Selama beberapa hari berada di sini, aku sama sekali tidak bisa menggunakan ponsel meski kuota internet masih ada. Untung Rida memberi tahu kalau di area makam biasanya ada jaringan. Benar saja, aku hanya bisa mengirim maupun menerima pesan saat berada di makam. Makam itu posisinya memang lebih tinggi dari desa ini sehingga masih ada jaringan di sana meski tidak 4G, tetapi lumayan dari pada tidak ada sekali seperti di rumah. "Jangan bilang kalau kamu mau balas dendam karena aku tidak mau menyambungkan wifi padamu, ya, As? Bukankah Mas Gani pernah menyambungkan wifi pada Ubay? Ya, aku masih ingat Ubay menyambung wifi untuk menelepon orang kepercayaan di toko khayalan kalian itu, kan?" seru Mbak Sindi. Ibu menggeleng dan berdecak, pun denganku. Baru sekali menyambung wifi itu pun langsung ganti sandi lagi, masih saja diingat sampai sekarang. Aku malah jadi bersyukur karena selama ini tidak nebeng wifi padanya. Kalau iya, pasti sudah diungkit-ungkit terus. Aku tersenyum," Tidak ada
Dua orang wanita yang berstatus kakak ipar bagiku itu masuk lalu duduk di samping ibu dan sama sekali tidak menyapaku. Apa mungkin aku tidak kelihatan di mata mereka berdua? Ah, bodo amat. "As, sini, kamu?" Mbak Sindi melambaikan tangan padaku yang sedang berjalan dengan piring kotor yang hendak kubawa ke wastafel. Aku menghentikan langkah dan menatap sang kakak ipar yang menatapku dengan tatapan tidak bersahabat. "Apa maksudmu memberi makanan pada Rida? Mau dianggap wah oleh orang-orang? Kamu haus akan pujian sehingga harus melakukan berbagai macam cara termasuk dengan memberinya makanan yang seharusnya tidak perlu kamu lakukan?" tanya Mbak Sindi. Mbak Vita tampak menyenggol lengan Mbak Sindi lalu mengedipkan mata untuk memberinya kode yang entah apa. Lalu, ia mendekati Mbak Sindi dan berbisik di telinganya, entah apa yang dikatakan oleh sesama ipar itu, aku tidak bisa mendengarnya. "Ibu sudah sehat?" tanya Mbak Sindi sesaat kemudian, kini ini ia tersenyum ramah. Aku memutar bo
Mbak Vita yang tadi bersemangat untuk membuat kopi mendadak mengkerut mendengar ucapanku. Ia berhenti, berbalik lalu menatapku dan tepuk jidat," Oh, iya, aku lupa. Yang suka kopi minum buatanku itu bapak bukan ibu."Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan salah tingkah, mukanya sudah memerah seperti kepiting rebus, tetapi bukan Vita namanya kalau tidak bisa berimprovisasi. "Iya, As, aku tahu kalau ibu memang tidak suka kopi sejak dulu karena setiap kali kubuatkan tidak pernah diminum, tetapi maaf, tadi aku lupa karena tanpa sengaja kepalaku terbentur tembok." Mbak Vita terus mencerocos. Terbentur tembok bisa membuat hilang ingatan bagi seorang Vita. Aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya. "Vita, sudahlah. Memangnya kapan kamu membuatkan bapak kopi? Bapak itu punya darah tinggi sehingga tidak boleh minum kopi. Sepertinya kamu habis kena sawan. Memangnya kamu dari mana tadi? Apa jangan-jangan habis bepergian terus belum mandi sehingga ngomongnya ngelantur kayak gitu?"
