Ingatanku kembali melayang di masa saat aku masih memakai seragam putih biru.
"Asty, kenapa kamu belum bangun juga? Ini sudah siang, Nak." Ibu menarik selimut yang masih menutupi tubuhku.
Aku memejamkan mata dan memiringkan tubuh untuk membelakangi ibu, tetapi ibu menarik pundakku." Ini sudah siang, As. Waktunya berangkat sekolah, mentang-mentang sedang libur salat terus jam segini belum bangun?"
Aku bangun dan mendongak menatap ibu," Bu, apa boleh aku pindah sekolah saja? Aku malas sekolah di sana lagi," Dahi ibu berkerut," Pindah? Asty, pindah sekolah itu tidak mudah, harus mengurus surat-surat dan tentunya harus menbayar di sekolah yang baru nanti. Sebaiknya kamu bertahan sekolah di sana saja, ya?" "Ta--tapi, Bu... " "Enggak ada tapi-tapian, kamu bisa pindah nanti setelah SMA." Ibu tersenyum seraya melangkahkan kakinya keluar. Aku menelan ludah, sulit bagiku untuk menentang ibu. Akhirnya aku harus bertahan di sekolah yang sama dengan Rida. Sekolah itu seperti neraka bagiku. Aku selalu dilanda ketakutan setiap akan berangkat apalagi saat sudah sampai di pintu gerbang dan memasuki kelas karena penderitaanku akan dimulai dan akan berakhir hingga pulang sekolah nanti. Bukan itu saja, cowok yang kuincar lebih memilih Rida.Kata orang, luka karena tersayat pisau ataupun benda tajam lainnya, bekasnya akan menghilang seiring berjalannya waktu, tetapi luka yang diakibatkan karena ucapan dan perbuatan akan sulit hilang karena menyebabkan luka dalam jiwa.
Aku menghela napas perlahan, jika ingat itu semua, aku ingin melepas pelukan Rida dan mendorongnya hingga terjatuh lalu menertawakan penderitaannya sekarang, tetapi saat ingat anak-anaknya yang masih kecil, aku malah jadi kasihan. Bukannya mendorongnya hingga jatuh, aku malah semakin mempererat pelukanku. Setelah itu aku pulang dan atas izin Mas Ubay, aku mengambil amplop dan mengisinya dengan lima lembar uang merah lalu menyelipkan ke tangan Rida. Wanita itu begitu terharu menerima uang itu. Berulang kali ia mengucapkan terima kasih padaku. ***Mas Ubay sudah berkemas, kami akan pulang ke kota dan akan ke sini lagi saat acara selamatan 40 hari bapak nanti. "As, apa nggak sebaiknya kamu dan Ubay tinggal di sini dulu menemani ibu?" Ibu menahan tanganku yang sedang memasukkan pakaian ke dalam koper kecil. "Maaf, Bu. Bagaimana dengan toko jika kami terlalu lama di sini?" Aku menoleh. "Jika sudah seperti ini, Ibu tidak bisa menahan kalian lagi." Ibu menunduk. "Ibu jadi ikut kami ke kota, kan?" tanyaku. Aku meraih tangan yng sudah berkeriput itu dan memijitnya perlahan. "Ibu tidak mungkin akan meninggalkan rumah ini, As. Lagi pula, bapak meninggal belum ada 40 hari, mana mungkin ibu akan pergi." Ibu mengusap kepalaku yang tertutup jilbab.Aku menatap matanya yang sayu lalu memeluknya erat. Pelukan seorang ibu memang begitu menenangkan.
"Sekarang istirahat, ya." Aku menuntun ibu menuju ranjang. Setelah memastikan kalau ibu sudah tidur nyenyak, aku menyusulnya berbaring di sampingnya. Namun, saat aku hendak memejamkan mata, tiba-tiba ibu berkata," Bapak! bapak! Saat kulihat ternyata mata ibu terpejam, ia terus memanggil bapak. Pelipisnya terlihat berkeringat. "Bu." Aku memegang tangannya, panas, lalu beralih meraba keningnya. "Aku ada di sini, Bu." Aku menggengam erat tangannya, mataku menghangat, jika aku sudah tidak ada di sini, apakah itu artinya tidak ada seorang pun yang menemani ibu di sini?"Bangun, Mas. Badan ibu panas, sepertinya ia sedang tidak enak badan." Aku panik dan membangunkan Mas Ubay yang berbaring di sampingku.
