Share

Sebelas

Mata yang berembun, kini sudah tidak tahan untuk tidak menangis melihat wanita yang terus menunduk sambil terus memeluk jenazah yang sudah tertutup kain itu. Ia menangis sampai tidak mengeluarkan suara, sementara dua anak yang berada di sampingnya juga menangis semakin kencang apalagi saat melihat banyak orang yang memenuhi rumahnya. 

Tangis wanita itu semakin terdengar pilu saat jenazah suaminya diangkat untuk dimandikan dan selanjutnya dikafani, disalatkan, dan dikuburkan nanti siang. 

Aku mengulurkan tangan untuk mengajak anak-anak yang kuperkirakan masih berusia empat dan dua tahun itu. Aku ingin mengajak yang sudah besar dan ibu mengajak yang masih kecill. Namun, bocah itu menggeleng, apalagi belum pernah melihatku sebelumnya. Ia justru semakin nempel dengan ibunya. 

"Kita pulang dulu sebentar, As." Ibu berbisik dan menggandeng tanganku. 

Saat aku sampai di luar, sebuah mobil pikap berwarna hitam berhenti di halaman. Dua orang wanita turun dari mobil. Itu adalah mobil yang membawa barang belanjaan untuk keperluan selamatan. Wah, cepat sekali belanjanya. 

Orang-orang membantu menurunkan barang belanjaan dan siap mengerjakan semua seperti dikomando. Rumah itu seketika menjadi seperti pasar dadakan. Namun, untuk memasak tidak di rumah duka melainkan di rumah tetangga yang ada di samping dan kirinya. Sepertinya semua warga desa datang ke sini tanpa kecuali, baik laki-laki maupun perempuan. 

Para ibu sibuk di dapur dan para bapak memasang tenda dan memasang meja kursi serta mengambil perkakas makan yang berupa toples, piring, dan gelas milik persatuan desa. 

Semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak ada yang hanya berpangku tangan di sini. Aku dan ibu membantu mengupas bawang, ada juga yang mengupas kentang. Sampai di sini aku paham kenapa semua  orang membawa pisau saat datang. Ya, mereka sudah siap dengan pisau di tangan masing-masing karena pisau adalah benda paling dibutuhkan saat ini. 

Di sebuah dapur milik tetangga ini, semua orang memotong bahan dan di sebelah sana ada yang sedang menghaluskan bumbu, ada juga yang langsung menyalakan api dan siap untuk menggoreng kentang yang sudah dipotong kecil-kecil. Kentang yang tadi masih ada di dalam plastik itu sudah selesai dipotong hanya dalam hitungan menit. Amazing. Bukan hanya kentang, tetapi semua bahan seperti ayam, tahu, dan lainnya juga sudah selesai dikerjakan tinggal mengeksekusi menjadi makanan matang. Nanti yang memasak sudah ada sendiri dan hanya tinggal memasukkan ke dalam wajan saja karena semua sudah siap mulai dari bumbu hingga santan. 

Saat bapak meninggal, aku tidak tahu suasana dapur seperti ini karena tuan rumah tentu saja fokus dengan yang meninggal dan setelah itu fokus dengan para tamu yang datang melayat dan hanya tahu tiba-tiba makanan sudah siap di atas meja. 

"As, tolong buatkan santan dari kelapa yang sudah diparut itu," titah ibu setelah selesai mengupas bawang. 

"Baik, Bu." 

"Kalau sudah selesai, antar ke sebelah sana, ya?" Ibu menunjuk ke sebuah tempat yang terdapat beberapa orang ibu yang sedang berada di depan sebuah tungku dengan api besar yang menyala. 

Aku mengangguk dan mengambil air hangat untuk memeras kelapa agar mendapatkan santan, setelah itu membawanya ke tempat yang sudah ditunjuk ibu. 

"Permisi, Bu. Ini santannya ditaruh di mana, ya?" tanyaku pada seorang wanita setengah baya yang sedang menggoreng emping melinjo. 

Ia mengernyitkan dahi dan berpikir sejenak. 

"Dibawa ke Bu Winda yang sedang memasak sambal goreng kentang," jawab seorang wanita berbaju biru dengan celemek hitam serta kerudung instan yang sudah disingkap. Suasana di dapur ini sangat panas karena ada banyak tungku yang semuanya menyala. 

"Maaf, Bu Winda itu yang mana, ya?" 

Wanita itu menoleh lalu tersenyum," Oh, baru sadar kalau kamu bukan orang sini. Bu Winda itu yang sedang memasak di tungku paling ujung." 

Wanita itu menunjuk seorang wanita yang sedang sibuk dengan spatula di tangannya yang sedang menumis bumbu. Ia berlagak layaknya seorang koki professional yang harus bekerja cepat. 

Setelah memberikan santan, aku berbalik, tetapi dipanggil oleh wanita yang gemuk berbaju merah. 

"Tolong buatkan santan lagi untuk dan bawa ke sini," pintanya dengan tersenyum ramah. 

Dengan cekatan aku membuat santan lagi. Memang tidak ada yang berpangku tangan di sini. Setelah itu aku ke dapur lagi dan menyerahkan santan itu pada wanita yang tadi. 

"Bu, yang membuat wajik siapa, ya, tadi?" tanya wanita yang sedang menggoreng ayam. 