Otakku masih berpikir keras, apa yang membuat ia bisa berubah secara mendadak? Mbak Vita menadahkan tangannya," Ayo, As. Mana ponselmu." Aku tersenyum dan mengangguk lalu bergegas ke kamar untuk mengambil benda pipih persegi itu. Namun, saat kuambil ternyata mati karena kehabisan baterai. Ya, di sini benda canggih sejuta umat itu berubah menjadi barang tidak berguna. Apapun merk ponselnya kalau tidak ad jaringan, ya percuma, kan? Segera kuambil pengisi saya dan menghubungkannya degan stop kontak, tidak lama ponsel itu bisa berkedip kembali. "Mana, As, ponselnya?" tanya Mbak Vita saat aku keluar dengan tangan kosong. "Sedang ku--charge karena baterainya habis. Nanti saja, ya?" "Sekarang saja, bawa sini ponselnya." Mbak Vita mengulurkan tangan. "Sudah kubilang kalau ponselnya sedang di-charge, Mbak?" ucapku. Ish, kenapa dia ngeyel banget, seolah ingin agar aku segera pergi dari rumah ini. "Ambil aja nggak apa-apa. Kalau sudah terisi sekian persen sudah bisa nyala, kan?" Aku tid
Aku masih di dapur saat dua kakak ipar itu mengerubungi ibu layaknya gula dan semut. Hm, ternyata peribahasa ada gula ada semut itu memang benar adanya. Selama ini mereka tidak pernah mau mendekati ibu, tetapi begitu tahu ibu akan menerima uang dalam jumlah yang lumayan mereka datang tanpa diminta. "Bu, sebenarnya bapak itu PNS golongan berapa, sih?" Aku masih mendengar pertanyaan Mbak Vita. Aku tidak jadi melanjutkan masak dan lebih memilih mencuci pakaian dulu karena ibu sudah makan. Tentu saja pakaianku sendiri karena milik ibu saat ini sedang menjadi incaran para menantu. Tuh, kan, saling perhatiannya sama bapak, mereka tidak tahu mertuanya golongan berapa. "Memangnya kenapa kamu bertanya seperti itu, Vit?" tanya ibu. "Ya, siapa tahu golongan bapak sudah tinggi. Soalnya semakin tunggi golongan, uang yang akan kita dapatkan juga semakin banyak, kan, karena sebesar tiga kali gaji terakhir. Wah, sudah ada berapa duit itu?" Mbak Vita bersemangat. "Benar, Vit, ibu akan mendapatka
Mbak Sindi mengamati dengan seksama benda besar segi empat ini lalu kembali tersenyum. "Memang, kita harus sedikit berkorban untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Ubay beli mesin cuci yang harganya tidak seberapa, tetapi menginginkan sesuatu yang lebih besar. Ibarat memancing yang butuh umpan agar mendapatkan ikan," Mas Ubay yang tidak tahu apa-apa hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mancing apa, sih, Mbak. Aku tulus ingin meringankan pekerjaan Ibu lagi pula istriku juga ada di sini. Tuh lihat! Tangannya jadi sedikit agak kasar karena setiap hati harus mencuci manual." Mas Ubay meraih telapak tanganku yang membut aku nyengir, masa iya tanganku dibilang kasar hanya gara-gara mencuci? Ada-ada saja suamiku ini. Mbak Sindi dan Mbak Vita tertawa bersamaan. "Tangan Asty kasar itu memang sudah sejak dulu, bahkan mungkin sejak lahir memang seperti itu. Memangnya di kota nggak pernah mencuci apa? Sok-sokan bilang kalau tangan menjadi kasar. Apa kabar denganku yang setiap hat
Mbak Vita mendekati ibu, aku sudah siap siaga jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Iya, seseorang jika sudah emosi bisa melakukan hal nekat, bahkan di luar nalar. Aku mengurut dada perlahan saat Mbak Vita tersenyum pada ibu dan mengusap kedua pundaknya. "Bukankah Ibu kemarin sudah bilang kalau uang asuransi itu cair akan dibagi rata? Kenapa sekarang berubah? Jangan bilang kalau Ibu berubah karena kedatangan Ubay yang yang sudah membawakan mesin cuci itu? Dengar, ya, Bu, harga mesin cuci ini hanya sepersekian persen dari uang Ibu dapat ini!" Aku mendengkus, Lagi-lagi ia bawa-bawa mesin cuci. "Vita, dengerin Ibu dulu. Ibu tidak pernah bilang kalau uang itu untuk ibu sendiri, tetapi ini atas kemauan Karim bukan ibu," jawab Ibu. "Benar, Mbak. Ibu bahkan belum bicara apa-apa. Duduk dulu, Mbak. Biar bisa bicara dengan kepala dingin," ucapku. Bukannya duduk seperti permintaanku, Mbak Vita malah melotot dan sorot matanya seolah menunjukkan kalau ia memang sangat membenciku, entah di m
Ibu menatapku sendu dan seolah tidak ingin melepas kepergian anak perempuannya ini. Kejadian ini sama persis saat aku baru saja menikah dan Mas Ubay minta izin untuk memboyongku ikut tinggal dengannya. "Titip putri kami, Nak. Jaga dia baik-baik. Semoga kalian selalu bahagia di manapun kalian berada." Bapak menepuk pundak Mas Ubay waktu itu. Ibu memelukku erat dengan air mata berlinang. Aku sudah terbiasa jauh dengan orang tua, tetapi selama ini bekerja dan kali ini aku akan menghabiskan waktu bersama orang lain yang kini sudah sah menjadi suami. Kalau dulu ibu yang nangis tetapi sekarang aku yang nggak bisa membendung air mata ini. "Sudah, nggak usah nangis, jelek nanti. Sebentar lagi juga akan ke sini, kan?" Ibu melepas pelukanku dan mengusap kedua pipiku. "Yakin, Ibu mau kutinggal?" tanyaku untuk meyakinkan sekali lagi. "Iya, As. Suamimu lebih berhak atasmu sekarang dari pada Ibu. Berbaktilah padanya dan jangan sampai membuatnya kecewa karena surgamu kini ada di tangannya." I