Mas Ubay bangun lalu mengambil handuk dan baskom kecil berisi air hangat lalu menempelkannya di kening ibu. Ibu masih mengigau karena badannya yang kelewat panas. Tanganku terus menggengam tangan ibu. Aku memasang alarm pukul tiga karena memang ingin berangkat sebelum Subuh agar tidak macet di jalan nanti. "Kita harus memberi tahu Mas Gani dan Mas Danang kalau ibu sakit agar ada yang menemani saat kita pergi," ucap Mas Ubay. Aku mengangguk. Aku keluar rumah menuju rumah Mas Gani yang hanya beberapa meter dari rumah ibu. Keadaan sangat gelap dan hawa dingin terasa begitu menusuk kulit. Tanganku terangkat untuk mengetuk pintu, tetapi kuurungkan, ini masih terlalu pagi untuk membangunkan seseorang. Aku berbalik dan akan kembali ke rumah Mas Gani sehabis Subuh nanti. Kami harus mengurungkan niat untuk pulang sebelum Subuh. Azan Subuh berkumandang sebagai panggilan dari Sang Maha Pencipta agar kita segera menunaikan kewajiban untuk menjalankan ibadah salat dua raka'at. Usai salat berjamaah bersama Mas Ubay, aku kembali ke kamar dan melihat ibu masih berbaring di ranjang. Tidak biasanya ia belum bangun saat azan Subuh berkumandang, biasanya beliau yang selalu bangun lebih awal dari yang lain. Aku meraba keningnya, masih panas, bahkan lebih panas dari tadi malam. Aku ke rumah Mas Gani, kali ini sudah pagi sehingga mereka pasti sudah bangun. Sepi, itulah yang kulihat dari rumah bercat abu-abu itu. Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu dan tidak lama kemudian terdengar langkah kaki yang disertai dengan omelan," Aduh, siapa, sih, yang sudah bertamu pagi-pagi begini?" Pintu terbuka dan terlihat Mbak Sindi yang mengenakan daster dan rambut yang acak-acakan, sesekali ia menguap. Sepertinya ia baru saja bangun. "Asty? Ngapain kamu ke sini pagi-pagi begini. Ganggu orang tidur saja. Mas Gani saja belum bangun!" Sungut Mbak Sindi. "Pagi? Ini sudah habis Subuh, Mbak. Aku ke sini cuma mau pamit pulang ke kota pagi ini juga," "Ya ampun, mau pulang ke kota, ya, pulang aja. Kenapa harus datang ke sini. Jangan bilang kalau mau minta uang pada Mas Gani untuk ongkos, ya?" Mbak Sindi kesal. "Enggak, Mbak. Aku hanya pamit saja." "Oya? Aku tahu. Kamu pamitan sambil berharap suamiku itu akan memberimu ongkos. Dengar, ya, As, dia memang kakakmu, kalian berdua dilahirkan dari rahim yang sama, tetapi sekarang ia sudah punya istri dan anak, jadi jangan harap akan memberimu uang lagi!" Mbak Sindi berkacak pinggang.Mas Gani muncul dengan hanya memakai kaus oblong dan celana kolor, lalu mendekati kami." Ada apa, Sayang, pagi-pagi sudah ribut?"