"Belum ada." 

"Mbak, bisa buat wajik?" tanya wanita itu tanpa berhenti dari pekerjaannya yang sedang menumis bumbu dan di depannya sudah siap dengan mie yang sudah direbus dan dicampur kecap. 

"Coba cari teman yang lain untuk membuatnya jika tidak sanggup sendiri." Belum sempat aku menjawab wanita itu sudah berkata lagi. 

Ternyata di sini tidak ada orang yang khusus harus masak ini atau itu. Semua bekerja layaknya mesin yang otomatis mengerjakan semua pekerjaan yang ada. Jika yang ini sudah selesai langsung ganti dengan pekerjaan yang lain. 

Aku menyingsingkan lengan baju dan tanpa ragu mengambil wajan besar dan meletakkan di atas tungku api, menuangkan air dan memasukkan gula merah lalu menunggu hingga mendidih dan menjadi seperti karamel. 

Terjawab sudah rasa penasaranku dari kemarin. Saat bapak meninggal, sebelum azan Zuhur, makanan sudah siap semuanya padahal baru mulai memasak pagi hari kira-kira pukul tujuh karena bapak meninggal menjelang pagi. Bagaimana tidak cepat selesai jika yang mengerjakan sebanyak ini dan semuanya seolah sadar dengan tugas masing-masing. 

Saat membuat wajik, Aku dan dua orang yang lain tinggal menunggu gula merah siap dan setelah itu memasukkan beras ketan yang sudah dikukus dan yang mengukus ketan juga sudah ada sendiri. 

Badanku panas dan berkeringat setelah bergelut dengan wajan besar ini, tetapi aku harus tetap melanjutkan pekerjaan ini sampai selesai. 

Tidak lama kemudian wajik sudah matang dan orang itu memintaku membawanya ke sebuah tempat yang sudah disediakan. 

Di ruangan ini juga masih banyak orang, mereka sedang memasukkan makanan ke dalam toples. 

"Ini wajiknya, Mbak." Aku menurunkan wajik yang berada di dalam baki. 

Seorang wanita yang sedang memasukkan roti kering ke dalam toples menoleh." Potong aja sekalian dan letakkan ke dalam piring." 

Awalnya aku ingin segera istirahat karena membuat wajik ini cukup menguras tenagaku ditambah lagi dengan suasana di dapur tadi yang sangat panas membuatku ingin menanggalkan kerudung yang kupakai lalu merebahkan tubuh ini. Akan tetapi, setelah mendengar permintaan orang itu, aku pun melakukannya juga. 

Tiba-tiba seorang lelaki setengah baya masuk ke ruangan dan mengatakan kalau para tamu sudah mulai berdatangan. Ia menanyakan apakah makanan sudah siap atau belum. Sudah pasti, siap. Di sebuah meja sudah ada beberapa baskom besar dengan lauk yang masih mengepul serta satu wadah besar berisi nasi  yang juga baru saja matang. Selain itu toples juga sudah terisi semua. 

Ya, selain menyuguhkan nasi beserta pelengkapnya berupa daging sapi yang bisa diganti dengan daging ayam, mie goreng, sambal goreng tahu plus kentang dan krecek kulit sapi, serta telur bumbu kecap, di sini juga menyuguhkan aneka makanan ringan yang ada di dalam toples seperti emping melinjo, rempeyek kacang, dan kue kering. Untuk jenis makanan basah ada wajik dan agar-agar, terkadang bisa juga bolu kukus atau krasikan.

Dalam sekejap, depan rumah duka itu sudah terpasang tenda lengkap dengan meja kursi dan aneka makanan di atasnya. 

Hatiku berdesir perih melihat wanita yang kini sudah memakai gamis dan berkerudung panjang itu terduduk lemah dan tiada henti menangis setelah jenazah suaminya dikuburkan. 

Ia juga tadi pingsan berkali-kali. Wanita itu selain sedih karena ditinggal suaminya, mungkin ia juga bingung melihat aneka makanan yang sudah berjejer di atas meja dan sangat banyak. Bagaiman jika ia tidak punya uang untuk membayar utangnya nanti? 

Aku menghela napas dan mengembuskannya. Di sini, saat ada orang meninggal, tidak ada bedanya antara orang mampu atau tidak. Mungkin hanya lauknya yang berbeda yaitu daging ayam dan sapi sedang yang lainnya tetap sama. 

Bapak sudah punya anak yang sudah besar sehingga untuk biaya selamatan ditanggung anak-anaknya, lalu bagaimana dengan ibu itu yang anaknya yang masih tergolong yatim ini? 

Aku memberanikan diri untuk menyapa sekadar menghibur. 

"Rida?" Aku memekik saat melihat wanita yang dari tadi terus menunduk itu adalah teman sekolahku saat masih SMP. Setelah kuperhatikan dengan seksama wanita yang kini sudah berstatus menjadi janda itu memang temanku. Tadi aku sempat tidak mengenalinya karena ia sudah banyak berubah. 

Ya, setelah lulus SMA aku bekerja di kota sehingga jarang pulang sehingga tidak  tahu dengan apa yang terjadi dengan teman-temanku di sini termasuk Rida yang sudah menikah dengan lelaki yang satu desa denganku, apalagi ini desa luas, kadang dengan satu desa saja tidak saling mengenal. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status