapa namanya itu," "Namanya jur
Ibu bilang, Mas Gani dan Mbak Sindi bekerja di sawah milik Juragan Jaya karena saking luasnya sawah yang ia garap. Ya, Juragan Jaya menggarap sawah yang sangat luas dari hasil menggadai dari orang-orang yang membutuhkan uang. Jika Rida menggadaikan sawah padanya, tentu garapan Mas Gani semakin luas. Kira-kira seperti itu lah yang membuat Mbak Sindi marah. "Ya udahlah nggak apa-apa. Aku juga nggak mungkin sanggup menggarap sawah itu. Mungkin dengan uang ini aku bisa jualan, tetapi jualan apa, ya, Kira-kira yang belum ada di desa ini?" Rida menopang dagunya dengan tangan kanannya. Matanya bergerak ke kiri dan kanan sebagai tanda kalau ia sedang berpikir keras. "Aku tadi sudah bilang kalau kamu nggak boleh jualan karena mulai hari ini aku juga mau jualan dan aku paling anti dengan yang namanya saingan. Yah, kalian harus tahu kalau aku adalah tipe orang pekerja keras sehingga tidak ada waktu bagiku untuk berpangku tangan atau ongkang-ongkang kaki karena akan banyak waktu yang terbuang.
Selama beberapa hari berada di sini, aku sama sekali tidak bisa menggunakan ponsel meski kuota internet masih ada. Untung Rida memberi tahu kalau di area makam biasanya ada jaringan. Benar saja, aku hanya bisa mengirim maupun menerima pesan saat berada di makam. Makam itu posisinya memang lebih tinggi dari desa ini sehingga masih ada jaringan di sana meski tidak 4G, tetapi lumayan dari pada tidak ada sekali seperti di rumah. "Jangan bilang kalau kamu mau balas dendam karena aku tidak mau menyambungkan wifi padamu, ya, As? Bukankah Mas Gani pernah menyambungkan wifi pada Ubay? Ya, aku masih ingat Ubay menyambung wifi untuk menelepon orang kepercayaan di toko khayalan kalian itu, kan?" seru Mbak Sindi. Ibu menggeleng dan berdecak, pun denganku. Baru sekali menyambung wifi itu pun langsung ganti sandi lagi, masih saja diingat sampai sekarang. Aku malah jadi bersyukur karena selama ini tidak nebeng wifi padanya. Kalau iya, pasti sudah diungkit-ungkit terus. Aku tersenyum," Tidak ada
Dua orang wanita yang berstatus kakak ipar bagiku itu masuk lalu duduk di samping ibu dan sama sekali tidak menyapaku. Apa mungkin aku tidak kelihatan di mata mereka berdua? Ah, bodo amat. "As, sini, kamu?" Mbak Sindi melambaikan tangan padaku yang sedang berjalan dengan piring kotor yang hendak kubawa ke wastafel. Aku menghentikan langkah dan menatap sang kakak ipar yang menatapku dengan tatapan tidak bersahabat. "Apa maksudmu memberi makanan pada Rida? Mau dianggap wah oleh orang-orang? Kamu haus akan pujian sehingga harus melakukan berbagai macam cara termasuk dengan memberinya makanan yang seharusnya tidak perlu kamu lakukan?" tanya Mbak Sindi. Mbak Vita tampak menyenggol lengan Mbak Sindi lalu mengedipkan mata untuk memberinya kode yang entah apa. Lalu, ia mendekati Mbak Sindi dan berbisik di telinganya, entah apa yang dikatakan oleh sesama ipar itu, aku tidak bisa mendengarnya. "Ibu sudah sehat?" tanya Mbak Sindi sesaat kemudian, kini ini ia tersenyum ramah. Aku memutar bo