Mas Gani masih sesekali menguap. Azan Subuh sudah dari tadi, apa mungkin ia belum salat? Aku mendekati kakakku itu." Aku pamit mau pulang ke kota, Mas, tetapi ibu sakit, badannya sangat panas. Tolong Mas Gani ke rumah ibu untuk menjaganya saat aku pergi, ya?" "Ibu sakit? Bukankah tadi malam ia baik-baik saja?" tanya Mbak Sindi dengan nada tinggi. "Iya, mulai sakit tadi malam. Ya, udah, ya, aku hanya ingin bilang itu saja." Aku berbalik dan menuju ke rumah Mas Danang. "Mas, kenapa Mas Gani maupun Mas Danang tidak ada yang datang ke sini padahal aku sudah memberi tahu kalau ibu sakit?" Aku menggigit bibir bawah dan berjalan mondar-mandir. Sudah satu jam sejak aku datang ke rumah kakak-kakakku, tetapi mereka belum datang juga. "Asty, katanya mau pulang hari ini? Kenapa belum berangkat juga?" tanya ibu lirih. "Aku tidak akan meninggalkan ibu dalam keadaan seperti ini sendiri, apalagi Mas Gani dan Mas Danang belum juga datang ke sini padahal tadi aku sudah memberi tahunya kalau ibu sakit dan memintanya untuk ke sini. Apa aku harus ke sana lagi, ya." Aku berdiri, tetapi ibu menahan tanganku. "Tidak usah, As. Mau kamu bilang seribu kali pun, mereka tidak akan datang," kata ibu lirih. Matanya mulai berkaca-kaca dan tidak lama kemudian bulir bening itu mulai keluar dari sudut matanya dan membasahi pipinya yang sudah berkeriput. "Maksud ibu?" "Mereka tidak ada yang peduli dengan ibu seperti halnya dengan bapak. Iya, saat bapak sakit, hanya ibu yang menemaninya karena anak-anak tidak ada yang mau peduli dan sekarang saat ibu sakit, tidak akan ada yang menemani." Jleb! Rasa sakit tiba-tiba menghujam jantungku saat mendengar ucapan ibu. Aku jadi nggak tega meninggalkan ibu jika kakak-kakakku tidak ada yang mau peduli. Apakah mungkin aku juga tega membiarkan ibu sendirian dalam keadaan sakit seperti ini?Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di sini dulu, Mas Ubay pulang sendiri ke kota dan akan menjemputku setelah ibu sembuh. ***Pagi hari aku sudah siap di dapur untuk membuat sarapan. Sakit magh ibu kambuh sehingga tidak boleh sampai terlambat makan.Hari ini ibu ingin makan bubur sumsum, tetapi saat aku hendak menyalakan kompor, ternyata gasnya habis.
Gegas aku ke warung untuk membeli gas agar bisa segera membuat makanan untuk ibu. Aku melewati rumah Rida yang sudah sepi karena sudah tujuh hari sejak meninggalnya sang suami. Aku mendekati Rida yang sedang duduk termenung di depan rumah. "Rida?" "Asty? Kamu masih di sini?" Rida mengusap air matanya dan berdiri. "Iya, ibuku sakit sehingga tidak tega meninggalkannya sendirian. Kamu baik-baik saja, kan?" tanyaku lirih. Itu adalah sebuah pertanyaan konyol menurutku. Bagaimana bisa ia baik-baik saja. "Aku sudah selesai bayar utang untuk selamatan suamiku, tetapi ...." Rida tidak melanjutkan kata-katanya karena air matanya sudah luruh membasahi pipinya yang kusam. "Tetapi apa, Da?"Kusam? Iya, kulit dan wajah Rida memang kusam, tidak bersih seperti yang ia banggakan dulu. Kata ibu, Rida sering ikut suaminya ke sawah meski harus membawa serta anaknya yang masih kecil-kecil. Aku yang tidak pernah ke sawah saja tidak bisa membayangkan betapa repotnya ke sawah bersama anak kecil. "Maafkan aku, As, kalau malah curhat sama kamu. Habis aku bingung mau curhat sama siapa lagi. Aku tidak tahu harus membagi beban ini pada siapa? Tidak ada yang peduli denganku, bahkan ibuku sendiri. " Ia mulai sesenggukan. "Iya, enggak apa-apa. Aku juga nggak keberatan, kok. Jadi, kamu sudah bayar utang buat selamatan suami kamu? Kenapa terlihat sedih begitu?" tanyaku dengan dahi mengernyit. "Iya, mau tidak mau aku harus membayar utang ini karena aku kasihan dengan suamiku jika utangnya tidak segera dibayar, tapi untuk bayar utang itu aku harus_," Wanita yang memakai kerudung panjang itu mendongak dengan tatapan menerawang. Ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya lagi. Segera ku usap pun
