Share

Sepuluh

Mbak Sindi menggebrak meja setelah Mas Karim membacakan berapa utang yang harus kami bayar. Ia merebut kertas yang dibawa Mas Karim. 

"Coba  dihitung sekali lagi, Mas? Barangkali ada yang salah," sahut Mas Danang. Wajahnya terlihat sangat tegang. 

"Itu lihat saja sendiri." Mas Karim menunjuk kertas catatan yang sekarang ada di tangan Mbak Sindi dan segera diambil oleh Mas Danang untuk dilihat secara seksama. 

"Mas, apa benar harga daging sapi totalnya segini?" tanya Mas Nurma dengan dahi berkerut. Ia ikut membaca tulisan itu. 

"Daging sapi memang mahal, Mbak. Sekilo nya selalu di atas seratus ribu. Ya, aku tahu kamu pasti kaget saat melihat kenyataan bahwa daging sapi adalah pengeluaran yang paling banyak karena habis satu kwintal sampai kemarin. Wajar saja kalau lebih dari sepuluh juta hanya untuk beli daging sapi saja," ucap Mbak Sindi. 

"Maklum, lah, Mbak, kalau Mbak Nurma tidak tahu harga daging sapi karena memang tidak pernah beli, tidak seperti kita yang memang sudah biasa beli daging sapi," sahut Mbak Vita. 

"Bukan begitu, Sin. Waktu itu aku beli di pasar harganya 130 ribu, tetapi di sini ditulis 135 ribu," jawab Mbak Nurma membela diri. Ia seolah tidak terima dibilang tidak mampu beli daging sapi. 

"Hei, kamu beli 130 ribu itu kapan? Jangan-jangan belinya saat lebaran kemarin, sudah pasti harganya naik. Apalagi ini belinya tidak cash alias boleh utang sampai batas maksimal 40 hari, sudah pasti harganya agak mahalan dikit lah," ucap Mbak Sindi. Wanita itu memajukan bibir untuk  mengejek kakak ipar suaminya. 

Aku menelan ludah. Setelah melihat perincian tadi, harga yang dibanderol di toko itu lumayan tinggi, tentu saja lebih murah dengan di toko kami. Akan tetapi, itu wajar karena toko itu memberikan pinjaman yang menyebabkan harga menjadi lebih mahal. 

"Nurma, kamu pasti mau bilang kalau tahu harga daging sapi mahal begini, lebih baik  pakai ayam saja, tetapi aku kasih tahu, ya, kemarin kita sudah sepakat untuk pakai daging sapi dan itu atas usul suamimu sendiri," ucap Mbak Sindi. 

Di desa ini, ada orang khusus yang selalu mendapat tugas untuk belanja saat ada orang meninggal karena tidak mungkin tuan rumah yang tertimpa musibah belanja sendiri.  Biasanya yang belanja dua orang dan mereka sudah bermusyawarah dengan keluarga terlebih dahulu. Orang ini hanya akan berbelanja sesuai permintaan tuan rumah, seperti mau pakai daging sapi atau ayam, serta makanannya mau apa saja. 

"Benar. Tetapi, ini demi keluarga kita juga. Apa kata orang-orang nanti kalau kita hanya memberi suguhan daging ayam? Malu, kan? Tetapi kalian tidak usah khawatir, kita sudah dapat lima juta dari hasil menjual sembako hasil sumbangan." Mas Karim mengambil kembali kertas catatan setelah semua melihatnya secara bergantian. 

Tadi pagi orang suruhan pemilik toko 'Teratai' --toko yang memberikan pinjaman itu datang untuk mengambil sembako yang berupa beras dan kawan-kawan. Kata ibu, di sini memang begitu, sembako hasil sumbangan bisa dijadikan uang untuk bayar utang. 

Ibu hanya menyisakan sedikit untuk dimakan sampai beberapa hari ke depan dan menyisakan untuk selamatan 40 hari nanti yang tinggal sebulan lagi.

"Kita sudah sepakat untuk utang ini dibagi lima, kan?" tanya Mas Gani. 

"Lho, kok lima?" tanya Mas Karim dengan nada tinggi. 