Aku menatap lekat mata Mbak Sindi yang telah dikuasai amarah yang tidak kutahu apa penyebabnya. Aku yang memberi pinjaman dan sama sekali tidak merugikannya, kenapa harus dia yang marah? "Duduk dulu, Mbak, Mas. Syukurlah kalian berdua datang ke sini. Ibu sudah sangat merindukan kalian." Kupaksakan diri untuk tersenyum setelah sekian detik kami saling tatap tanpa mengucap sepatah kata pun. "Aku ke sini bukan karena mau ketemu ibu, tetapi hanya ingin meminta agar kamu tidak usah ikut campur dengan urusan utangnya si Rida. Biarkan saja ia punya utang dengan menggadaikan sawah miliknya, toh, kamu juga tidak rugi!" Mbak Sindi berjalan dengan angkuh. Ia kini menunjuk mukaku dengan jari telunjuknya hingga jarak wajah dan jari tangannya hanya beberapa inci saja. Aku menggeleng, dia bilang aku tidak boleh ikut campur, tetapi ia sendiri juga ikut campur dengan masalah ini. "Mbak, aku memang tidak rugi jika Rida menggadaikan sawahnya pada juragan yang entah siapa namanya itu," "Namanya jur
Ibu bilang, Mas Gani dan Mbak Sindi bekerja di sawah milik Juragan Jaya karena saking luasnya sawah yang ia garap. Ya, Juragan Jaya menggarap sawah yang sangat luas dari hasil menggadai dari orang-orang yang membutuhkan uang. Jika Rida menggadaikan sawah padanya, tentu garapan Mas Gani semakin luas. Kira-kira seperti itu lah yang membuat Mbak Sindi marah. "Ya udahlah nggak apa-apa. Aku juga nggak mungkin sanggup menggarap sawah itu. Mungkin dengan uang ini aku bisa jualan, tetapi jualan apa, ya, Kira-kira yang belum ada di desa ini?" Rida menopang dagunya dengan tangan kanannya. Matanya bergerak ke kiri dan kanan sebagai tanda kalau ia sedang berpikir keras. "Aku tadi sudah bilang kalau kamu nggak boleh jualan karena mulai hari ini aku juga mau jualan dan aku paling anti dengan yang namanya saingan. Yah, kalian harus tahu kalau aku adalah tipe orang pekerja keras sehingga tidak ada waktu bagiku untuk berpangku tangan atau ongkang-ongkang kaki karena akan banyak waktu yang terbuang.
Selama beberapa hari berada di sini, aku sama sekali tidak bisa menggunakan ponsel meski kuota internet masih ada. Untung Rida memberi tahu kalau di area makam biasanya ada jaringan. Benar saja, aku hanya bisa mengirim maupun menerima pesan saat berada di makam. Makam itu posisinya memang lebih tinggi dari desa ini sehingga masih ada jaringan di sana meski tidak 4G, tetapi lumayan dari pada tidak ada sekali seperti di rumah. "Jangan bilang kalau kamu mau balas dendam karena aku tidak mau menyambungkan wifi padamu, ya, As? Bukankah Mas Gani pernah menyambungkan wifi pada Ubay? Ya, aku masih ingat Ubay menyambung wifi untuk menelepon orang kepercayaan di toko khayalan kalian itu, kan?" seru Mbak Sindi. Ibu menggeleng dan berdecak, pun denganku. Baru sekali menyambung wifi itu pun langsung ganti sandi lagi, masih saja diingat sampai sekarang. Aku malah jadi bersyukur karena selama ini tidak nebeng wifi padanya. Kalau iya, pasti sudah diungkit-ungkit terus. Aku tersenyum," Tidak ada
Dua orang wanita yang berstatus kakak ipar bagiku itu masuk lalu duduk di samping ibu dan sama sekali tidak menyapaku. Apa mungkin aku tidak kelihatan di mata mereka berdua? Ah, bodo amat. "As, sini, kamu?" Mbak Sindi melambaikan tangan padaku yang sedang berjalan dengan piring kotor yang hendak kubawa ke wastafel. Aku menghentikan langkah dan menatap sang kakak ipar yang menatapku dengan tatapan tidak bersahabat. "Apa maksudmu memberi makanan pada Rida? Mau dianggap wah oleh orang-orang? Kamu haus akan pujian sehingga harus melakukan berbagai macam cara termasuk dengan memberinya makanan yang seharusnya tidak perlu kamu lakukan?" tanya Mbak Sindi. Mbak Vita tampak menyenggol lengan Mbak Sindi lalu mengedipkan mata untuk memberinya kode yang entah apa. Lalu, ia mendekati Mbak Sindi dan berbisik di telinganya, entah apa yang dikatakan oleh sesama ipar itu, aku tidak bisa mendengarnya. "Ibu sudah sehat?" tanya Mbak Sindi sesaat kemudian, kini ini ia tersenyum ramah. Aku memutar bo
Mbak Vita yang tadi bersemangat untuk membuat kopi mendadak mengkerut mendengar ucapanku. Ia berhenti, berbalik lalu menatapku dan tepuk jidat," Oh, iya, aku lupa. Yang suka kopi minum buatanku itu bapak bukan ibu."Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan salah tingkah, mukanya sudah memerah seperti kepiting rebus, tetapi bukan Vita namanya kalau tidak bisa berimprovisasi. "Iya, As, aku tahu kalau ibu memang tidak suka kopi sejak dulu karena setiap kali kubuatkan tidak pernah diminum, tetapi maaf, tadi aku lupa karena tanpa sengaja kepalaku terbentur tembok." Mbak Vita terus mencerocos. Terbentur tembok bisa membuat hilang ingatan bagi seorang Vita. Aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya. "Vita, sudahlah. Memangnya kapan kamu membuatkan bapak kopi? Bapak itu punya darah tinggi sehingga tidak boleh minum kopi. Sepertinya kamu habis kena sawan. Memangnya kamu dari mana tadi? Apa jangan-jangan habis bepergian terus belum mandi sehingga ngomongnya ngelantur kayak gitu?"
Otakku masih berpikir keras, apa yang membuat ia bisa berubah secara mendadak? Mbak Vita menadahkan tangannya," Ayo, As. Mana ponselmu." Aku tersenyum dan mengangguk lalu bergegas ke kamar untuk mengambil benda pipih persegi itu. Namun, saat kuambil ternyata mati karena kehabisan baterai. Ya, di sini benda canggih sejuta umat itu berubah menjadi barang tidak berguna. Apapun merk ponselnya kalau tidak ad jaringan, ya percuma, kan? Segera kuambil pengisi saya dan menghubungkannya degan stop kontak, tidak lama ponsel itu bisa berkedip kembali. "Mana, As, ponselnya?" tanya Mbak Vita saat aku keluar dengan tangan kosong. "Sedang ku--charge karena baterainya habis. Nanti saja, ya?" "Sekarang saja, bawa sini ponselnya." Mbak Vita mengulurkan tangan. "Sudah kubilang kalau ponselnya sedang di-charge, Mbak?" ucapku. Ish, kenapa dia ngeyel banget, seolah ingin agar aku segera pergi dari rumah ini. "Ambil aja nggak apa-apa. Kalau sudah terisi sekian persen sudah bisa nyala, kan?" Aku tid
Aku masih di dapur saat dua kakak ipar itu mengerubungi ibu layaknya gula dan semut. Hm, ternyata peribahasa ada gula ada semut itu memang benar adanya. Selama ini mereka tidak pernah mau mendekati ibu, tetapi begitu tahu ibu akan menerima uang dalam jumlah yang lumayan mereka datang tanpa diminta. "Bu, sebenarnya bapak itu PNS golongan berapa, sih?" Aku masih mendengar pertanyaan Mbak Vita. Aku tidak jadi melanjutkan masak dan lebih memilih mencuci pakaian dulu karena ibu sudah makan. Tentu saja pakaianku sendiri karena milik ibu saat ini sedang menjadi incaran para menantu. Tuh, kan, saling perhatiannya sama bapak, mereka tidak tahu mertuanya golongan berapa. "Memangnya kenapa kamu bertanya seperti itu, Vit?" tanya ibu. "Ya, siapa tahu golongan bapak sudah tinggi. Soalnya semakin tunggi golongan, uang yang akan kita dapatkan juga semakin banyak, kan, karena sebesar tiga kali gaji terakhir. Wah, sudah ada berapa duit itu?" Mbak Vita bersemangat. "Benar, Vit, ibu akan mendapatka