"Memang benar lima, kan, ibu juga dapat bagian sama rata?" Mas Gani merentangkan tangan. 

Kami menatap ibu yang dari tadi hanya diam saat menyimak para anak dan menantunya berdiskusi. 

"Iya, nggak apa-apa dibagi lima dan bagian ibu biar nanti aku yang bayar," sahut Mas Ubay. 

"Bay." Ibu mendongak dan menatap suamiku itu. 

Mas Ubay tersenyum dan mengangguk. 

"Bagus lah kalau kamu sadar diri mau bayar bagian ibu. Itu sebagai ganti karena kalian berdua tidak pernah ikut merawat ibu padahal sebagai anak kita punya kewajiban yang sama," ucap Mbak Sindi yang rumahnya dekat dengan ibu. 

Jleb

Mataku memanas mendengar ucapan Mbak Sindi, hatiku perih. Ya, kuakui sebagai anak, aku tidak bisa menemani bapak dan ibu sepanjang waktu, bahkan aku baru datang satu hari sebelum bapak meninggal. Mau bagaimana lagi, seorang istri harus ikut dengan suaminya dan qodarullah suamiku orang jauh. Akan tetapi, ini juga bukan atas kemauanku, bukan? Seandainya aku boleh memilih, sudah pasti aku akan memilih suami yang lebih dekat. 

"Sepakat, ya, setiap orang dapat bagian utang lima juta karena 43 juta dikurangi lima juta uang sembako dan sumbangan 13 juta, jadi hanya tinggal 25 juta. Khusus untuk Asty 10 juta." Mas Karim mengakhiri musyawarah siang ini dan sudah mendapat kata sepakat. 

Kami dikejutkan dengan sebuah pengumuman dari TOA masjid bahwa ada orang yang meninggal. Ucapan innalillahi wa inna liahi raji'un terucap di bibir kami. Baru sembilan hari bapak mdninggal, sudah ada orang yang meninggal lagi. 

"Ayo, As, kita ke sana." Ibu menarik tanganku. 

"Ke mana, Bu." Aku menahan tangan ibu. 

"Kita harus ke rumah duka sekarang juga."

Aku ikut saja dengan ibu karena yang lain juga sudah pergi semua. Ya, saat ada pengumuman orang meninggal, warga desa seperti dikomando, mereka berbondong-bondong datang ke rumah duka. 

Tidak butuh waktu lama, kayu bakar mulai berdatangan dari warga. Ya, untuk masak besar ini masih menggunakan tungku bukan kompor gas. 

Sebagian orang membantu mengurus jenazah mulai dari memandikan hingga mengkafani dan sebagian pria bertugas ke makam untuk menggalinya. Aku juga baru tahu kalau di desa ini tidak ada petugas penggali makam khusus seperti di kota. Menggali makam dilakukan secara gotong royong saja sesuai RT masing-masing. 

Ada satu yang membuatku heran, saat datang ke sini ibu memintaku untuk membawa pisau dan anehnya aku manut saja tanpa banyak tanya dan setelah sampai di sini, ternyata hampir semua orang datang dengan menenteng pisau di tangan masing-masing.

Rumah duka yang terletak di ujung jalan itu seketika dipenuhi warga. Isak tangis  terdengar dari dalam sana. 

"Sabar, ikhlaskan dia, Nak. Ini sudah takdir yang Maha Kuasa," ucap ibu. Aku dan ibu mendekati seorang wanita yang sedang terduduk lemas di samping jenazah. 

Wanita itu masih sangat muda dan yang meninggal adalah suaminya. Ia meninggal karena serangan jantung. Mataku tiba-tiba menganak sungai saat melihat anak-anak kecil yang berada di pangkuan wanita yang kini sudah menjadi janda itu. Anak-anak itu menangis sesenggukan. 

Ya, wanita itu menjadi janda dengan dua orang anak yang masih balita. 

Jika seperti ini, apakah selamatan juga akan diadakan seperti halnya bapak yang harus menelan biaya hingga 40 juta lebih? Lalu bagaimana dengan anak-anaknya nanti? Sedangkan keluarga ini juga bukan golongan orang mampu jika dilihat dari kondisi rumahnya yang masih biasa? 

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status